DISIPLIN
merupakan perasaan taat dan patuh terhadap nilai-nilai yang dipercaya,
termasuk melakukan pekerjaan tertentu yang menjadi tanggung jawabnya.
Dan disiplin, kata kawan saya, mencakup hal yang sangat luas dan
bermakna. Jadi bukan hanya taat pada jam kerja, tapi juga taat pada
perintah serta ketentuan.
Termasuk, taat dan patuh pada aturan serta
hukum yang berlaku. Lantas, orang yang tidak taat pada hukum, boleh
disebut sebagai orang yang tidak berdisiplin. Tidak menggunakan helm
saja pun saat berkendara di jalan raya dapat digolongkan sebagai orang
yang tidak berdisplin.
Termasuk, tidak memiliki SIM (Surat Izin
Mengemudi) saat berkendara di jalan raya, tidak membayar pajak, bahkan,
orang yang korupsi juga tak terlalu salah jika disimpulkan sebagai orang
yang tidak berdisiplin.
Bagi PNS (Pegawai Negeri Sipil),
ada peraturan yang mengatur tentang disiplin. Namanya, Peraturan
Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010. Dulu, waktu saya masih berstatus PNS di
lingkungan Departemen Pendidikan, peraturan itu namanya Peraturan
Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980.
Barangkali, karena PP (Peraturan
Pemerintah) itu sudah terlalu tua dan sudah pula kurang sesuai dengan
situasi kekinian, maka Pemerintah Pusat pun menggantinya dengan PP Nomor
53 Tahun 2010. Meski pun, setelah saya cermati antara PP 30/ 1980
dengan PP 53/ 2010 tidak terlalu berbeda secara siginifikan.
Secara
khusus pada Pasal 3 Ayat (11) Peraturan Pemerintah tadi disebutkan :
Setiap PNS wajib datang melaksanakan tugas dan pulang sesuai dengan
ketentuan kerja serta tidak berada di tempat umum bukan karena tugas.
Kalau mau dijabarkan, artinya setiap PNS wajib mentaati ketentuan kerja
yang sudah digariskan. Ketentuan itu berupa masuk kerja pukul 08.00 dan
pulang kerja pukul 16.00.
Secara khusus, sesuai dengan
penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tadi khususnya pada
Pasal 3 Ayat (11) disebutkan : Keterlambatan masuk kerja dan pulang
cepat dihitung secara kumulatif dan dikonfersi 7 setengah jam sama
dengan satu hari masuk kerja.
Maka dalam rangka penerapan
PP 53/ 2010 itulah barangkali, Pemkab Simalungun tahun lalu melakukan
pembelian alat pengabsen untuk PNS di lingkungannya yang disebut dengan
nama Finger Print. Terjemahannya adalah mesin absensi atau mesin sidik
(jari) Dengan alat canggih ini, setiap pegawai hanya bisa membuktikan
kehadirannya melalui sidik jarinya yang direkam melalui sebuah
peralatan canggih. Jadi tidak akan terjadi lagi absen bodong seperti di
DPRD - RI sana, seperti yang pernah diungkapkan Ketua DPR - RI Marzuki
Ali.
Waktu pembelian Finger Print itu, kawan saya Resman
Saragih menjadi Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Simalungun. Dalam
suatu percakapan dengannya, kata anak Silou Kahean itu kepada saya,
Finger Print yang dibeli Pemkab Simalungun itu memang merupakan sebuah
peralatan elektronik yang sangat canggih yang dibuat sedemikian rupa
hingga dapat merekap data dan daftar hadir/ absensi yang ada di seluruh
Satuan Kerja Perangkat Daearah (SKPD) Pemkab Simalungun, termasuk
kantor-kantor kecamatan serta seluruh puskesmas yang bagaimana pun
jauhnya.
Tak ada lagi batas ruang dan waktu, kata Resman
waktu itu, karena setiap saat pihak BKD Simalungun yang berkantor di
Sondi Raya dapat memantau seluruh pegawai Pemkab Simalungun dimana saja.
Biar yang ada di Ujung Padang, mau pun yang ada di Saran Padang. Biar
yang ada di Girsang Sipangan Bolon, Silou Kahean bahkan pun yang ada di
Haranggaol Horisan, Silimakuta Barat sampai ke Bandar Huluan dan Jawa
Maraja.
"Semua pegawai yang tidak masuk kerja, terlambat
masuk atau cepat pulang, dapat dideteksi dengan gampang sekali", begitu
kata Resman waktu itu.
Waktu itu, saya memang terpesona
dengan cerita kawan saya Resman. Hebat dan jago Pemkab Simalungun pikir
saya waktu itu, seperti Bupati Simalungun JR Saragih yang hebat dan jago
pula bahkan hebat dan jago sekalipun. Melalui dan menggunakan alat
elektronik Finger Print, tentu bisa dilaksanakan proses dan prosudur
serta pelaporan absensi pegawai.
Seluruh pegawai di jajaran Pemkab
Simalungun pun tak bisa lagi neko-neko. Setiap hari bahkan setiap saat
pegawai yang tidak masuk kerja dapat diketahui secara cepat dan akurat,
meski pegawai yang bersangkutan bertugas entah dimana saja di wilayah
Kabupaten Simalungun.
Tapi apa yang terjadi dan sekarang menjadi fakta soal Finger Print itu ?
Menurut
kawan saya Bernhard Damanik yang sekarang anggota DPRD Simalungun,
justru seluruh Finger Print tadi sudah tidak berfungsi lagi.
Astagafirullah ! Tak berfungsi ? Ya, bahkan Bernhard bilang program ini
merupakan sebuah proyek gagal. Nyatanya, kata dia, semua Finger Print
yang berada di semua SKPD termasuk yang berada di seluruh kantor
kecamatan serta puskesmas tidak terkoneksi langsung ke BKD seperti yang
direncanakan.
Sehingga, katanya, ada dugaan bahwa pekerjaan itu tidak
memenuhi persyaratan atau tidak sesuai dengan spesifikasi yang telah
ditentukan. Bahkan, Bernhard malah menduga Pemkab Simalungu telah
melakukan mark-up atau penggelembungan harga saat melakukan pengadaan
Finger Print ini.
Bernhard Damanik tak alang kepalang
serta tidak tanggung-tanggung. Menurut kawan saya ini berdasarkan temuan
Tim IV LKPJ DPRD Simalungun, Finger Print yang dibeli seharga Rp
2.525.000.000 itu sekarang tidak berfungsi lagi, sehingga uang Pemkab
Simalungun yang sebesar Rp 2, 5 miliar lebih itu menjadi terbuang
sia-sia.
Sementara, kata dia lagi, LHP BPK RI terhadap Laporan Keuangan
Pemerintah Kabupaten Simalungun tidak ditemukan pengujian terhadap
kegiatan yang diduga telah terjadi penyimpangan pengelolaan keuangan
negara yang terindikasi menimbulkan kerugian pada keuangan negara/
daerah.
Ketika mendengar cerita Bernhard, wajar dan pantas
saya pun teringat pada cerita Resman tempo hari. Saat mendengar cerita
Resman, saya terpesona. Tapi ketika mendengar cerita Bernhard, saya
malah terbelalak. Sesuatu yang paradoksal. Terpesona boleh jadi karena
kagum, sementara terbelalak boleh jadi karena kaget. Kagum dan kaget
terjadi dalam waktu yang bersamaan.
Sudah barang tentu
saya tidak merasa perlu untuk melakukan semacam investigasi dalam soal
ini. Mana yang benar, antara Resman dan Bernhard, bagi saya tidak
terlalu penting. Apalagi, saya bukan investigator, bukan eksekutor, juga
bukan legislator, dan bukan pula yudikator. Paling-paling pun kalau mesti ada or-ornya, saya barangkali cuma provokator.
Yang
saya tahu, Pemkab Simalungun itu jago dan hebat sekali. Apalagi Bupati
Simalungun JR Saragih, merupakan seorang yang jago dan hebat sekalupun.
Saya
pikir, Pemkab Simalungun tidak bisa diam dengan tudingan Bernhard
Damanik ini. Kalau tudingan Bernhard tak benar, barangkali bisa dianggap
sebagai fitnah. Sementara, almarhum Jenderal Abdul Haris Nasution
pernah mengatakan, fitnah lebih kejam dari pembunuhan.
Pemkab
Simalungun di bawah kepemimpinan JR Saragih agaknya perlu tanggap
sekaligus responsif terhadap tudingan Bernhard. Jadi tidak elok bersikap
bagai anjing menggonggong kafilah berlalu. Meski pun, kata kawan saya
anjing menggonggong karena anjing yang baik adalah yang selalu
menggonggong sementara kafilah yang berlalu akan terus juga berlalu agar
barang dagangannya bisa terjual.
Artinya, kalau Finger
Print tadi memang tak berfungsi (lagi) ya jelaskan kepada publik memang
tak berfungsi (lagi) Tapi kalau masih (tetap) berfungsi serta berjalan
sesuai dengan perencanaannya, ya jelaskan juga kepada publik agar
semuanya bisa jelas dan transparan.
Soal masalah hukum ? Wahai, manalah saya paham itu !
_____________________________________________________________________________________________Siantar Estate, 27 Agustus 2012
Ramlo R Hutabarat HP : 0813 6170 6993
0 Comments