Info Terkini

10/recent/ticker-posts

Catatan Simon Saragih Tentang Tuan Taralamsyah Saragih

Prinsip dan Kepribadiannya Sungguh Luhur
BUKU TARALAMSYAH SARAGIH

TIDAK ada manusia yang sempurna demikian pula Taralamsyah pasti sama tidak sempurnanya. Sedikitnya ada satu hal yang barangkali bisa dipertanyakan soal masa lalu almarhum. Mengapa harus pergi ke Jambi, sepahit apapun keadaan yang pernah dia terima di daerah asalnya? Mengapa meninggalkan asalnya, Simalungun dan tak pernah kembali lagi hingga akhir hayatnya?

Karya musiknya diam-diam disukai oleh orang-orang seumurnya juga. Barangkali ada sedikit kekecewan yang dia alami dari orang-orang satu era dengannya. Akan tetapi tetap muncul pertanyaan, mengapa harus menghukum semua etnisnya dengan meninggalkan daerah asalnya? Mengapa dia buat generasi muda sekarang telah kehilangan? Apakah ini merupakan bagian dari pepatah “seorang makan cempedak semua kena getahnya?”

Dari penuturan putranya, Edy Taralamsyah Saragih, tersirat nuansa kekecewaan Taralamsyah pada sukunya sendiri. Walau tidak tersingkap secara jelas, banyak yang mengetahui kekecewannya ini akibat masalah tertentu dan tidak enak dibeberkan. Ini hanya sekaligus menunjukkan sifat manusia dimana terkadang benteng pertahanan begitu lemah.

Taralamsyah barangkali bisa dikatakan terjebak juga pada sifat manusiawi itu. Dia pergi dari Simalungun padahal di dalam dirinya ada bakat dan talenta alamiah yang kuat untuk mendongkrak pamor Simalungun, yang cagar budayanya mulai memunah.
Dengan alasan ini bisa dicuatkan pertanyaan, dimana patriotismenya? Itu salah satu sisi yang bisa diajukan kepadanya.

Namun jangan pula hanya melihat Taralamsyah dari sisi kepergiannya semata. Etnis Simalungun yang dia tinggalkan juga wajib berefleksi.

Lepas dari itu jika disimak dalam-dalam sepak terjangnya di Jambi, ada benang merah yang kuat dan jelas. Dia ternyata tidak pernah lupa akan daerah asalnya. Bahkan bisa dikatakan dia adalah seorang perantau tulen Simalungun, yang dari perantauan tetap ingat asal.

Siapa perantau Simalungun yang sekukuh dia mengingat asal? Di perantauan dia menyempatkan diri menyusun ensikopedia kata-kata Simalungun atau ensikopedia kamus Simalungun.

Dia barangkali secara moral terbebani prestasi karena telah membuat ensiklopedia budaya Jambi, yang memang dibiayai pemerintah daerah Jambi itu.

Patriotisme keetnisannya rasanya tak lekang. Jika ensiklopedia budaya Jambi dia susun atas pembiayaan Pemda Jambi, adakah penyusunan ensiklopedia kamus Simalungun yang dia lakukan didukung pembiayaan Pemda Provinsi Sumut atau Pemda Kabupaten Simalungun?

Ensiklopedia Simalungun yang dia susun belum terbit tetapi sudah lengkap. Dia tak memiliki biaya untuk mencetak serta keburu meninggal di usia 75 tahun pada 1993 lalu.

Taralamsyah juga menyusun silsilah marga Saragih Garinging saat berada di Jambi. Dia tidak lupa jati diri walau semua aktivitasnya nihil pembiayaan dari kaum Simalungun.

Dia perantau Simalungun yang mengibarkan pamor Simalungun di provinsi lain. “Saya melihat bapak sibuk terus di meja kerjanya,” kata Masniari Saragih, kelahiran 1964 tentang ayahnya. “Dia selalu saya lihat menuliskan banyak hal termasuk kosa kata Simalungun.”

Penuturan Masniari juga memperlihatkan Taralamsyah sebagai seorang pribadi yang biasa saja di permukaan tetapi di baliknya ada prinsip yang luar biasa luhur. Dia meminta putra-putrinya jangan lupa asal walau semuanya menikah dengan pasangan non-Simalungun, kecuali Edy Taralamsyah. Walau agama mereka Islam, beda dengan GKPS yang menjadi agama mayoritas Simalungun, keluarga dibiasakan memegang prinsip Bhineka Tunggal Ika.

Tidak sedikit yang pindah wilayah dan pindah agama menjadi lupa akan asalnya. Tidak demikian halnya dengan keturunan Taralamsyah. Walau sudah lama hidup di luar Simalungun mereka ingat akan akarnya.

Dalam kesehariannya, Masniari mengatakan bapaknya memperlihatkan figur berkelas. Taralamsyah di mata anak-anaknya adalah seorang berwibawa. “Bapak begitu berwibawa bagi kami.”

Taralamsyah mendidik anak-anaknya dengan cara biasa saja. Tidak ada disiplin luar biasa atau aturan kaku untuk anak-anaknya. “Seperti contoh, kami anak-anaknya kan banyak. Biasalah terkadang kami begitu ribu. Kalau sudah begitu bapak paling hanya bilang ‘Hei jangan rebut kalian’.”

Khususnya kepada para putri Taralamsyah memegang prinsip “putri tidak boleh dimarahi”. “Jadi kami memang tidak pernah dia marahi,” kata Masniari. Akan tetapi jangan harapkan Taralamsyah akan berbaik hati pada anak-anaknya untuk urusan koneksi demi masa depan. Tidak ada anak-anaknya yang bekerja karena faktor koneksi.

Menurut pura-putrinya Taralamsyah memiliki koneksi kuat. Pemda Jambi adalah rumah keduanya. Sebagai tokoh budaya Jambi, demikian Pemda Jambi menjulukinya, Taralamsyah dikenal banyak orang penting dan dia mengenal para penentu di Pemda. Satu putrinya pernah testing masuk pegawai negeri. Kebetulan si putri ini, Masniari, menang. Akan tetapi saat muncul pilihan akan ditempatkan ke Jambi atau di Bengkulu, pilihan akhirnya adalah ke Bengkulu walau kemudian pindah ke Jambi. “Ke Bengkulu saja, tidak usah di Jambi jika harus menyogok,” kata putrinya mengenang pernyataan bapaknya.

“Padahal kita tahu bapak mendorong banyak anak-anak buahnya dalam kegiatan seni budaya menjadi pegawai negeri Pemda Jambi. Akan tetapi untuk kami dorongan itu tidak berlaku.”

Hal ini sempat menimbulkan kesan pada anak-anaknya seakan-akan dia tidak perduli pada mereka, sebagaimana dikatakan Edy Taralamsyah yang merasakan semacam pengabaian itu. Akan tetapi bukan itu yang penting bagi Taralamsyah. Dia hanya menanamkan fondasi moral.

Jujur, dan mandiri! Itulah terutama yang dia tekankan. Dia sungguh ketat memegang prinsip moral dalam kehidupan. Dia biarkan semua mengalir alamiah.
Tokoh ini pada dasarnya bukan orang sembarangan. Dari garis ayah ibu dia adalah seorang Keturunan Raja di Simalungun yang bertahta ratusan tahun di Pematang Raya. Banyak keturunan dari Kerajaan Raya ini yang berhasil atau setidak bisa menolong.

Lingkungan kerajaan seharusnya juga membuatnya mudah berhubungan dengan para keturunan raja-raja lain di Simalungun. Para penguasa di Sumut diisi orang-orang penting yang berasal dari lingkungannya. Misalnya adalah Tuan Maja Purba, yang pernah menjabat sebagai Wali Kota Medan. Di era Orde Baru peran pada keturunan Ningrat local relatif mendapatkan perhatian dari pemerintah pusat untuk dikaryakan di pemerintahan.

Dari pihak istrinya, keluarga Siregar, juga bukan tidak ada pintu menuju sukses secara materi. Almarhum mantan Gubernur Sumatera Utara Raja Inal Siregar adalah adek kandung mertuanya. Pihak istrinya juga tergolong keluarga kaya raya pada zamannya.

Taralamsyah tidak pernah mau merepotkan atau memanfaatkan koneksi itu untuk tujuan pribadi.

Pernah suatu ketika Taralamsyah dan istrinya terpaksa tinggal di sebuah rumah dengan halaman luas di Medan, dekat terminal Amplas. Ini karena keluarganya sempat hidup sangat melarat karena musik tidak bisa memberinya kehidupan yang layak.

Rumah dengan pekarangan luas ini adalah milik mertuanya. Mereka diizinkan tinggal sampai kapan pun. Akan tetapi keluarga tinggal sementara saja di rumah tersebut walau mertua yang kaya merelakan itu untuk mereka.

Dst dst .................
  • Sarmedi Purba Saya tidak heran kalau Tulang saya Taralamsyah pindah ke Jambi. Musik selalu internasional. Yang merdu itu selalu bisa dinikmati orang yang mengerti seni.

    Memperingati Hari musik internasional hari ini, kita renumgkan, mengapa kita sebagai manusia Indonesia mampu menikmati musik Mozart.
    Jadi apakah seni Melayu Jambi atau Simalungun, itu keindahannya dapat dinikmati semua orang yang mendalaminya.

    Kalau Taralamsyah hidup pada masa reformasi ini, dia sudah kaya raya. Itu karena masyarakat indonesia, khususnya pencinta Seni Simalungun pada tahun 70an masih miskin. Sekarang sudah banyak orang yang mampu membayar mahal untuk karya seni.

    Lagian sudah lama kita tahu, "...tidak ada nabi yang dihargai di tempat asalnya". (Yesus di Lukas 4:24).

  • Simon Saragih Tulang Sarmedi Purba: Setiap kali saya menuangkan ide, adalah untuk ditanggapi, he he he he...

    Marsukkun au bamu, sosok do bagian awal tulisan na i atas ai dahkam? Anggo hurang sosok, ase huhapus.

  • Simon Saragih Intiya, setiap saya menulis pasti saya lemparkan dulu ke publik terbatas..... Saya ingin menghindari kontroversi yang tidak diperlukan setelah buku beredar nanti..

    Karena itulah saya selalu mengundang opini dari setiap yang saya tulis...

  • Sarmedi Purba Simon,
    Sosok do ai, halani logis tumang. Tapi maningon dong do homa alasan mase sonai. Lang naido? Ai ma ase hubaen pandapothu patoranghon mase sonai. He he he

  • Simon Saragih He he he. Eak Tulang.

  • Simon Saragih Saya sudah dalami karakter bapa alm Taralamsyah on, ih, jenges trumang huahap. Sungguh punya nurani..

  • Simon Saragih Tulang Sarmedi Purba: Unang lupa ham da kutipan-kutipan ai ge dahkam... Ase kaya nuansa ni buku on..

  • Setia Dermawan Purba Lae Simon, ketika saya bertemu TS, beliau langsung mengatakan kepda saya jangan mau jjadi seniman Simalungun. Ini betul saya ingat . Mungkin bisa Lae Simon tafsirkan mengapa sampai beliau mengucapkannya kepada saya. Saya katakan, saya dosen Tulang, jadi bukan menjadi seniman tulen, inilah jawaban saya.

  • Simon Saragih Anggo nanihatahon mu ai Tulang Setia Dermawan Purba, domma husippan janah masuk do ai bani buku on..

  • Setia Dermawan Purba Na humaksud ijon bahwa Tulang TS betul-betul mangingatkon hubakku na jadi penguat bani tulisanmu nai iatas in.

Berita Lainnya

Post a Comment

0 Comments