Oleh : (Stevan Ivana
Manihuruk)
Penulis adalah alumnus Fisipol USU, bekerja di BPDAS Batanghari Jambi
Penulis adalah alumnus Fisipol USU, bekerja di BPDAS Batanghari Jambi
APAKAH jawaban
Anda jika muncul pertanyaan, apakah Indonesia termasuk bangsa yang
besar? Ya atau Tidak? Jika saya ditanya, jawabannya Ya dan Tidak. Jika
indikatornya hanya dari segi luas wilayah ataupun jumlah penduduk, tidak
diragukan lagi Indonesia memang merupakan bangsa yang besar.
Sebagai negara
kepulauan, luas wilayah negara kita termasuk yang terluas di muka bumi
ini. Untuk ukuran jumlah penduduk, dengan total sekitar 250 juta jiwa
(berdasar hasil sensus 2010), barangkali kita hanya kalah dari China,
India dan Amerika Serikat. Ditambah lagi dengan kekayaan alam,
keanekaragaman suku, budaya dan bahasa yang dimiliki, jelas-jelas
menunjukkan Indonesia sebagai bangsa yang besar.
Tapi mari kita lihat dari sisi yang berbeda. Sebagai bangsa yang besar dengan segala potensi yang dimiliki (luas wilayah, kekayaan alam, dan jumlah penduduk) apakah bangsa ini sudah bebas dari masalah klasik suatu bangsa semacam kemiskinan, pengangguran, biaya hidup yang tinggi, dan ragam permasalahan lain? Tentu kita sudah tahu jawabannya. Beberapa daerah yang melimpah kekayaan alamnya, mayoritas masyarakatnya justru mengalami kemiskinan.
Lalu, jika ukuran menjadi bangsa yang besar berarti bangsa yang memiliki prestasi-prestasi membanggakan di tataran pergaulan internasional, rasanya sebutan bangsa yang besar bukanlah milik Indonesia. Prestasi dalam artian sebenarnya semakin jauh dari bangsa kita. Sebaliknya prestasi dalam tanda kutip, semakin kerap menghampiri. Negara sarang teroris, negara korup, negara dengan pelayanan birokrasi buruk, negara dengan tingkat kerusakan hutan tertinggi, negara rawan konflik, dan lain-lain menjadi "prestasi" yang semakin akrab kita sandang.
Sementara itu kita semakin kehausan prestasi dalam artian sebenarnya. Di dunia olahraga misalnya. Jika beberapa tahun lalu Indonesia selalu tampil sebagai juara umum saat penyelenggaraan pesta olahraga se-Asia Tenggara (Sea Games), belakangan untuk meraih posisi tiga besar pun kita sudah kepayahan. Untungnya, kita masih mampu menjadi juara umum saat menjadi tuan rumah Sea Games baru-baru ini. Sementara itu, kalau dulu Indonesia dikenal sebagai jawaranya bulutangkis, belakangan kita sudah mulai membiasakan diri "pulang tanpa gelar" di turnamen-turnamen bergengsi internasional.
Bagaimana dengan sepakbola? Tidak diragukan lagi, dengan kondisi manajemen kepengurusan PSSI serba morat-marit saat ini, prestasi Timnas kita pun jauh dari membanggakan. Dengan modal kompetisi liga lokal yang semrawut, regenerasi yang tidak berjalan, Indonesia pun hanya bisa bermimpi lolos ke putaran final piala dunia. Jangankan piala dunia, untuk kawasan Asia saja Timnas kita masih menjadi bulan-bulanan Timnas Arab Saudi, China, Jepang, Korsel, dan negara asia lainnya. Dan jangankan kawasan Asia, di kawasan Asia Tenggara pun kita sudah semakin sulit menjadi yang terbaik.
Pemimpin Besar
Jika tulisan ini harus dilanjutkan dengan mendaftarkan ironi yang melekat bagi bangsa kita yang (katanya) merupakan bangsa besar, tentu tidak akan ada habis-habisnya dan hanya menambah kesedihan di hati. Yang terpenting saat ini adalah bagaimana caranya agar sebutan sebagai bangsa besar menjadi sebutan yang benar-benar layak untuk kita sandang dan banggakan.
Penulis berasumsi, bangsa yang besar tentulah berarti bangsa yang memiliki banyak orang-orang besar yang bisa berkarya menunjukkan "kebesaran" bangsa nya. Orang-orang besar tersebut tentu memiliki cara pandang yang besar pula, tidak picik dan tidak egosentris. Pandangan hidupnya adalah tidak menyingkirkan orang lain demi memenuhi kepentingan pribadinya. Bahkan demi kepentingan bersama, kepentingan pribadinya pun rela dinomorduakan.
Orang-orang besar tidak melulu menilai segala sesuatu dengan materi. Sebaliknya nilai-nilai hidup yang jauh lebih bermakna menjadi tujuan yang terutama untuk diraih. Nilai-nilai kebersamaan, kejujuran, tolong menolong, rela berkorban, menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan menjadi prinsip kehidupan.
Orang-orang besar juga tidak dengan picik melihat perbedaan sebagai ancaman yang harus disingkirkan, tetapi sebaliknya melihat perbedaan sebagai kekayaan yang harus dirawat dan dijaga. Maka, ikatan pemersatu sebagai satu bangsa, satu tanah air, dan satu bangsa benar-benar dihayati dan dijunjung tinggi.
Orang-orang besar juga tidak hanya mencari serta menghujat kekurangan para pemimpinnya, namun bisa memberi masukan-masukan berharga dan berguna. Ia juga akan selalu bertanya; apa yang bisa kuberikan untuk bangsaku, bukan selalu menuntut; apa yang bisa diberikan bangsa ini untukku. Maka dengan apa yang dipunya serta apa yang bisa dilakukan, akan dikerjakannya dengan sungguh-sungguh untuk bangsa nya.
Jika sebagai pemimpin, ia menjadi orang besar ketika benar-benar mampu menunjukkan kapasitasnya untuk membawa kemaslahatan bagi orang-orang yang dipimpinnya. Ia akan memimpin dengan tujuan yang jelas serta selalu peka terhadap kebutuhan orang yang dipimpinnya. Ia tanggap dengan segala keluhan yang ada, dan tidak malah menjadi pengeluh yang terlalu sering curhat kepada rakyatnya. Ia akan mencari, mendengar, dan melihat sendiri berbagai kepentingan rakyatnya. Sehingga ia akan sangat dekat dengan orang yang dipimpinnya yang tentunya juga akan mencintai dan menghormatinya bukan menakutinya.
Pemimpin besar tidak hanya sekadar pandai memberi janji, namun juga harus mampu memberi bukti dan realisasi. Maka ia bukan pelupa (yang suka melupakan janji-janjinya) atau dengan sengaja membuat orang-orang yang dipimpinnya terbiasa atau bahkan terpaksa untuk melupakan janji-janji yang pernah diucapkannya.
Bangsa ini pernah melahirkan beberapa pemimpin besar, salah satunya adalah Soekarno, proklamator bangsa yang juga dikenal sebagai salah satu pemimpin besar yang pernah ada tidak hanya di Indonesia melainkan juga di dunia. Kepiawaiannya di pergaulan internasional sudah tidak diragukan lagi. Soekarno juga merupakan pemimpin visioner yang juga berkiprah dalam menciptakan perdamaian di dunia global. Namanya tercatat dalam sejarah dunia sebagai salah satu pendiri Gerakan Non Blok.
Dengan segala kekurangannya, di negeri ini namanya tetap harum dan dikenang sebagai pemimpin besar. Karisma kepemimpinannya melekat dengan kuat dan sepertinya belum ada yang bisa mengimbanginya hingga saat ini. Saat ia berpidato, rakyat rela berjejalan dan menahan sengatan mentari demi mendengar secara langsung sang orator ulung menyampaikan gagasan-gagasan kebangsaannya.
Benar bahwa Soekarno hanya sekali dilahirkan ke dunia ini. Tetapi tentunya kita masih bisa berharap orang-orang besar dengan apa yang bisa diperbuatnya dan di bidangnya masing-masing semakin banyak bermunculan dari rahim bangsa ini. Hanya dengan demikian, bangsa ini benar-benar layak disebut sebagai bangsa yang besar. Semoga! (http://www.medanbisnisdaily.com)
Tapi mari kita lihat dari sisi yang berbeda. Sebagai bangsa yang besar dengan segala potensi yang dimiliki (luas wilayah, kekayaan alam, dan jumlah penduduk) apakah bangsa ini sudah bebas dari masalah klasik suatu bangsa semacam kemiskinan, pengangguran, biaya hidup yang tinggi, dan ragam permasalahan lain? Tentu kita sudah tahu jawabannya. Beberapa daerah yang melimpah kekayaan alamnya, mayoritas masyarakatnya justru mengalami kemiskinan.
Lalu, jika ukuran menjadi bangsa yang besar berarti bangsa yang memiliki prestasi-prestasi membanggakan di tataran pergaulan internasional, rasanya sebutan bangsa yang besar bukanlah milik Indonesia. Prestasi dalam artian sebenarnya semakin jauh dari bangsa kita. Sebaliknya prestasi dalam tanda kutip, semakin kerap menghampiri. Negara sarang teroris, negara korup, negara dengan pelayanan birokrasi buruk, negara dengan tingkat kerusakan hutan tertinggi, negara rawan konflik, dan lain-lain menjadi "prestasi" yang semakin akrab kita sandang.
Sementara itu kita semakin kehausan prestasi dalam artian sebenarnya. Di dunia olahraga misalnya. Jika beberapa tahun lalu Indonesia selalu tampil sebagai juara umum saat penyelenggaraan pesta olahraga se-Asia Tenggara (Sea Games), belakangan untuk meraih posisi tiga besar pun kita sudah kepayahan. Untungnya, kita masih mampu menjadi juara umum saat menjadi tuan rumah Sea Games baru-baru ini. Sementara itu, kalau dulu Indonesia dikenal sebagai jawaranya bulutangkis, belakangan kita sudah mulai membiasakan diri "pulang tanpa gelar" di turnamen-turnamen bergengsi internasional.
Bagaimana dengan sepakbola? Tidak diragukan lagi, dengan kondisi manajemen kepengurusan PSSI serba morat-marit saat ini, prestasi Timnas kita pun jauh dari membanggakan. Dengan modal kompetisi liga lokal yang semrawut, regenerasi yang tidak berjalan, Indonesia pun hanya bisa bermimpi lolos ke putaran final piala dunia. Jangankan piala dunia, untuk kawasan Asia saja Timnas kita masih menjadi bulan-bulanan Timnas Arab Saudi, China, Jepang, Korsel, dan negara asia lainnya. Dan jangankan kawasan Asia, di kawasan Asia Tenggara pun kita sudah semakin sulit menjadi yang terbaik.
Pemimpin Besar
Jika tulisan ini harus dilanjutkan dengan mendaftarkan ironi yang melekat bagi bangsa kita yang (katanya) merupakan bangsa besar, tentu tidak akan ada habis-habisnya dan hanya menambah kesedihan di hati. Yang terpenting saat ini adalah bagaimana caranya agar sebutan sebagai bangsa besar menjadi sebutan yang benar-benar layak untuk kita sandang dan banggakan.
Penulis berasumsi, bangsa yang besar tentulah berarti bangsa yang memiliki banyak orang-orang besar yang bisa berkarya menunjukkan "kebesaran" bangsa nya. Orang-orang besar tersebut tentu memiliki cara pandang yang besar pula, tidak picik dan tidak egosentris. Pandangan hidupnya adalah tidak menyingkirkan orang lain demi memenuhi kepentingan pribadinya. Bahkan demi kepentingan bersama, kepentingan pribadinya pun rela dinomorduakan.
Orang-orang besar tidak melulu menilai segala sesuatu dengan materi. Sebaliknya nilai-nilai hidup yang jauh lebih bermakna menjadi tujuan yang terutama untuk diraih. Nilai-nilai kebersamaan, kejujuran, tolong menolong, rela berkorban, menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan menjadi prinsip kehidupan.
Orang-orang besar juga tidak dengan picik melihat perbedaan sebagai ancaman yang harus disingkirkan, tetapi sebaliknya melihat perbedaan sebagai kekayaan yang harus dirawat dan dijaga. Maka, ikatan pemersatu sebagai satu bangsa, satu tanah air, dan satu bangsa benar-benar dihayati dan dijunjung tinggi.
Orang-orang besar juga tidak hanya mencari serta menghujat kekurangan para pemimpinnya, namun bisa memberi masukan-masukan berharga dan berguna. Ia juga akan selalu bertanya; apa yang bisa kuberikan untuk bangsaku, bukan selalu menuntut; apa yang bisa diberikan bangsa ini untukku. Maka dengan apa yang dipunya serta apa yang bisa dilakukan, akan dikerjakannya dengan sungguh-sungguh untuk bangsa nya.
Jika sebagai pemimpin, ia menjadi orang besar ketika benar-benar mampu menunjukkan kapasitasnya untuk membawa kemaslahatan bagi orang-orang yang dipimpinnya. Ia akan memimpin dengan tujuan yang jelas serta selalu peka terhadap kebutuhan orang yang dipimpinnya. Ia tanggap dengan segala keluhan yang ada, dan tidak malah menjadi pengeluh yang terlalu sering curhat kepada rakyatnya. Ia akan mencari, mendengar, dan melihat sendiri berbagai kepentingan rakyatnya. Sehingga ia akan sangat dekat dengan orang yang dipimpinnya yang tentunya juga akan mencintai dan menghormatinya bukan menakutinya.
Pemimpin besar tidak hanya sekadar pandai memberi janji, namun juga harus mampu memberi bukti dan realisasi. Maka ia bukan pelupa (yang suka melupakan janji-janjinya) atau dengan sengaja membuat orang-orang yang dipimpinnya terbiasa atau bahkan terpaksa untuk melupakan janji-janji yang pernah diucapkannya.
Bangsa ini pernah melahirkan beberapa pemimpin besar, salah satunya adalah Soekarno, proklamator bangsa yang juga dikenal sebagai salah satu pemimpin besar yang pernah ada tidak hanya di Indonesia melainkan juga di dunia. Kepiawaiannya di pergaulan internasional sudah tidak diragukan lagi. Soekarno juga merupakan pemimpin visioner yang juga berkiprah dalam menciptakan perdamaian di dunia global. Namanya tercatat dalam sejarah dunia sebagai salah satu pendiri Gerakan Non Blok.
Dengan segala kekurangannya, di negeri ini namanya tetap harum dan dikenang sebagai pemimpin besar. Karisma kepemimpinannya melekat dengan kuat dan sepertinya belum ada yang bisa mengimbanginya hingga saat ini. Saat ia berpidato, rakyat rela berjejalan dan menahan sengatan mentari demi mendengar secara langsung sang orator ulung menyampaikan gagasan-gagasan kebangsaannya.
Benar bahwa Soekarno hanya sekali dilahirkan ke dunia ini. Tetapi tentunya kita masih bisa berharap orang-orang besar dengan apa yang bisa diperbuatnya dan di bidangnya masing-masing semakin banyak bermunculan dari rahim bangsa ini. Hanya dengan demikian, bangsa ini benar-benar layak disebut sebagai bangsa yang besar. Semoga! (http://www.medanbisnisdaily.com)
0 Comments