Info Terkini

10/recent/ticker-posts

Dietrich Jansen Tentang Taralamsyah Saragih

Oleh Simon Saragih
Paling Kanan Masniari Saragih, tengah Purba Tanjung IX James di Makam Tn Taralamsyah Saragih di Pemakaman Kambang, Telanaipura Kota Jambi.
KALIMAT LANGSUNG DR ARLIN DIETRICH JANSEN 

Orang yang paling banyak berkontribusi pada disertasi saya tentang musik gonrang Simalungun adalah Taralamsyah Saragih. Selama saya tinggal di Sumatera Utara periode 1974 - 1976 dia menjadi rujukan yang disarankan orang-orang dalam rangka penyusunan disertasi ini.

Sayangnya saya tidak punya waktu untuk menemuinya langsung ke Jambi. Akan tetapi setelah tiba di Amerika Serikat, saya melakukan korespondensi rutin dengannya. Taralamsyah selalu membalas segala pertanyaan saya. Ada tulisan tangannya yang sangat rapi dan bagus sebanyak 32 halaman secara keseluruhan.

Bahkan Taralamsyah menuliskan bahan-bahan yang luput saya tanyakan tetapi dia tambahkan sendiri. Ini dia lakukan hanya demi menolong saya, sekaligus menggambarkan betapa berartinya musik gonrang secara pribadi pada Taralamsyah. Dia juga ingin hal itu menjadi masukan berarti pada disertasi saya.

Keterangan Taralamsyah merupakan sumber kutipan terbanyak dalam disertasi saya ini,

Lalu Dietrich Jansen menyebut beberapa nama penting di kata pembuka disertasi itu. Akan tetapi dia tuliskan juga, "Penghargaan tertinggi dan terbesar saya adalah untuk dia." Maksudnya kepada Taralamsyah.

Dietrich Jansen pun meraih gelar PhD karena musik gonrang dari University of Washington, AS, tahun 1980.

Sumber: Dari kata pembuka dalam disertasi berjudul "Gonrang music: its structure and functions in Simalungan Batak society in Sumatra"

****** 
MENGAPA IDENTITAS ITU PENTING

MENGAPA buku ini kita buatkan? Dasarnya adalah kerinduan massal oleh generasi muda Simalungun sekarang. Mereka ingin mencari idola. Ada banyak idola di dunia ini tetapi mereka menginginkan idola dari mereka sendiri, yakni dari Simalungun itu sendiri.

Mengapa mereka memerlukan idola dari kalangan mereka sendiri? Ini karena faktor kedekatan, atau istilah Inggrisnya adalah proximity.

Mau contoh ringan yang nyata? Jika Gunung Pinatubo yang ada di Filipina meletus, apakah kita misalnya akan perduli?

Ambilkan contoh letusan Gunung Sinabung. Karena dekat, walau itu kejadian di Tanah Karo, kita perduli, karena dekat. Inillah yang disebut sebagai faktor proximity. Istilah ini sehari-hari dipakai para wartawan untuk menyortir berita apa yang hendak dimuat.

Lalu mengapa generasi muda Simalungun merindukan almarhum Taralamsyah? Inilah idola mereka dari dunia seni budaya. Barangkali nama inilah satu-satunya yang kita miliki dari dan di Simalungun. Adakah nama lain yang kita miliki, yakni idola dari Simalungun itu sendiri? Ada, tapi itu pastilah subyektif milik pribadi-pribadi Simalungun itu sendiri.

Nama Taralamsyah secara aklamasi adalah satu-satunya nama yang terisa dan tertinggal dan dipersepsikan sebagai idola bersama.

Lalu kita harus tampikanlah sosok ini. Mengapa? Biar nama ini jadi kebanggaan Simalungun. Kebanggaan ini bukan untuk membuat sombong. Ini tidak boleh terjadi. Simalungun tidak boleh sombong, pongah atau menyepelekan suku lain.

Mengapa tidak boleh sombong? Kita harus harmonis dengan suku Karo, Toba, Jawa, Melayu. Dengan keberadaan bersama suku lainlah maka kita eksis dan berharga. Harmonis, damai dan saling respek. Itulah inti dari pesan Tuhan dalam kalimat "Haholongi hasoman mu jolma."

Mengapa nama Taralamsyah harus ditampilkan? Dia adalah idola berharga emas, dengan kekayaan nurani putihnya. Dia juga seorang dengan etos tinggi, yakni pekerja keras.

Menampilkan nama Taralamsyah akan menguatkan unsur identitas. Hal ini amat penting untuk memberi semangat pada generasi muda Simalungun, yang sedikitnya akan berkata,"Oh, saya ingin seperti dia dan saya mau seperti dia."

Jika mereka sudah tersihir seperti itu, maka sedikitnya akan bangkit semangat-semangat muda Simalungun.

Jika hal ini sudah terwujud, maka ke depan akan bangkitlah generasi SImalungun dengan segala prestasinya.

Maka terjadilah istilah manusia telah dimanusiakan....

Sonaima...

 DIA KOMPONIS GENIUS

KETIKA sebuah melodi mampu melambungkan gairah serta seakan membuat pendengar terbang melayang entah kemana, maka melodi itu telah berhasil merenyuhkan pendengarnya. Itulah salah satu contoh dari efek musik yang bagus.

Demikian halnya Taralamsyah, dia telah menyayat begitu dalam nurani melodi puaknya Simalungun. Dengan liukan nada musik karyanya pendengar bak menemukan sebuah pijakan, landasan dan sandaran jati diri. Taralamsyah berhasil membawa pikiran pendengarnya menerawang ke segala hal dan ke segala penjuru.

Lagunya membuat orang mampu balik dari perantauan walau sekadar dalam bayang-bayang. Dia mampu membuat pendengar berangan-angan lagi akan akan keindahan wilayah, keharmonisan hidup serta keramahan warga. Bahkan lagunya mampu merajut kasih dan cinta sejoli.

Di sisi lain dia mampu lewat lagunya melampiaskan sumpah serapah seseorang yang diputus cinta walau tak terucap kata-kata verbal dari mulut.

Dia telah membuat pendengar kembali terbayang pada masa lalu dan segala tingkah pola kebiasaan warga di daerah asal.

Kekuatan musik Taralamsyah tidak hanya terletak pada syair-syair lagu, yang tentunya banyak orang bisa membuatnya jika hanya sekadar syair. Harmoni antara syair dan situasi yang tergambar pada lagu-lagunya semakin klop dengan nada yang pas. Ini memperkuat energi musiknya.

Ketika dia menciptakan lagu “Padan Na So Suhun” misinya adalah menggambarkan seseorang yang sedang menantikan sebuah sapaan. Lagu ini berkisah tentang penantian bertahun-tahun seseorang yang sangat baik hati tetapi sapaan itu tidak kunjung dia dapat.

Jangan-jangan lagu ini yang dialami banyak orang juga merupakan gambaran tentang penantiannya sendiri akan respek dari Simalungun. Dia telah menjadi ikon musik puaknya tetapi telah seperti terabaikan.

Lepas dari itu lagu ini dia aransir begitu sempurna hingga dari tahun ke tahun terdengar dan secara de facto telah menjadi wonder hits dan everlasting song.

Aneka ekspresi telah diarahkan padanya dari puaknya hingga dari luar. Bisa dikatakan mayoritas Simalungun yang tinggal di daerah asalnya hingga di perantauan pasti pernah mendengar lagunya.

...............

“Hanya dengan mendengar lagu dia langsung bisa menyusun not-not baloknya,” demikian kata Djawasmen Purba tentang Taralamsyah. Djawasmen berusia 79 tahun saat wawancara di awal 2014 dan merupakan salah satu tetua Simalungun yang mengenal dekat Taralamsyah.

“Dia adalah Wage Rudolf Supratman-nya Simalungun,” lanjut Djawasmen. “Dia jenius di bidang musik. Adalah kita yang tidak atau kurang menghargainya. Karena itu dia pun pergi ke Jambi dan tidak merasa harus terikat apa pun ke Simalungun.”

CATATAN PENULIS

Dia Adalah Warisan Terpendam

Siapa gerangan Taralamsyah Saragih? Namanya hanya terpampang di balik sampul kaset berisi koleksi lagu-lagu pada dekade 1970-an. Lagu-lagunya yang terdengar indah memunculkan niat untuk mengenalnya lebih jauh. Ada banyak pencipta lagu tetapi tidak banyak yang memunculkan niat ingin tahu pendengarnya.

“Sewaktu kita bersekolah di SD, SMP di Pematang Raya lagu-lagunya merupakan kewajiban untuk kita dengar. Lagu-lagunya memang enak didengar tetapi kita tidak tahu siapa dia dan dimana dia berada,” kata James Purba Tanjung, Wakil Presiden PT Pos Indonesia.

Pria kelahiran 1963 ini tidak sendiri. Generasi Simalungun dengan usia lebih muda bahkan lebih ekstrem. Mereka seperti menagih peran para tetua Simalungun pendahulu mereka. Pardomuan Purba kelahiran 1976, atau sekitar empat tahun setelah Taralamsyah pindah ke Jambi, merasa amat heran. Mengapa Taralamsyah yang dia dan generasinya kenal lewat lagu-lagu tidak menetap di Simalungun.

Generasi muda ini yang lahir di era kemerdekaan dan pembangunan dan tidak merasakan sejarah pahit masa lalu menuntut utang para generasi tua. Mengapa Taralamsyah dibiarkan pergi? Demikianlah kira-kira mereka menagih.

Rasanya tuntutan generasi muda ini sangat masuk akal. Musik adalah musik dan penggubahnya yang mereka rasakan luar biasa adalah kebanggaan mereka. Dari sinilah kemudian berkembang sebuah langkah untuk mengedepankan lagi Taralamsyah.

Dia sudah tiada lagi dan jasanya selama 20 tahun terakhir hidupnya telah dinikmati Pemda Provinsi Jambi, yang memang jauh lebih menghargainya. Pemda Jambi mnenganugerahinya berbagai peghargaan hingga masuk dalam muatan lokal pelajaran sekolah. Akan tetapi dia harus dikembalikan utuh menjadi milik Simalungun.

Kisah Taralamsyah yang bisa dikatakan sebagai tragedi bagi budaya Simalungun itu juga menjadi semacam pengingat. Jangan pernah melupakan para pendahulu yang berjasa besar. Sebuah generasi, kebangkitannya serta kebanggaan mereka sering kali tergugah dengan keberadaan seorang tokoh.

Bagi generasi muda sekarang dia adalah tokoh besar. Taralamsyah adalah ikon terdepan seni budaya setidaknya di Simalungun. Tidak ada yang membantah hal ini bahkan para seniman setelah eranya sekalipun.

Hal ini terbukti dari semangat besar para generasi sekarang. Mereka antusias memburu informasi tentang Taralamsyah. Sultan Saragih adalah salah satunya yang gencar mencari nara sumber untuk mengisahkan siapa itu Taralamsyah.

Dr Sarmedi Purba dari generasi lebih tua dan semasa kuliah pernah mencoba membukukan kisah Taralamsyah tak ketinggalan antusias.

James Purba Tanjung menyempatkan diri menjumpai sekaligus makam dan anggota keluarga saat melakukan dinas kerja ke Jambi, lokasi makam Taralamsyah.

Asenk Lee (Rosenman Manihuruk) yang kebetulan bermukim di Jambi juga turut bersedia menggali informasi lebih dalam soal Taralamyah untuk periode kehidupannya di Jambi.

Mereka melakukan ini untuk menorehkan sebuah harta warisan terpendam Simalungun, yang diabaikan generasi Taralamnsyah sendiri, tetapi ingin mereka kukuhkan dan serahkam untuk generasi Simalungun berikutnya.

Penulisan buku ini yang awalnya muncul dari sebuah kegelisahan juga merupakan sebuah tanda bangkitnya identitas Simalungun. Suku ini sering dikiritik oleh kelompoknya sebagai tak punya nyali, tak punya etos, tak punya jati diri dan malu pada jati dirinya sendiri.

Itulah juga misi buku ini, sebagai sebuah sarana pembangkit identitas sebuah suku guna melengkapi Indonesia dengan kekhasan Bhineka Tunggal Ika. Bahwa Taralansyah adalah figur besar yang lahir dari Simalungun itu sendiri sekaligus menunjukkan kebesaran terpendam yang dimiliki etnis ini.

Berita Lainnya

Post a Comment

0 Comments