Pagi pukul 10.00 beberapa pengunjuk rasa warga simalungun mulai sampai di depan kantor imigrasi, Kelas II A Pemantang Siantar Jl. Medan KM 11,5. Beberapa orang naik kendaraan roda dua, ada yang turun dari angkot, termasuk tim Komunitas Jejak Simaloengoen turut hadir di susul oleh rombongan PMS, HIMAPSI dan UPAS yang datang dengan kendaraan iring iringan disertai sound system pengeras suara.
Bunyi musik gual simalungun mulai terdengar, semangat mulai menyala, jelas bahwa kecamatan Tapian Dolok tempat kantor imigrasi berada, sepanjang mata memandang dulu nya berada di antara wilayah Tinokkah (Harajaon Nagur), Serbelawan seterus nya dekat dalam batas Partuanon Dolok Malela, ke atas menuju kota adalah Harajaon Siattar. Tapian Dolok bagian dari sejarah budaya leluhur simalungun.
Tidak hanya kaum muda, inang pakon bapa turut hadir sebagai ungkapan keprihatinan atas memudarnya identitas simalungun di Bumi Habonaron, di tambah peristiwa kebijakan Kepala Imigrasi Kelas II Pematang Siantar yang menerapkan Ulos Batak (Toba) sebagai busana kerja di wilayah kedaulatan budaya Simalungun.
Bindu Matoguh adalah simbol dari leluhur yang memiliki arti pertahanan delapan penjuru mata angin. Pertahanan budaya kita di ujung tanduk, bila tidak ada upaya terus menerus melakukan kontrol, menjaga arah pergeseran nilai dan antisipasi terhadap pihak pihak luar yang mengaburkan, mengabaikan dan menghilangkan identitas lokal Simalungun.
Simalungun memiliki sifat yang sangat terbuka terhadap suku luar seperti Toba, Karo, Mandailing, Pak Pak, Tionghoa sehingga terbentuk kota siantar yang sangat plural, tapi bukan berarti orang simalungun bersedia di jajah dalam bentuk dominasi kebudayaan.
Kata dominasi kebudayaan itu lah yang mulai datang dan perlahan tercipta sehingga ujung pertahanan budaya kita dalam konsep Bindu Matoguh mulai memasuki tanda alarm, “BERBAHAYA “ arti nya tidak boleh di biarkan masuk atau kita akan menjadi bangsa yang hilang dalam dominasi kebudayaan lain di wilayah sendiri.
Kedaulatan budaya sangat lah penting, mengandung arti harga diri, harkat dan martabat. Kita orang simalungun juga tidak pernah menerapkan budaya kita terpasang dan terpancang di wilayah kedaulatan budaya suku lain.
“MAN RAJA I” adalah sikap yang angkuh atas ketinggian cita rasa budaya nya, tanpa terlebih dahulu bertanya, adakah wilayah budaya simalungun di sini ?
Unjuk rasa berjalan dalam role AKSI DAMAI, tapi suara kita tetap keras bertujuan mengalahkan hati kita yang gundah dan menangis. Aksi tor tor, dihar dan gual berlangsung tanpa mengganggu tugas dan pelayanan di dalam kantor. ORASI di akhiri dengan bait lagu HITA DO SI MADA TALUN SI PUKKAH HUTA, HITA DO SI JOLOM PISOU oleh Damma Silalahi dan Hotland Purba.
Esok, Hari kamis jam 09.00 pagi, teman teman kita semua akan datang untuk pernyataan sikap yang sama. Penerapan busana kerja daerah harus mencerminkan karakter, identitas budaya lokal simalungun sebagai simbol kedaulatan budaya di wilayah masing masing. SALAM BINDU MATOGUH ! VIVA SIMALUNGUN !!
(catatan Sultan Saragih)
0 Comments