SIANTAR- Dinas
Kesehatan Kota Siantar menyalahkan manajemen RSU Djasamen Saragih
terkait tewasnya pasien Jampersal Hormaida br Sidabutar (37), Senin
(23/7) subuh. Dinkes beranggapan prosedur telah dijalankan bidan Saria
br Manurung dan seharusnya Hormadia dioperasi. Kepala Bidang Jaminan
Sarana dan Kesehatan RSU Djasamen Saragih Yuniarito Pardede ditemui di
ruangannya, Selasa (24/7) menyebutkan, Jampersal merupakan jaminan
persalinan gratis bagi semua ibu hamil yang tidak mempunyai jaminan
kesehatan.
“Semua ibu hamil baik miskin maupun kaya
bisa mendapatkan ini. Cara mendapatkannya, periksa kehamilan ke bidan
atau puskesmas dengan cukup membawa KTP saja. Tidak ada bayar, diperiksa
empat kali gratis,” ungkapnya lagi. Disebutkan, tidak semua bidan yang
di Siantar ini bisa dijadikan sebagai tempat memeriksa kehamilan untuk
pasien Jampersal. Dari delapan kecamatan yang ada, Dinas Kesehatan sudah
menjalin kerjasama dengan 25 bidan yang tersebar di berbagai kelurahan.
“Kalau persalinan normal bisa ditempat
25 bidan itu. Tapi kalau di luar normal seperti komplikasi kehamilan
harus dirujuk ke RSU Djasamen Saragih. Kalau rujukan juga tidak susah,
minta surat rujukan dari puskesmas, bawa KTP dan kartu keluarga, itu
saja,” jelasnya.
Dikatakan, sesampai pasien ini di RSU Djasamen, maka
pasien ini sepenuhnya menjadi tanggungjawab dari manajemen RSU Djasamen.
Sepengetahuannya, di RSU Djasamen sendiri ada bidang yang mengelola
masalah pasien Jampersal ini. “Sesudah ibu ini melahirkan, fasilitas
Jampersal tetap diberikan dengan empat kali pemeriksaan gratis
lanjutan,” ujarnya.
Dia mengatakan, bidan Saria br Manurung
sudah melakukan prosedur penanganan yang benar terkait pasien Hormaida
br Sidabutar yang meninggal di RSU Djasamen.
“Bidan Saria merujuk pasien ke RSU Djasamen karena pasien ini sudah pernah melakukan operasi pada anak pertamanya. Tensi pasien ini juga turun naik dan tidak stabil. Saat itu tensi pasien kita ini sudah tinggi mencapai 170 mmhg,” jelasnya.
Ditegaskannya, sejak Jumat, Hormaida
sudah dirujuk ke RSU Djasamen Saragih. Harapan Bidan Saria, agar pasien
ini diberikan tindakan lain seperti operasi, bukan lagi kelahiran
normal. “Bidan Saria berkesimpulan, Hormaida beresiko jika melahirkan
normal di tempat bidan karena sudah pernah dioperasi pada kelahiran anak
pertamanya.
Di tempat bidan itu juga tidak ada alat-alat lain untuk
mendukung persalinan jika dilakukan operasi. Sudah benar prosedur yang
dijalankan bidan itu. Dia tadi sudah kita panggil ke sini,” jelasnya
lagi.
*Dokter Jampersal Mengeluh
Ketua Tim Jamkesmas RSU Djasamen Saragih dr Eva Sinaga dihubungi Selasa menyebutkan, selama ini sudah banyak keluhan dari dokter di RSU Djasamen Saragih terkait penanganan pasien Jampersal. Manajemen RSU telah menyampaikan masalah ini ke Pemko Siantar. Disinggung keluhan ini masalah gaji, dr Eva membantah. Dia menyebutkan keluhan dokter ini terkait sarana dan prasarana di RSU Djasamen untuk pasien Jampersal.
Disebabkan sarana dan prasarana yang
tidak memadai, terkadang ada anggapan masyarakat, dokter di RSU Djasamen
menolak pasien yang dibiayai Jampersal. “Kalau masalah gaji itu
relatif, tidak bisa saya katakan gaji dokter itu kurang. Kami
menjalankan ini sesuai peraturan pemerintah. Kalau biaya pasien
persalinan normal, pemko membayarkan Rp1.100.000 kepada RSU,” jelasnya.
“Sementara kalau persalinan tidak
normal, biayanya berkisar Rp1.100.000 hingga Rp2.000.000, tergantung
indikasinya. Biaya itu sudah termasuk obat, biaya prasarana dan juga
jasa dokter yang menangani baik itu dokter anak, dokter anastesia maupun
dokter yang menangani persalinan itu,” jelasnya lagi.
Disebutkannya,
jika bicara hati nurani, beban kerja para dokter yang menangani pasien
Jampersal ini termasuk berat disebabkan banyaknya pasien yang harus
mereka periksa dan tangani. Besaran gaji dokter ini sekitar Rp90 ribu
hingga Rp100 ribu per hari saja.
“Bayangkanlah Pak, dokter ini harus
bekerja mulai pagi hingga pagi, jam tiga dinihari pun mereka ditelepon,
mereka harus bangun,” katanya lagi. Disinggung kejadian tewasnya
Hormaida dan anaknya pada Senin dinihari karena dipaksa melahirkan
normal di RSU Djasamen, dr Eva menyarankan agar mempertanyakan masalah
ini langsung kepada Humas RSU Djasamen Saragih. Menurutnya, dia tidak
memiliki kapasitas menjawab itu.
RSU Akui Kelalaian Pelayanan
Pihak Rumah Sakit Umum Djasamen Saragih mengakui bahwa tewasnya ibu beserta bayinya pada Senin (23/7) pukul 04.00 WIB adalah kelalaian dari pada pelayanan pihak rumah sakit. Humas RSUD Djasamen Saragih dr Andi Rangkuti ditemui di tempat prakteknya di Jalan Pdt Justin Sihombing Selasa (24/7) mengatakan, meninggalnya Hormaida Sidabutar (37) serta bayi laki-laki setelah lima menit melahirkan adalah kekurang tanggapan dari pada pihak rumah sakit.
Sebelum kejadian, dr Andi membenarkan
bahwa keluarga korban datang ke RSU meminta supaya Hormaida bersalin
dengan cara opreasi. Akan tetapi medis tidak langsung merealisasikannya,
sebab si pasien terlebih dahulu diperiska soal kondisi fisiknya.
Sedangkan sewaktu diperiksa oleh bidan yang jaga Lustiana br Manalu
kondisi pasien baik-baik saja hanya saja tensinya tidak stabil.
“Walau mereka minta dioperasi, tapi kita
kan tetap menjalankan prosedural dengan memeriksa kondisi pasien dan
kondisinya baik-baik saja,” sebut Andi. Ia juga mengatakan, bidan
Lustiana br Manalu tetap melakukan koordinasi dengan dr Johan Nasution
lewat telepon. “Dokter Johan saat itu mengatakan kepada anggotanya tetap
melakukan observasi (pengawasan) dan bila ada yang darurat maka dokter
Johan akan turun,” tambahnya.
Pada situasi tersebut, ternyata si
pasien melahirkan sekitar pukul 04.00 WIB dan setelah sekitar 5 menit
setelah bayi di lahirnya dengan ukuran berat 3.000 gram akhirnya tewas.
Selanjutnya beberapa menit kemudian ibunya juga ikut tewas. Sedangkan
pada situasi tersebut dokter Johan tidak ada di rumah sakit. Ditanya
penyebab bayi tersebut meninggal, dr Andi mengatakan kemungkinan bayi
tersebut sudah terlambat tanggal atau juga kemungkinan lainnya.
Akan
tetapi disinggung bahwa hari Jumat (20/7) bahwa Togar dan Hormaida sudah
datang ke RS Umum untuk bersalin. Namun petugas medis mengatakan saat
itu bahwa belum waktunya untuk bersalin sehingga mereka pulang kembali.
“Yah, kemungkinan saja lewat tanggal,”
sahut dr Andi sembari tidak bisa menjelaskan secara medis penyebab
kematian sang bayi. Selanjutnya ibu bayi yang beberapa menit juga ikut
tewas, menurutnya bahwa penyebab kematiannya karena terjadi Atonia Uteri
atau pendarahan hebat.
“Setelah melahirkan pasien mengalami pendaraan
hebat, sehingga mengakibatkan meninggal dunia,” katanya. Sementara itu,
saat kejadian Togar yang melihat istrinya sudah lemah setelah melahirkan
memohon kepada petugas medis supaya dibawa ke ruang ICU, sebab istrinya
sudah kritis. Akan tetapi para medis tidak melaksanakannya.
Menimpali itu, kembali dokter Andi
mengatakan bahwa itu adalah salah satu kekurangan kecepatan penanganan.
“Kita juga sadari itu bahwa si pasien tidak di bawa ke ICU dan itulah
kelemahan soal kecepatan penanganan. Padahal si pasien itu memang harus
mendapat penanganan karena sudah kritis,” ujarnya.
Ditanya kenapa dokter
tidak datang mendiagnosa si pasien saat datang ke RS, Andi mengatakan
bahwa dokter saat itu hanya bermodalkan informasi dari bidan jaga. Yang
melakukan diagnosa si pasien adalah dokter. Namun bidan yang jaga
mengganggab si pasien kondisinya baik saja sehingga tidak meminta
diagnosa kepada dokter.
“Kita tidak menyangka kejadiannya
seperti itu, dan itu hanya soal estimasi waktu. Dokter ketika itu
mengatakan bila selama 4 jam tidak bersalin maka dia akan datang. Akan
tetapi belum 4 jam si pasien sudah melahirkan,” sahut pria yang
sebelumnya pernah menjadi Kadis Kesehatan.
Ia mengaku bahwa protap rumah
sakit bahwa dokter seharusnya memeriksa si pasien dan tidak bisa
didelegasikan kepada bidan yang jaga. “Saat itu sedang sahur, namanya
juga manusia memiliki kekurangan. Akan tetapi itu adalah kekurangan kami
yang sistem kerjanya tidak dilaksanakan dengan baik,” sahutnya.
Ditanya bentuk tangung jawab pihak Rumah
Soal Peristiwa tersebut, dr Andi tidak bisa menjelaskan secara detail
bentuk tanggung jawabnya. Menurutnya bahwa sistem pelayanan akan
diperbaiki lagi serta berjanji tidak akan terulang lagi kejadian serupa.
“Kita tetap melakukan kode etik internal, dan di mana letak
kesalahannya akan ditindak lanjuti. Kepada kelaurga pasien juga kita
sudah mempersiapakan bentuk pertanggung jawaban bila datang menuntut
pihak rumah sakit. Laporan secara tertulis sudah ada,” katanya.
Namun ia tidak mau menjelaskan apa isi
laporan tersebut dan ia enggan menyebutkan bentuk tanggung jawab yang
dilakukan oleh pihak rumah sakit.
Sementara itu, ketika diminta salinan
rekamnya rekam mediknya dr Andi mengatakan, yang berhak meminta rekam
medik hanyalah pihak pengadilan. “Tidak bisa kami memberikannya. Sebab
sifatnya adalah rahasia,” katanya.
Pada kesempatan yang berbeda, dr Sarmedi
Purba mengatakan bahwa sesuai prosedural bahwa memang dokter harus
melakukan diagnosa terlebih dahulu bagi pasien yang mau bersalin untuk
memeriksa kondisi pasien baik secara fisik maupun penunjuang seperti
keadaan jantung, atau kondisi mental. Sementara itu disinggung tanggapan
organisasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dr Sarmedi mengatakan
keluarga pasien bisa melaporkannyake IDI.
Selanjutya IDI akan
menindaklanjutinya dengan aturan yang sudah ditentukan. Selain ke IDI
keluarga pasien juga bisa menuntut kepada pemerintah soal pelayanan
rumah sakit umum. “Bila memang pasien melihat ada keganjilan atau kurang
puas. Ke pemerintah juga bisa meminta pertangung jawaban. Karena itu
hak dari pada pasien atau keluarga pasien,” katanya.
Sebeumnya, Togar Samosir serta
keluarganya protes atas meniggalkan ibu serta bayi yang dilahirkannya.
Setelah kejadian, di ruang Tunas Jaya RS Umum mereka ribut dan tidak
terima atas penanganan RS yang menyebabkan dua orang tewas.
Sebelumnya
mereka datang dan bermohon supaya korban dioperasi. Alasannya adalah
bahwa anak pertama Hormaida bersalin dengan cara di operasi sekitar 2,5
tahun yang lalu di RS Harapan. Namun pihak RS sakit tidak melakukan
operasi, sehingga korban melahirkan secara normal. Walau menurut bidan
Lustiana Manalu kondisi pasien normal, akan tetapi ibu dan bayinya hanya
beberapa menit bertahan hidup setelah melahirkan.
Akibat dari itu, keluarga korban
mengamuk dan tidak terima atas peristiwa tersebut. Yang lebih membut
kelaurga marah, setelah melahirkan saat kondisi pasien kritis Togar
sudah bermohon supaya di bawa ke ICU dan saat itu ia mengatakan siap
dalam biayanya. Namun petugas medis tidak membawanya ke ICU.
Dr Ria selaku direktur RS Umum Djasamen Saragih tidak mau memberikan keterangan soal itu. (MSC)
Dr Ria selaku direktur RS Umum Djasamen Saragih tidak mau memberikan keterangan soal itu. (MSC)
0 Comments