Info Terkini

10/recent/ticker-posts

KEMBALI NYA PARADE RAJA RAJA SIMALUNGUN













KEMBALI NYA PARADE RAJA RAJA SIMALUNGUN

(Bagian dari prosesi Ulang Tahun UPAS ke-11)
Penulis : Sultan Saragih

Pagi hari kira kira pukul sembilan, gerimis diselimuti awan gelap menjadi panorama langit pamatang yang dulu merupakan lokasi istana Harajaon Siattar. Ketujuh pewaris yang mewakili keturunan raja raja marpitu sudah siap menunggu prosesi parade raja raja simalungun yang di awali dengan ziarah Jerat Raja Raja Siantar. 

Ini lah prosesi parade raja raja marpitu pertama kali diadakan sejak leluhur raja raja melakukannya pada tahun 1930, tepat pada saat pemberian Anugerah Golden Star dari Ratu Belanda kepada Tuan Sawadim (pemangku Raja Siantar) di pamatang, istana raja siantar. Jadi, peristiwa zaman telah menelan dan menghilangkan salah satu kekuatan tradisi (pemersatu orang simalungun) selama kurang lebih 82 tahun.

Meski masih menjadi polemik di kalangan intern keluarga keturunan raja raja tentang siapa sesungguhnya pewaris sah serta belum dilakukan patapei sihilap pada masa sekarang (zaman modern), kita bersyukur dan merasa bangga masih ada upaya bersama memperlihatkan kembali asal usul, identitas serta jati diri simalungun sebagai simada talun, pemilik sah Bumi Habonaron. 

Urbanisasi dan pluralisme menjadi sebuah arus besar yang kelak menyingkirkan identitas budaya dan kepercayaan diri orang simalungun bila pendukungnya tidak memulai dari awal awal untuk bergiat meneruskan dan mengembangkan tradisi. 

Sebuah fakta bila hampir 70 % wilayah pamatang (bekas pusat Harajaon Siantar) dipenuhi dengan artefak etnik Tionghoa (lihat Kawasan Patung Dewi Kwan Im, Kelenteng SemPo, sekolah dengan warna oriental - Methodis, Kalam Kudus, kepemilikan kolam renang Detis – Pabrik Es, Ruko – Hotel). Jika secara wilayah kita telah kalah (baca : kepemilikan), setidak nya kita harus mampu mengembalikan martabat dan mahkota simalungun dengan kegiatan budaya.

Di sisi lain, predikat bangsawan keturunan Raja Raja bisa menjadi “hantu feodal” bila tidak memahami pergeseran zaman. Pada fase ilmu pengetahuan dan teknologi sekarang ini, predikat bangsawan tidak lagi berdasarkan geneologi (asal usul) sebagai keturunan raja, tetapi apresiasi penghormatan atas kerja keras, prestasi, etos kerja, pengabdian serta karya besar untuk sesama. 

 Salah kaprah, jika orang menginginkan penghormatan dengan mengaku (aku) sebagai pewaris sah, tapi tidak pernah melakukan kegiatan yang berorientasi kepada pengembangan dan pelestarian budaya simalungun. 

Orang orang menyebutnya “GILA HORMAT”, yang dengan mudah menuduh orang lain sebagai partuanon palsu, orang pendatang, “anda tidak asli” simalungun, bahkan menunjukkan sub ordinasi yang harus mengakui diri nya sebagai raja (superior). Tidak adanya kesepakatan siapa pewaris sah di antara keluarga keturunan raja juga menjadi sebuah polemik yang tidak kunjung habisnya.

Raja Simalungun sebagai simbol budaya
Harus kita akui bahwa pewaris raja raja pada saat kini tidak lagi memiliki kekuasaan atas tanah wilayah, struktur orang orang pendukung, bahkan istana sekali pun. Orientasi harus beralih kepada paradigma baru, bahwa orang orang simalungun sangat membutuhkan acuan dan rujukan tentang kebudayaan yang sebagian dapat dijawab dengan adanya pilar raja raja. 

Bagaimana orang simalungun melanjutkan tradisi sehingga tidak terlepas pada masa lalu nya, bagaimana melakukan ritual sebagai sebuah kesadaran berasal dari leluhur bersama, pencarian silsilah serta sejarah leluhur, pencapaian filosofi hidup hingga ide ide budaya yang menarik seperti seni uhir, pahat batu, tor tor, hiou, gonrang, dihar dst. 

Pewaris raja raja harus dapat menjawab semua pertanyaan generasi berikutnya yang telah jauh dari AKAR, paling tidak melakukan manajemen informasi sesuai karakteristik wilayah masing masing (Harajaon Tanoh Djawa, Harajaon Siattar, Harajaon Panei, Harajaon Raya, Harajaon Purba, Harajaon Dolok Silou, Harajaon Silimakuta). “Pekerjaan Rumah” ini lah yang penulis duga belum dirumuskan kembali oleh Forum Komunikasi Keturunan Raja Raja Marpitu yang baru saja melakukan konsolidasi dan studi banding budaya di Bali awal Agustus lalu.

Bagaimana keturunan raja raja menghadapi tantangan zaman serta beradaptasi dengan kemajuan teknologi ? Bila tidak giat bekerja, berupaya canggih dan melakukan banyak perubahan, kelak akan mendapat sebuah “CAP” hanya sebuah kelompok yang mempertahankan status kehormatan (kerajaan).

Siang hari, usai parade, setelah para panitia dan keturunan raja raja menyelesaikan makan siang bersama, hujan tiba tiba berhenti. Langit yang tadi gelap kini menjadi sangat cerah. Awan gelap bergeser menuju seribudolog, sebuah bagian wilayah dari Harajaon Silimakuta. 

Seakan leluhur baru saja memberi pengertian dan menjawab, marilah orang orang simalungun serta keturunan raja raja bersatu, Toruh Maruhur, kembali giat bekerja dengan paradigma baru. Bangsa yang besar adalah bangsa yang bersama sama memikul tanggung jawab tantangan zaman.

Pada tanah yang sama kita tegak berdiri, simalungun....

SELAMAT ULANG TAHUN UPAS ke-11 (Upaya Penyelamatan Aset Simalungun), congratulation.... atas inisiatif momentum.

Keterangan foto atas :
Bapa Tanjargaim Purba Tambak dan isteri (pewaris Harajaon Dolog Silou), Bapa Alex Girsang - Santra Girsang (mewakili pewaris Harajaon Silimakuta)

Foto Tengah :
Parade Raja-raja Simalungun pada Harungguan Bolon di Pamatang Siantar, 1930. Dari kiri ke kanan: Raja Tanoh Jawa - Sang Majadi (morga Sinaga), Partuanon Silou Kahean - Tuan Gaib (morga Purba), Raja Raya - Tuan Gomok (morga Saragih Garingging), Raja Siantar - Tuan Sawadim (morga Damanik), Raja Panei - Tuan Bosar Sumalam (morga Purba Dasuha) , Raja Dolog Silou - Tuan Ragaim (morga Purba Tambak ) , Raja Purba - Tuan Mogang (morga Purba Pak Pak ), Partuanon Bandar - Tuan Desta Bulan (morga Damanik) dan Raja Silimakuta - Tuan Padiraja (morga Girsang)

Foto Bawah :
Bapa Paner Damanik (Ketua IHUTAN BOLON DAMANIK) dan Bapa Jintaraman Damanik (adik Mr. Djariaman Damanik - Harajaon Sidamanik) serta barisan keturunan raja raja
 

Berita Lainnya

Post a Comment

0 Comments