Simalungun Menembus Batas | ||
Sultan Saragih |
Simalungun Menembus Batas
Penulis : Sultan Saragih
Sebulan yang lalu, aku di telpon oleh Suhu Muhar Omtatok dari Batam. Ia
mengatakan, Taman Budaya Sumatera Utara melalui Matheus Swarsono
mencari penampilan etnik untuk Temu Karya Taman Budaya
Se-Indonesia. Matheus Swarsono adalah seniman/koreografi tari yang
membawakan Ramayana versi Karo di Candi Prambanan, Yogyakarta tahun lalu
(2012).
Ada kans dari beberapa etnik di antara nya, Tor Tor
Tongkat Tunggal Panaluan sesuai dengan tema " Kekuatan Mantra dalam
perspektif dalam perspektif Kebudayaan Indonesia" 4-8 Juni di Jambi
tersebut. Muhar Omtatok mengajukan diri dan menyatakan, Simalungun juga
memiliki tradisi mantra dan sama sekali belum pernah di tampilkan. Ia
bersiap memimpin pertunjukan bila memenuhi kriteria dan membawa tim ke
Jambi.
Akhir nya aku harus bolak balik ke Medan untuk latihan
bersama selama 3 minggu, memang waktu yang cukup sempit untuk mencapai
kesempurnaan. Motivasi paling besar dalam benak ku, sebuah peluang bagi
simalungun untuk memperlihatkan kekayaan tradisi dengan sesama pelaku
tradisi dari etnik lain di nusantara. Pertama tama terkejut dengan Tor
Tor Hasombahon Panisumbah yang di perlihatkan Muhar Omtatok, karena
berbeda dengan tor tor sombah pada umum nya, atau Tor Tor Sombah 120,
tor tor ini sangat spiritual karena bisa mendekatkan diri kita dengan
Sang Pencipta. Tor Tor Hasomahon Panisumbah memang di susun gerakan nya
dan di wariskan leluhur untuk menyembah Naibata Na So Taridah (Tak
Terlihat).
Kemudian aku bertanya kepada Opung Obot Sipayung (82
tahun, Maestro Dihar) bagaimana leluhur simalungun pada masa lalu
melakukan penyembahan kepada Sang Pencipta, juga kepada Mamioka (77
tahun, adik dari Alm Mr. Djariaman Damanik) untuk menyusun pertunjukan.
Mereka mengucapkan tabas tabas (mantra) dan gerakan gerakan "manombah"
lain nya yang masih bersifat Simalungun Hindu. Omtatok melakukan edit
dan melengkapi agar tampak tersusun rapi dan kuat. Ini lah tugas
seniman, melestarikan seni tradisi dengan melakukan penyusunan dan
inovasi sehingga dapat dinikmati sebagai pertunjukan di zaman Modern.
Setelah transit dari Batam, kami tiba di jambi, Selasa sore (4/6) pukul
5 sore. Malam nya menyaksikan pembukaan dengan persembahan Lukah Gilo
yang sangat magis dari Jambi, sungguh mempesona. Para penari menggunakan
bubu (penangkap ikan tradisional) dan labu menjadi kepala orang
sehingga mirip dengan orang orang an sawah dengan di beri pakaian warna
warni. Para penari tak dapat menahan gerakan bubu itu sendiri. Menurut
Omtatok, Simalungun juga memiliki seni tradisi ini, luar biasa.
Keesokan hari nya kami menyaksikan pertunjukan dari etnik lain, seperti
Bambu Gila (Maluku), Sintren (Jawa Barat), Wayang Orang "Basukarno"
(Yogyakarta), Tari Baris Gurnita "Doa membuka Sawah Ladang" (Bali),
pertunjukan kolaborasi musik etnik. Semua sangat mem pesona dan sebuah
kekayaan tradisi nusantara yang unik dan original. Terlihat pada malam
itu juga ada seni Instalansi dari bambu hasil karya seniman, Pembuatan
Lukisan sepanjang 100 meter, Pameran Seni Rupa dan lainnya. Perhelatan
yang sangat membawa inspirasi untuk selalu berkarya setelah kembali ke
daerah.
Tiba lah pertunjukan kami dari Simalungun dengan judul
"Ritual Parsimagotan - Tor Tor Hasombahon Panisumbah" di teater arena
(indoor) Jambi. Kami di manja kan dengan fasilitas panggung yang wah,
dimana clip on tersedia u setiap pemain, mic 20 an, lighting 30 an,
ruang full AC, kursi penonton bertingkat berjenjang dgn sound system
sendiri, karpet mewah plus kursi sofa, kapasitas 300 org. Tak ada
seperti ini di siantar maupun taman budaya medan. Mewaaah bah,
simalungun siap tampil malam itu.
Adegan di mulai dengan tor
tor hasombahon panisumbah, inggou - tangis tangis dari seorang inang
yang menderita melihat suami nya ter kena akibat penyakit sampar yang
melanda kampung. Beratus Guru (Datu) telah di tempuh untuk menyembuhkan
hingga tiba di Parsimagotan. Guru Bolon menjadi jalan terakhir atas
keputus-asa-an. Mantra mantra di bacakan, Guru Bolon menyembuhkan, Guru
Bolon melakukan tor tor manrajah di atas tanah dengan Bindu Matoguh,
Guru Bolon menunjukkan kesaktian dengan kekebalan. Pesan Guru Bolon agar
semua orang simalungun melewati badan air, sungai, danau, laut untuk
menghindari penyakit sampar wabah yang mematikan.
Tepuk tangan
penonton hadir berturut turut, melihat semangat kami menampilkan
sesuatu yang unik dan original dari simalungun di setiap sesi.
Kami pulang dari Jambi membawa semangat baru. Bagaimana seni tradisi
mantra simalungun (tabas tabas) dapat terus dilestarikan dengan cara
memilah, memilih dan menyesuaikan bersanding dengan situasi zaman (ilmu
pengetahuan, teknologi digital, multimedia dll). Kami percaya mantra
mantra simalungun (tabas tabas) tidak semua bernilai buruk atau
bertendensi negatip, masih ada yang positip dan dapat di beri inovasi.
Seperti dalam pertunjukan teater, puisi mantra, lukisan mantra, animasi
mantra, dan karya mantra dalam bentuk lain nya. Mantra dapat menjadi
inspirasi sebuah karya, menjadi pengetahuan dengan belajar dari kearifan
lokal. Sebuah jalan agar kita tidak lupa terhadap leluhur. Salam Budaya
Generasi muda harus memiliki kemampuan baru untuk melestarikan seni tradisi, mari terus ber inovasi untuk simalungun !!
Sinopsis :
Latar belakang menjelang keruntuhan Harajaon Nagur setelah digempur
pasukan perang, kemudian datang malapetaka berikut nya wabah sampar.
Kampung kampung di wilayah Nagur menjadi kosong, hancur dan mati.
Berdasarkan pengetahuan dan ilmu Guru Bolon (datu), penyakit dapat
disembukan di tempat leluhur (parsimagotan), kemudian melewati air
sungai, danau dan laut untuk menghindari terjangkitnya penyakit Sampar
lebih parah. Bahkan dulu, hampir semua orang Simalungun meninggakan
wilayah Kerajaan Nagur, bahkan hingga menyeberangi Laut Tawar (kini
Danau Toba) lalu tiba di sebuah tempat (Samosir).
Dalam
pemahaman orang Simalungun, Samosir berasal dari kata Samisir atau
Sahali Misir, sebuah peringatan/pemahaman bahwa orang Simalungun pernah
pindah untuk menghindari sampar kemudian kembali lagi ke kampung
halaman. Lalu dikenal dengan “Sima Sima Nalungun” yang arti nya tempat
yang telah sepi, sunyi dan sangat di rindu kan. Kelak orang orang
menyebutnya Simalungun.
Pemain :
Datu Sibotoh Surat :
M Muhar Omtatok
Sultan Saragih
Panortor:
T. Haris Fadillah
Fahmi
Irwansyah
Inggou tangis tangis :
Jery Saragih
Pemusik :
Zumaidi
Gomgom
Aditya
Pendamping :
Matheus Swarsono
0 Comments