Di tengah-tengah benang kusut pemberantasan korupsi, ada dua hal menarik yang patut dicermati akhir-akhir ini. Pertama, sejumlah pegawai negeri sipil (PNS) berusia muda memiliki rekening gendut dan tak wajar, yang diduga hasil korupsi. Kedua, hasil survei Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan Kementerian Agama sebagai lembaga terkorup di Indonesia.
Regenerasi Koruptor
Pemberantasan korupsi yang merupakan salah satu agenda reformasi 1998, tampaknya berjalan di tempat bahkan bisa dikatakan telah gagal. Bagaimana tidak, koruptor-koruptor tetap tidak takut dan tidak jera melakukan praktik korupsi. Korupsi yang sifatnya berjemaah dan tumpulnya penegakan hukum bagi pelaku korupsi, semakin membuat koruptor leluasa menggunakan jabatan untuk memperkaya diri dan kelompoknya.
Lebih parahnya, terjadi regenerasi koruptor secara sistematis. PNS yang berusia muda mengikuti jejak-jejak generasi tua yang korup, karena sistem birokrasi yang ada mengarahkan mereka menjadi bandit-bandit penghisap uang rakyat. Selain itu, faktor pendorong lainnya adalah lemahnya kepemimpinan dan pengawasan. Padahal tidak sedikit PNS muda itu adalah berstatus sebagai siswa maupun mahasiswa ketika reformasi 1998. Tetapi ketika masuk dalam sistem, mereka akhirnya dirasuki virus-virus nafsu keserakahan.
Sejak tahun 2002, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sudah melaporkan adanya 1.800 rekening mencurigakan senilai miliaran rupiah milik PNS muda kepada penegak hukum, tetapi tindak lanjutnya berjalan lambat (Kompas, 8/12/2011). Sangat dikhawatirkan jika PNS muda yang memiliki rekening mencurigakan ini akan menduduki posisi strategis di dalam birokrasi.
Memang lagi-lagi kembali pada persoalan dasar yakni lembaga penegak hukum (kepolisian dan kejaksaan) itu sendiri juga sarang koruptor. Tidak mungkin pemberantasan korupsi dilakukan oleh penegak hukum yang korup. Tidak akan mungkin "maling" mengadili "maling". Sehingga yang dipertontonkan kepada publik hanya sandiwara dan "perang-perangan".
Satu hal yang patut didukung ketika pimpinan KPK jilid ketiga yang dilantik pada 16 Desember lalu mengatakan bahwa pemberantasan korupsi ke depan dimulai dengan membersihkan lembaga penegak hukum, khususnya polisi dan jaksa. Hal tersebut mengacu pada apa yang dilakukan oleh Independent Commision Againts Corruption (ICAC) Hongkong. Dimana langkah pertama ICAC dalam memberantas korupsi adalah membersihkan kepolisian Hongkong.
Selama ini, pemberantasan korupsi yang dilakukan masih terkesan "tebang pilih". Sehingga ada istilah: hukum hanya tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas. Kasus rekening gendut perwira tinggi Polri yang dulu sempat panas, tetapi akhirnya dingin apalagi ditutupi dengan isu-isu yang baru. Semoga saja KPK yang baru berani dan siap menyelesaikannya.
Perlu ditegaskan, pembersihan lembaga penegak hukum sejalan dengan memutus rantai regenerasi koruptor. Demikian sebaliknya, selama lembaga penegak hukum tetap menjadi sarang koruptor, maka koruptor akan semakin berkembangbiak di dalam birokrasi pemerintahan dan menyebar menghisap rakyat serta menebar bom waktu kehancuran bangsa.
Gereja
Upaya memberantas korupsi tidak bisa hanya dilakukan oleh KPK, melainkan harus melibatkan masyarakat luas. Salah satu lembaga kemasyarakatan yang strategis untuk mendukung gerakan pemberantasan korupsi adalah lembaga keagamaan, seperti gereja. Namun harapan itu tidak akan tercapai jika gereja juga menjadi lembaga yang korup dan menjadi "negara di dalam negara".
Kita cukup sedih dan kecewa ketika Kementerian Agama menjadi lembaga terkorup di Indonesia. Padahal mereka yang korup adalah pemeluk agama dan bahkan tidak sedikit dari mereka adalah sebagai tokoh agama. Para koruptor itu telah mengotori hakikat dari agama itu sendiri dengan tunduk pada nafsu keserakahan. Bagaimana dengan gereja?
Semoga saja gereja bukan lembaga non-pemerintah yang paling korup. Meskipun demikian, tidak sedikit orang (setidaknya dari diskusi dengan beberapa orang) menduga virus-virus korupsi telah menjangkiti pemimpin dan tokoh-tokoh gereja. Dugaan ini sebenarnya wajar dengan melihat kurangnya transparansi dan akuntabilitas serta pengawasan terhadap keuangan gereja di tingkat pusat.
Selain itu, banyaknya anggota jemaat (gereja) yang terbukti secara hukum melakukan praktik korupsi, katakanlah di Sumatera Utara sebagai daerah terkorup di Indonesia, telah menunjukkan kegagalan gereja dalam mendukung pemberantasan korupsi. Mengapa daerah-daerah dimana banyak penduduknya adalah jemaat gereja ternyata menjadi daerah yang terkorup?
Sebagai pemuda dan anggota gereja, saya sangat gelisah dengan kondisi ini. Seolah-olah gereja tak ada ubahnya dengan partai politik atau perusahaan atau negara di dalam negara. Terjebak dalam ritual-ritual yang memandang dan berorientasi ke atas, tapi minus dalam menghadirkan surga di bumi. Surga di bumi yang dimaksud adalah keadilan, kesejahteraan, perdamaian, dan pemerintahan yang bersih.
Anehnya, dalam ritual-ritual yang lebih tampak adalah kemewahan. Pakaian, perhiasan, dan mobil mewah pun menghiasi rumah ibadah itu. Seolah-olah mereka yang memiliki harta yang mewah adalah orang-orang yang diberkati Tuhan. Padahal, jangan-jangan itu adalah hasil penipuan dan korupsi. Hanya Tuhan dan mereka sendiri yang tahu.
Pemuda gereja yang diharapkan sebagai agen-agen perubahan, ternyata telah mengikuti cara berpikir dan gaya hidup generasi tua tersebut. Kegiatan-kegiatan pemuda pun terjebak dalam ritual-ritual. Misalnya mempersiapkan ibadah dengan latihan koor, musik, liturgi, dan sebagainya. Itu bukan salah, tetapi yang salah adalah ketika kegiatan pemuda hanya sebatas itu. Apakah ibadah sejati hanya seperti itu? Tentu tidak.
Sungguh mengherankan, ketika pemuda gereja di kota yang mayoritas kaum intelektual (mahasiswa) memiliki kegiatan yang sama dengan pemuda di desa yang pada umumnya berpendidikan sekolah menengah, yakni di seputar persiapan tata ibadah. Itu pun terkadang kegiatan musiman, yakni menjelang dan pada momen Desember (natal).
Sangat jarang pemuda gereja itu ikut berpartisipasi dalam menyumbangkan gagasan perubahan, berpartisipasi dalam kegiatan sosial, membantu mereka yang miskin dan tertindas, mendukung dan berpartisipasi dalam gerakan anti-korupsi, dan kegiatan nyata lainnya. Itulah yang perlu direnungkan dan diperbaiki ke depan oleh pemuda sebagai generasi penerus gereja dan bangsa Indonesia.
Pemuda GKPS
Selain merayakan natal, pada 26 Desember 2011 ini pemuda Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) merayakan ulang tahunnya ke-58. Biasanya pertanyaan yang direfleksikan dalam momen ulang tahun adalah apa yang sudah diberikan pemuda untuk gereja dan bangsa? Apa yang harus dikerjakan ke depan di tengah-tengah persoalan bangsa dan arus globalisasi yang besar?
Terlepas dari kontribusi yang telah diberikan, ke depan pemuda GKPS harus lebih pro-aktif dalam mendukung pembangunan dan pemberantasan korupsi. Bagaimana caranya? Orang yang bisa menjawab persoalan adalah orang yang memahami persoalan itu sendiri, memiliki kesadaran, prinsip hidup, serta komitmen untuk menghadirkan perubahan.
Oleh sebab itu, selain kegiatan yang selama ini dilakukan, perlu digalakkan budaya membaca, berdiskusi, menulis, dan kegiatan aksi sosial. Kegiatan seperti itu akan membentuk pemuda GKPS yang memiliki prinsip hidup sederhana, berkarakter, berintegritas, memiliki kepedulian sosial, memahami realitas, dan berani melawan arus. Budaya dan prinsip hidup seperti itu juga akan dengan sendirinya menjadi kekuatan untuk mencegah dan memberantas korupsi.
Supaya harapan tersebut bisa terwujud, maka pihak pimpinan pusat (dan juga pemuda) GKPS itu hendaknya membuka ruang dan mendukung proses pembentukan pemuda berkarakter tersebut. Demi gereja, bangsa, dan negara Indonesia yang lebih baik.***
Penulis adalah pemuda GKPS dan mahasiswa pascasarjana UGM Yogyakarta.
0 Comments