Demikian diungkapkan Judin Ambarita (67) warga Sihaporas. Ia mengatakan,
warga Sihaporas hidup mandiri dengan bermodalkan lahan pertanian yang
bisa dikelola masyarakat. Sedangkan pembangunan yang
digemborkan-gemborkan pemerintah, katanya untuk kesejahteraan
masyarakat, tidak pernah dirasakan masyarakat Sihaporas.
“Pemerintah membuat program pembangunan
pedesaan. Setiap nagori mendapatkan bantuan dana Rp250 juta. Dana itu
disebut anggaran Program Pembangunan Infratruktur Pedesaan (PPIP). Kami
dengar Nagori Sihaporas mendapat dana itu, tapi kami tidak tau ke mana
dibuat Pangulu Nagori Sihaporas dana itu,” ujar Judin Ambarita, Minggu
(10/6).
Ia mengatakan, sebelum pencairan dana
PPIP tersebut, masyarakat sempat diundang rapat oleh Pangulu Sihaporas
yang saat itu masih dijabat Manotar Ambarita. Dalam rapat yang hanya
sekali saja dilakukan itu, pangulu menjelaskan, Nagori Sihaporas akan
mendapat dana pembangunan dari pemerintah.
“Pangulu mengatakan dana pembangunan itu
disebut dana PPIP. Nagori Sihaporas mendapat Rp250 juta. Karena dalam
Nagori Sihaporas terbagi 5 dusun, dana itu katanya akan dibagai Rp50
juta per dusun. Peruntuhannya untuk perbaikan jalan nagori di
masing-masing dusun yang kondisinya rusak parah, yakni Dusun Sihaporas
Aek Batu, Dusun Sihaporas Bolon, Dusun Gunung Pariama, Dusun Sihaporas
Bayu, dan Dusun Sihaporas Lumban Ambarita,” katanya.
Warga lainnya, Thomson Ambarita (34)
mengatakan, pihaknya pernah ikut rapat membahas tentang bantuan PPIP
tersebut. Dana tersebut diperuntuhkan untuk perbaikan jalan, tetapi
hingga saat ini tidak ada pernah perbaikan jalan di Nagori Sihaporas.
“Kalau memang benar ada turun dana itu ke Nagori Sihaporas, kami tidak
tau ke mana dibuat dana itu. Kami masyarakat di sini kurang tau, apakah
dana itu sudah cair atau tidak. Kalau nagori tetangga mengatakan, mereka
sudah menerima dana PPIP, tapi kalau nagori Sihaporas belum tau-lah,”
ucap Thomson.
Nagori Sihaporas, kata Thomson, sangat
jarang kedatangan pejabat atau pemeriksa pengguna keuangan negara. Oleh
karena itu, tidak tertutup kemungkinan ada indikasi penyelewengan dana
yang diperuntuhkan. “Kami mengharapkan pihak terkait supaya mengecek
penggunaan anggaran di Nagori Sihaporas. Kalau ditanya masyarakat
tentang anggaran, masyarakat mana tau itu. Masyarakat taunya hanya cara
menanami kopi, jagung dan cabai, serta memupuk,” ucapnya.
Seorang ibu rumah tangga di sana,
Dirmiwati Silalahi (51) mengatakan, pengetahuan masyarakat Sihaporas
tergolong dibawah rata-rata di bidang pemerintahan. Sehingga ketika ada
oknum pejabat yang membodoh-bodohi, masyarakat bisa tidak mengetahui
itu.“Kami mana tau, kalau Manotar rupanya sebagai pangulu sudah mulai
merampas tanah masyarakat.
Kami mengetahui fakta itu, ketika
Manotar menebangi kayu-kayu di tanah masyarakat. Bisa-bisanya, katanya
Manotar punya tanah di kampung yang sudah berpuluh-puluh tahun ditempati
masyarakat. Sudah gitu, ada pula katanya surat-surat pangulunya. Ya
jelas saja, Manotar mudah membuat surat pangulu, kan dia (Manotar)
sendiri pangulunya,” tegas ibu 5 orang anak ini.
Amatan METRO, untuk masuk ke Nagori
Sihaporas, lewat dari jalan besar Pematang Sidsamanik harus melewati 10
kilometer jalan rusak. Sebagian besar jalan tersebut tidak tersentuh
aspal. Untuk melewati jalan rusak tersebut, pengendara harus dengan
kecepatan 20 kilometer per jam, karena banyak lobang.
Sementara melintas dari jalan besar Aek Nauli, harus melewati jalan rusak sepanjang 6 kilometer. Tidak ada jalan aspal, di kiri jalan jurang.
Sementara melintas dari jalan besar Aek Nauli, harus melewati jalan rusak sepanjang 6 kilometer. Tidak ada jalan aspal, di kiri jalan jurang.
Untuk keluar kampung, warga biasanya
lewat jalur Pematang Sidamanik. Di kampung tersebut jarang didapati
irigasi. Irigasi di sana dibuat masyarakat sendiri dengan menggali tanah
di bahu jalan. (metrosiantar.com)
0 Comments