Info Terkini

10/recent/ticker-posts

URAT SIMALUNGUN SUDAH PUTUS?

Simon Petrus Saragih
Oleh Simon P Saragih

* Seorang Haji Damanik Mendukung Sanggar Tari Harris Hemdy Sigumonrong
BUKAN hanya di lagu, di adat dan juga di "ahap" pun urat Simalungun sudah hampir putus. Atau mungkin sudah benar-benar putus.

Banyak indikasi yang menunjukkan potensi urat yang putus. Artefak-artefak Simalungun terlantar dan tak terurus. Stupa-stupa tertimbun tanah, retak-retak, seolah-olah menandakan semua itu sudah tidak perlu, dan mungkin juga tidak lagi berharga.

Ironisnya, dan contoh terkini, ketika seorang relawan seperti Sultan Saragih II membaktikan dirinya pada pelestarian budaya kuno Simalungun, dia tidak ditoleh. Lebih jauh, dia telah dituduh seolah-olah membangkitkan hal-hal berhala.
Berhalakah adat? Berhalakah tradisi?

Tampaknya tidak demikian. Setidaknya itu tidak menjadi pegangan banyak orang. Di sebuah desa kecil di desa Mariah Purba Saribu, Kecamatan Horisan Haranggol misalnya, sebuah tugu tentang perintis desa itu, Manorsa, dibikinkan tugu peringatan.

Para keturunan Manorsa itu, yang aslinya Simamora Debata Raja, perantau dari Dolok Sanggul, telah mematrikan diri mereka sebagai Simalungun asli. Mereka merasa berutang pada leluhur mereka yang telah membawa mereka ke perantauan dan memberi kehidupan yang di atas rata-rata di perantauan.

Mereka itu beragama, antara lain GKPS dan Katolik. Para keturunannya terlibat aktif di gereja. Hal yang mereka ingin lakukan adalah mengenang leluhur, dan meniru semangat leluhur yang mereka anggap luhur.
"Ingatlah akan leluhur-leluhurmu kamu, yang telah menyampaikan firman Allah kepadamu. Perhatikanlah akhir hidup mereka dan contohlah iman mereka," demikian Leo Joosten OFM Cap, seorang rohaniwan asal Belanda, mengutip Ibrani 13:7. Dia mengutip itu karena Kitab itulah yang membuatnya terdorong menuliskan kisah-kisah orang yang terlibat pewartaan zaman dulu di Indonesia.

Banyakkah warga Simalungun melakukan seperti yang dilakukan keturunan Manorsa itu?
Itu baru untuk urusan internal sebuah keluarga dengan silsilah mereka sendiri. Lalu bagaimana dengan tanggung jawab sosial bersama di Simalungun itu sendiri?

Masih ada upaya-upaya sporadis di antara etnis ini guna menghargai tradisi dan menghargai dirinya sendiri. Akan tetapi semuanya sporadis dan tidak terjamin langgeng.

Terima kasih kepada lembaga-lembaga adat di desa-desa Simalungun. Lembaga ini, tinggal satu-satunya penerus alamiah tradisi. Hanya saja ini umumnya hanya bergerak jika itu an sich untuk urusan adat yang terbatas. Lembaga semacam itu aktif dan eksis hanya untuk pernikahan, kelahiran, acara adat internal, hingga acara kematian seorang sesepuh terhormat.

Di luar itu, hal yang terjadi hanya sekadar niat, atau ekstremnya hanya sebuah cap di jiwa, "Bahwa saya SImalungun". Dalam implementasinya yang lebih luas, hal yang terjadi adalah apatisme, atau mungkin juga sinisme?

Tidak terlihat fakta-fakta sejarah tertulis tentang warisan Simalungun itu sendiri, kecuali masih ada di benak para tetua. Akan tetapi tidak ada yang berminat membakukannya dalam bentuk tulisan, hingga bisa menjadi sejarah berharga di masa depan generasi Simalungun.

Kuat hipotesa, Simalungun tidak perduli dengan dirinya. Mungkin dengan tradisi orang lain pun dia tidak perlu perduli.

Terima kasih kasih Gereja GKPS, yang kini menjadi salah satu pilar agama, dengan berbasiskan umat bernama Suku Simalungun. Gereja GKPS ini secara langsung atau tidak langsung masih menjadi fondasi kuat dan mungkin sebuah fondasi yang lestari bagi penegak identitas dan jati diri Simalungun. Namun GKPS kukuh karena ada Iman di dalamnya. Ada urusan Tuhan secara langsung di dalamnya. Ada soal karya penyelamatan di dalamnya.

Di luar Gereja GKPS dan lembaga adat, Simalungun seperti kapal kecil terapung di tengah samudera nan luas. Syukur-syukur gelombang dahsyat tidak akan segera menenggelamkannya.

Barangkali semua hipotesa itu bisa didebat. Akan tetapi fakta-fakta memperlihatkan secara kuat pula, Simalungun itu seperti kapas yang diterpa angin, mudah terbang kemana saja, walau hanya oleh tiupan angin sepoi-sepoi saja. Dia bukan seperti pohon randu, penghasil kapas, yang tetap berdiri tegak walau ada angin, hingga angin kuat sekali pun.

Mau contoh? Kisah sedih seorang Taralamsyah adalah kisah paling mengemuka tentang itu. Ironisnya, kisah itu tidak terhentikan. Para penerusnya juga mengalami hal serupa.

Harris Hemdy Purba, kelahiran 1949, adalah seorang penerus yang tinggal di Medan. Dia mencoba menegakkan kembaili tradisi Simalungun dari sisi seni budaya. Orkes Nalaingan dia coba hidupkan. Sepeninggal Taralamsyah karena pergi ke Jambi, Harris mencoba membangkitkan Orkses Nalaingan. "Akan tetapi benar, memang berat. Tidak ada yang mendukung," kata Harris menceritakan kisahnya.

Cucu Raja Raya ini, Tuan Kaduk, dari garis ibunya, mencoba beralih ke grup tari. Dia mendirikan sebuah sanggar tari, khusus untuk tari Simalungun. Di sini lagi, kepedihan hatinya semakin merebak.

Pernah dia membagikan sarune kepada para anak muda Simalungun agar melatih diri main sarune. "Hanya sarune-nya yang mereka mau, tetapi meniupnya saja mereka tidak mau. Jangankan mau menjadi pesarune profesional, meniupnya saja mereka tidak mau," katanya saat wawancara di hari Rabu, tanggal 19 Maret, saat berkunjung ke Jakarta.

Lalu mengapa masih eksis? "Ada seoarang Haji marga Damanik, yang satu-satunya menjadi semacam secercah harapan bagi saya," kata Harris. Dia seperti kakeknya, dari garis ibunya, Tuan Taralamsyah, kini menjadi nara sumber seni, khususnya untuk pembuatan skripsi tentang seni budaya Simalungun, khususnya seni tari.

Haji ini merelakan sebuah bangunan miliknya untuk dipugar. Ruangannya ditata sehingga bisa menjadi ajang latih tari bagi kelompok tari yang dibina Harris. Bukan cuma lahannya, uang Haji marga Damanik itu, yang Simalungun asal Sidamanik pun sering mengucur untuk kepentingan Harris.

Lalu bagaimana saat pertunjukan? "Tidak ada masalah soal hasilnya karena memuaskan para penonton."
Lalu dimana kisah pilu yang dia hendak utarakan? "Pernah sekali, dan kemudian seterusnya berlaku seperti itu. Pernah kita diminta tampil. Ini oleh orang Simalungun. Pemain kita ada 10 orang. Permintaan tampil pun harus di luar kota Medan. Kisahnya adalah soal tarif. Kita sudah pasang tarif serendah mungkin, katakanlah Rp 2,5 juta."

Tau apa kata orang Simalungun itu? "Aduh, ngak jadi. Kemahalan itu Rp 2,5 juta." Harris merasa perih. Duit Rp 2,5 juta jika dirata-ratakan hanya bisa dibagikan Rp 250.000 per orang. Itu belum termasuk ongkos, bensin, dan uang makan tiga kali dalam sehari selama pertunjukan itu.

"Payah, ya memang payah," kata Harris. Untungnya dia pernah mengenang Taralamsyah pulang jalan kaki usai peresmian Hotel Dharma Deli di Medan di awal dekade 1970-an. "Ya karena tidak ada ongkos," kata Harris menyaksikan Taralamsyah berjalan pulang usai ditanggap tampil pada peresmian hotel itu.
Harris Hemdy kini sering merasa apatis pula. Dia sering menjadi sinis sendiri. Dia sudah tak berharap pada dukungan etnis Simalungun itu sendiri.

"Akan tetapi adalah tugasku untuk tetap melanjutkan karya saya," kata Harris yang membakukan buku kecil berisikan tentang tari Simalungun yang sebenarnya.
Antusiasme susah dibangkitkan. Orang-orang Simalungun pun sudah lebih suka dengan musik kocak dengan goyangan jingkrak jika ada pesta-pesta.

Lebih ironis lagi adalah penerus seni budaya. Musik gonrang misalnya, sedang dalam proses pemunahan. "Jika Anda anggap generasi Simalungun Raya masih peduli, tampaknya Anda harus siap kecewa," kata Harris.

Dia memberi contoh. Sekarang para pemain gonrang ada dari Simalung Atas. Tidak banyak tetapi ada, dan masih tergolong profesional dan bisa diandalkan serta sering tampil di acara-acara. "Lihat juga pemain sarune, juga di SImalungun Atas, ada seorang pemain sarune yang handal karena itu sering kita ajak naik pentas. Tahu apa marganya? Bukan Saragih, bukan Purba. Pemain Sarune itu marga Sagala."

Lalu dimana peran dan tanggung jawab orang-orang kaya Simalungun? Dia menyebutkan nama-nama. Tidak enak disebutkan di sini. "Begitu Bupati Rajamin Meninggal, tampaknya kandas lah sudah dukungan seperti sebesar yang pernah beliau berikan."

Jika dulu belum banyak orang sukses Simalungun, masih bisa dimaklumi soal rendahnya antusiasme dan honor. Jika kini banyak generasi Simalungun berduit, tetapi sungguh tidak terpanggil melestarikan budayanya, itulah gambaran tragedi itu.

Itulah pertanda tentang urat Simalungun mendekati putus, dan barang kali akan punah seiring dengan perjalanan waktu.
Allamak....

Berita Lainnya

Post a Comment

0 Comments