Info Terkini

10/recent/ticker-posts

Disiplin PNS di Pemkab Simalungun, Finger Print dan Bernhard Damanik

 
DISIPLIN merupakan perasaan taat dan patuh terhadap nilai-nilai  yang dipercaya, termasuk melakukan pekerjaan tertentu  yang menjadi tanggung jawabnya.  Dan disiplin, kata kawan saya, mencakup hal yang sangat luas dan bermakna. Jadi bukan hanya taat pada jam kerja, tapi juga taat pada perintah serta ketentuan. 

Termasuk, taat dan patuh pada aturan serta hukum yang berlaku. Lantas, orang yang tidak taat pada hukum, boleh disebut sebagai orang yang tidak berdisiplin. Tidak menggunakan helm saja pun saat berkendara di jalan raya dapat digolongkan sebagai orang yang tidak berdisplin. 

Termasuk, tidak memiliki SIM (Surat Izin Mengemudi) saat berkendara di jalan raya, tidak membayar pajak, bahkan, orang yang korupsi juga tak terlalu salah jika disimpulkan sebagai orang yang tidak berdisiplin.

Bagi PNS (Pegawai Negeri Sipil), ada peraturan yang mengatur tentang disiplin. Namanya, Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010. Dulu, waktu saya masih berstatus PNS di lingkungan Departemen Pendidikan, peraturan itu namanya Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980. 

Barangkali, karena PP (Peraturan Pemerintah) itu sudah terlalu tua dan sudah pula kurang sesuai dengan situasi kekinian, maka Pemerintah Pusat pun menggantinya dengan PP Nomor 53 Tahun 2010. Meski pun, setelah saya cermati antara PP 30/ 1980 dengan PP 53/ 2010 tidak terlalu berbeda secara siginifikan.

Secara khusus pada Pasal 3 Ayat (11) Peraturan Pemerintah tadi disebutkan : Setiap PNS wajib datang melaksanakan tugas dan pulang sesuai dengan ketentuan kerja serta tidak berada di tempat umum bukan karena tugas. Kalau mau dijabarkan, artinya setiap PNS wajib mentaati ketentuan kerja yang sudah digariskan. Ketentuan itu berupa masuk kerja pukul 08.00 dan pulang kerja pukul 16.00.

Secara khusus, sesuai dengan penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 53  Tahun 2010 tadi khususnya pada Pasal  3 Ayat (11)  disebutkan : Keterlambatan masuk kerja dan pulang cepat dihitung secara kumulatif dan dikonfersi 7 setengah jam sama dengan satu hari masuk kerja.

Maka dalam rangka penerapan PP 53/ 2010 itulah barangkali, Pemkab Simalungun tahun lalu melakukan pembelian alat pengabsen untuk  PNS di lingkungannya yang disebut dengan nama Finger Print. Terjemahannya adalah mesin absensi atau mesin sidik (jari) Dengan alat canggih ini, setiap pegawai hanya bisa membuktikan kehadirannya melalui sidik jarinya yang direkam melalui sebuah peralatan  canggih. Jadi tidak akan terjadi lagi absen bodong seperti di DPRD - RI sana, seperti yang pernah diungkapkan Ketua DPR - RI Marzuki Ali.

Waktu pembelian Finger Print itu, kawan saya Resman Saragih menjadi Kepala Badan Kepegawaian Daerah  (BKD) Simalungun. Dalam suatu percakapan dengannya, kata anak Silou Kahean itu kepada saya, Finger Print yang dibeli Pemkab Simalungun itu memang merupakan sebuah peralatan elektronik yang sangat canggih yang dibuat sedemikian rupa hingga dapat merekap data dan daftar hadir/ absensi yang ada di seluruh Satuan Kerja Perangkat Daearah (SKPD) Pemkab Simalungun, termasuk kantor-kantor kecamatan serta seluruh puskesmas yang bagaimana pun jauhnya.

Tak ada lagi batas ruang dan waktu, kata Resman waktu itu, karena setiap saat pihak BKD Simalungun yang berkantor di Sondi Raya dapat memantau seluruh pegawai Pemkab Simalungun dimana saja. Biar yang ada di Ujung Padang, mau pun yang ada di Saran Padang. Biar yang ada di Girsang Sipangan Bolon, Silou Kahean bahkan pun yang ada di Haranggaol Horisan, Silimakuta Barat sampai ke Bandar Huluan dan Jawa Maraja.

"Semua pegawai yang tidak masuk kerja, terlambat masuk atau cepat pulang, dapat dideteksi dengan gampang sekali", begitu kata Resman waktu itu.

Waktu itu, saya memang terpesona dengan cerita kawan saya Resman. Hebat dan jago Pemkab Simalungun pikir saya waktu itu, seperti Bupati Simalungun JR Saragih yang hebat dan jago pula bahkan hebat dan jago sekalipun. Melalui dan menggunakan alat elektronik Finger Print, tentu bisa dilaksanakan proses dan prosudur serta pelaporan absensi pegawai.

 Seluruh pegawai di jajaran Pemkab Simalungun pun tak bisa lagi neko-neko. Setiap hari bahkan setiap saat pegawai yang tidak masuk kerja dapat diketahui secara cepat dan akurat, meski pegawai yang bersangkutan bertugas entah dimana saja di wilayah Kabupaten Simalungun.

Tapi apa yang terjadi dan sekarang menjadi fakta soal Finger Print  itu ?

Menurut kawan saya Bernhard Damanik yang sekarang anggota DPRD Simalungun, justru seluruh Finger Print tadi sudah tidak berfungsi lagi. Astagafirullah ! Tak berfungsi ? Ya, bahkan Bernhard bilang program ini merupakan sebuah proyek gagal. Nyatanya, kata dia, semua Finger Print yang berada di semua SKPD termasuk yang berada di seluruh kantor kecamatan serta puskesmas tidak terkoneksi langsung ke BKD seperti yang direncanakan. 

Sehingga, katanya, ada dugaan bahwa pekerjaan itu tidak memenuhi persyaratan atau tidak sesuai dengan spesifikasi yang telah ditentukan. Bahkan, Bernhard malah menduga Pemkab Simalungu telah melakukan mark-up atau penggelembungan harga saat melakukan pengadaan Finger Print ini.

Bernhard Damanik tak alang kepalang serta tidak tanggung-tanggung. Menurut kawan saya ini berdasarkan temuan Tim IV LKPJ DPRD Simalungun,  Finger Print yang dibeli seharga Rp 2.525.000.000 itu sekarang tidak berfungsi lagi, sehingga uang Pemkab Simalungun yang sebesar Rp 2, 5 miliar lebih itu menjadi terbuang sia-sia. 

Sementara, kata dia lagi, LHP BPK RI terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Kabupaten Simalungun tidak ditemukan pengujian terhadap kegiatan yang diduga telah terjadi penyimpangan pengelolaan keuangan negara yang terindikasi menimbulkan kerugian pada keuangan negara/ daerah.

Ketika mendengar cerita Bernhard, wajar dan pantas saya pun teringat pada cerita Resman tempo hari. Saat mendengar cerita Resman, saya terpesona. Tapi ketika mendengar cerita Bernhard, saya malah terbelalak. Sesuatu yang paradoksal. Terpesona boleh jadi karena kagum, sementara terbelalak boleh jadi karena kaget. Kagum dan kaget terjadi dalam waktu yang bersamaan.

Sudah barang tentu saya tidak merasa perlu untuk melakukan semacam investigasi dalam soal ini. Mana yang benar, antara Resman dan Bernhard, bagi saya tidak terlalu penting. Apalagi, saya bukan investigator, bukan eksekutor, juga bukan legislator, dan bukan pula yudikator. Paling-paling pun kalau mesti ada or-ornya, saya barangkali cuma provokator.

Yang saya tahu, Pemkab Simalungun itu jago dan hebat sekali. Apalagi Bupati Simalungun JR Saragih, merupakan seorang yang jago dan hebat sekalupun.

Saya pikir, Pemkab Simalungun tidak bisa diam dengan tudingan Bernhard Damanik ini. Kalau tudingan Bernhard tak benar, barangkali bisa dianggap sebagai fitnah. Sementara, almarhum Jenderal Abdul Haris Nasution pernah mengatakan, fitnah lebih kejam dari pembunuhan.

Pemkab Simalungun di bawah kepemimpinan JR Saragih agaknya perlu tanggap sekaligus responsif terhadap tudingan Bernhard. Jadi tidak elok bersikap bagai anjing menggonggong kafilah berlalu. Meski pun, kata kawan saya anjing menggonggong karena anjing yang baik adalah yang selalu  menggonggong sementara kafilah yang berlalu akan terus juga berlalu agar barang dagangannya bisa terjual.

Artinya, kalau Finger Print tadi memang tak berfungsi (lagi) ya jelaskan kepada publik memang tak berfungsi (lagi) Tapi kalau masih (tetap) berfungsi serta berjalan sesuai dengan perencanaannya, ya jelaskan juga kepada publik agar semuanya bisa jelas dan transparan.

Soal masalah hukum ? Wahai, manalah saya paham itu !
_____________________________________________________________________________________________
Siantar Estate, 27 Agustus 2012

Ramlo R Hutabarat                                                                                HP : 0813 6170 6993

Berita Lainnya

There is no other posts in this category.

Post a Comment

0 Comments