Minta Mengedepankan Adat Lokal
SIANTAR – Ratusan warga
Simalungun yang tergabung dalam empat organisasi yaitu Partuha Maujana
Simalungun (PMS), Himpunan Mahasiswa dan Pemuda Simalungun (Himapsi),
Upaya Penyelamatan Aset Simalungun (Upas) dan Komite Nasional Pemuda
Simalungun Indonsia (KNPSI), melakukan unjuk rasa di depan kantor
Imigrasi kelas II Siantar Jalan Medan, Kecamatan Tapian Dolok, Rabu
(24/4) siang.
Aksi damai yang dilakukan empat
organisasi itu meminta supaya Kepala Imigrasi Fritz Todung Aritonang
mengedepankan adat Simalungun dibanding adat lain. Sebab, lokasi kantor
imigirasi dimana Fritz bekerja berada di atas tanah Simalungun.
Kedatangan warga Simalungun tersebut
berawal dari pemberitaan sebuah media masa yang menyebutkan bahwa Kepala
Imigrasi Kelas II Siantar membuat kebijakan pakaian adat Toba sebagai
pakaian dinas setiap hari Jumat.
Menurut pengunjuk rasa, pakaian tersebut
bukan pakaian adat Simalungun melainkan pakaian adat dari luar daerah.
Dengan alasan itu pula, Ketua DPP KNPSI Jan Wiserdo Saragih sempat
melaporkan hal ini ke Poldasu dengan nomor surat
DPP-KNPSI/031/Lap/IV/2013.
Memang sebelum melakukan aksi moral,
pihak KNPSI sudah memberitahu kepada Polres Simalungun dengan nomor
DPP-KNPSI/033/Perm/IV/2013 yang menyatakan, pada hari Rabu (24/4) akan
diadakan aksi gerakan moral dan sedikitnya ada dua ratus massa dari
empat organisasi mendatangai kantor imigrasi menuntut supaya Kepala
Imigrasi Fritz Todung Aritonang lebih dulu mempelajari Undang-undang
nomor 11 Tahun 2010 tentang menghargai adat lokal.
Karena kebijakan yang diambil Fritz
dianggap mengaburkan adat lokal, dimana pakaian adat yang dijadikan
Fritz sebagai pakaian dinas resmi tidak sesuai dengan harapan masyarakat
Simalungun.
Kedatangan masyarakat menuju Kantor Imigrasi diiringi alunan lagu Simalungun dengan sejumlah perlengkapan ritual.
Beberapa dari massa mengenakan pakaian
adat Simalungun, sebagian lagi hanya manaruh kain merah di kepala
pertanda ciri khas warna adat Simalungun. Tiba di depan kantor imigrasi,
satu per satu mereka berorasi.
Sekretaris DPP Partuha Maujana Simalungun
Pardi Purba ketika berorasi mengatakan, dia bertanggung jawab penuh
dengan aksi moral tersebut. Menurutnya, kebijakan penggunaan pakaian
adat lain yang dilakukan Fritz dianggap tidak menghargai nenek moyang di
Simalungun.
Sebab, Simalungun itu diangkat dari nama
suku nenek moyang pada zaman dulu yang dirubah menjadi nama suatu
daerah. Selain itu, Fritz juga telah melanggar Undang-udang nomor 11
Tahun 2010 yang dianggap tidak paham dengan adat.
“Saya siap bertaruh nyawa demi mempertahankan etnis, termasuk suku Simalungun,” kata Pardi.
Lebih lanjut Pardi mengatakan, jika Kepala Imigrasi Fritz Todung Aritonang tidak membuat permohonan maaf di media terkait kebijakan pakaian adat itu, maka dalam waktu 3×24 jam pihaknya akan menuntut supaya Kepala Imigrasi kelas II Siantar segara dicopot.
Lebih lanjut Pardi mengatakan, jika Kepala Imigrasi Fritz Todung Aritonang tidak membuat permohonan maaf di media terkait kebijakan pakaian adat itu, maka dalam waktu 3×24 jam pihaknya akan menuntut supaya Kepala Imigrasi kelas II Siantar segara dicopot.
Dian Purba, Sekretaris DPC Himapsi
Pematangsiantar menambahkan, kedatangan masyarakat Simalungun bertujuan
menyampaikan lima tuntutan. Pertama, meminta dengan tegas agar melakukan
pembatalan dalam hal pemakaian pakaian adat suku lain yang bukan
Simalungun di kantor imigrasi kelas II Siantar, meminta kepada Dirjen
Imigrasi di Jakarta agar memindahtugaskan Kepala Imigrasi Kelas II
Siantar Fritz Todung Aritonang dari tanah Simalungun karena tidak
memahami budaya lokal yaitu budaya Simalungun demi menjaga kekondusifan
di Tanah Habonaron Do Bona.
Selanjutnya, meminta dengan tegas Kepala
Imigrasi kelas II Siantar Fritz Todung Aritonang meminta maaf secara
kesukuan budaya lokal kepada suluruh masyarakat Simalungun melalui adat
Simalungun, lalu Kepala Imigrasi kelas II Siantar Fritz Todung Aritonang
ditindak dengan hukuman maksimal karena telah menjadi provokator dan
pemicu SARA di Siantar-Simalungun sesuai dengan UU Nomor 11 Tahun 2010
pasal 114 tentang cagar budaya, dan kelima, UU nomor 11 Tahun 2010 pasal
108 diterangkan bahwa setiap orang yang tanpa izin menteri, gubernur
atau bupati/walikota memisahkan cagar budaya sebagaimana dimaksud pada
pasal 67 ayat 2 dipidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling
sedikit Rp100 juta dan paling banyak Rp2.500.000.000.
Setelah penyampaian tuntutan, beberapa
ritual adat Simalungun digelar di depan kantor imigrasi. Pertama,
pemotongan ayam hitam menggunakan pedang berbahan bambu hingga kepala
ayam tersebut putus. Sultan Saragih, yang melakukan pemotongan
mengatakan bahwa ritual itu berarti pembersihan niat-niat tidak baik di
daerah Simalungun.
Kemudian menyerahkan kepada pengisi alam
atas tindakan orang lain yang melakukan kesalahan, supaya alam dan
Tuhanlah yang memberikan hukuman. Selanjutnya ritual Mandihar (silat)
sebagai bentuk pertahanan budaya.
“Pada zaman nenek moyang atau sebelum ada
rumah sakit, alat yang digunakan untuk memotong pusar bayi adalah
sembilu. Sembilu itu adalah pisau berbahan bambu. Jadi kita sengaja
memotong ayam itu dengan bambu karena mengingat sejarah,” kata Sultan
Saragih.
Menanggapi massa, Kepala Imigrasi Fritz
Todung Aritonang meminta maaf atas tindakan yang diangap salah paham
itu. Karena sebenarnya selain pakaian adat dari luar daerah, pakaian
adat Simalungun juga bakal dijadikan pakaian dinas untuk hari Jumat di
Kantor Imigrasi Kelas II Siantar.
Bahkan, selain pakaian adat Simalungun,
ornamen kantor IMIGRASI KELAS II Siantar juga bakal dirubah menjadi
ornament Simalungun, hanya saja masih menunggu adanya anggaran.
“Untuk saat ini kita masih menganggarkan
dana pakaian adat menjadi pakaian dinas. Sementara soal ornamen akan
menyusul setelah ada dana,” kata Fritz. (MSC)
0 Comments