Info Terkini

10/recent/ticker-posts

Kasus Sengketa Lahan Bandar Betsi Simalungun Berlarut

Mentok di Pemkab, Diserahkan ke Gubsu
RAYA- Komisi A DPRD Sumatera Utara meminta permasalahan sengketa lahan PTPN III Bandar Betsi diserahkan kepada Plt Gubsu Gatot Pujo Nugroho. Komisi A menilai, permasalahan ini belum bisa diselesaikan sepenuhnya oleh Pemkab Simalungun.

Pertemuan membahas penyelesaian sengketa lahan PTPN III Bandar Betsi berlangsung di Ruang Harungguan Sekretariat Pemkab, Rabu (4/4). Sebanyak 11 anggota Komisi A DPRD Sumut, Koreker, BPN Sumatera Utara  serta beberapa pejabat dari Pemkab Simalungun yang dipimpin Plt Sekda Gidion Purba mengadakan pertemuan membahas masalah tersebut. Turut hadir Asisten I Oberlin Hutagaol dan Kabag Tata Pemerintahan Rizal AP Saragih.

Sekitar satu jam mengadakan pertemuan, Ketua Komisi A DPRD Sumut H Isma Fadli Pulungan  menyebutkan, setelah mencermati usaha yang dilakukan Pemkab selama ini, mereka meminta masalah tanah di PTPN III Bandar Betsi dikembalikan kepada Plt Gubsu Gatot Pujo Nugroho.

“Kemudian kita berharap kepada Direksi PTPN III , seminggu ke depan agar memperjelas tentang jumlah suguh hati (pemberian PTPN III kepada warga, red)  yang akan diberikan kepada masyarakat di Bandar Betsi,” ungkapnya.

Pada pertemuan itu, atas nama Komisi A DPRD Sumut, Pulungan juga mengucapkan terima kasih kepada Bupati Simalungun JR Saragih yang sudah bekerja mengidentifikasi nama-nama yang akan menerima suguh hati. Sementara kepada Koreker diminta agar bersabar menunggu keputusan yang akan diambil.

Anggota Komisi A DPRD Sumut Bustami mengatakan, masalah tanah ini akan dikembalikan lagi kepada Plt Gubsu Gatot Pujo Nugroho. Dia meminta agar masalah tidak lagi ditangani manajemen PTPN III dan Pemkab Simalungun. “Pertemuan hari ini tidak layak dilanjutkan. Kita tidak bisa mengambil kesimpulan apa pun,” ungkap Bustami.
Anggota Komisi A lainnya, Mustofawiyah mengatakan, Pemkab Simalungun dinilai selama ini tidak proaktif dalam menangani persoalan Bandar Betsi. Tidak berkoordinasi dengan Koreker untuk mendata nama-nama warga pemilik tanah di lahan tersebut.
Namun, Asisten I Oberlin Hutagaol membantah anggapan yang menyatakan Pemkab Simalungun tidak serius menangani Bandar Betsi. Menurutnya, Pemkab serius menangani masalah ini, dan data-data 705 kepala keluarga (KK) telah diumumkan selama sebulan penuh di Harian Kompas. “Namun setelah nama-nama yang terdaftar diumumkan sebulan penuh, yang memiliki data hanya 201 KK saja. Data yang diperoleh saat ini dimaksudkan untuk menghindari pertentangan  kelompok-kelompok di lapangan yang terus berkembang saat ini,” jelasnya.

Sekadar informasi, kasus sengketa lahan Bandar Betsi ini sempat memanas pada akhir tahun 2010 lalu. Menurut keterangan sejumlah warga, tahun 1941 Belanda menguasai lahan seluas 943 hektare di Bandar Betsi. Pada tahun 1943 saat pemerintah Jepang menjajah Indonesia, lahan tersebut dikuasai Jepang. Mereka memerintahkan warga menebang kayu hutan untuk keperluan bantalan kereta api. Tanah bekas penebangan kayu akhirnya ditanami tanaman pangan dan palawija. Sementara kebun saat itu sedang kosong ditinggalkan orang Belanda.

Pada tahun 1945, pihak perkebunan meminta agar tanah yang sudah dikuasai petani dikembalikan. Sebagai tindak lanjut, maka turun intansi terkait ke lapangan untuk melakukan pemeriksaan. Keputusan intansi saat itu agar pihak perkebunan membayar ganti rugi tanaman dan upah pembersihan kepada masyarakat petani. Namun pihak perkebunan tidak memenuhi kesepakatan.

Untuk melindungi hak-hak masyarakat oleh pemerintah, akhirnya diterbitkan Undang-undang nomor 8 tahun 1954 yang menyatakan bahwa setiap pengganti tanah rakyat diserahkan dengan keadaan siap tanam.
Tahun 1960-1968, untuk memenuhi kebutuhan, masyarakat mengelola lahan tersebut dan didukung Pemda Kabupaten Simalungun dengan mengeluarkan izin pembukaan tali air dan teknis penggalian sumber air. Terbukti dalam surat keputusan tanggal 2 Maret 1965 nomor 4/II/10/LR/BP menyatakan melepaskan tanah garapan dari pihak kebun.

Namun pada tahun 1968-1998, lahan tersebut kembali direbut paksa oleh pihak kebun. Saat itu masa pemerintahn Soeharto, secara paksa masyarakat diminta mengosongkan lahan. Kalau tidak diindahkan, warga dituding PKI dan akan dibunuh. Oleh sebab itu masyarakat meninggalkan lahan tersebut. Maka kediaman masyarakat di lahan tersebut saat itu habis dibakar PTPN III untuk ditanami karet.

Pasca lengsernya Soeharto tahun 1998 hingga hari ini, masyarakat kembali membentuk tim untuk merebut lahan seluas 943 hektare milik masyarakat tersebut. Masyarakat berhasil menduduki lahan kembali atas dukungan Gubernur Sumatera Utara. (ral/dok/ara)(metrosiantar.com)

Berita Lainnya

There is no other posts in this category.

Post a Comment

0 Comments