Info Terkini

10/recent/ticker-posts

TARALAMSYAH, IKON KARAKTER SIMALUNGUN SEJATI

Simon Saragih

* Diamonds Are Forever
"Iboto ham do sondia cara manlawan musuhni? Lang ibunuh langsung da tapi isatto do. Tor mate do ibaen," demikian kata Djawasmen Purba. Ucapan ini belum tentu benar dan belum tentu berlaku. Akan tetapi ucapan seperti ini adalah sebuah gambaran atau sebuah persepsi tentang cara Simalungun menghadapi musuhnya.
Namun tidak disangkal, tertanam lama stereotif seperti itu pada puak Simalungun itu sendiri. Ada mitos seperti ini yang dihadapi Simalungun dan tertanam diam-diam dalam benak suku lain saat berhadapan dengan Simalungun.
Apa ini sebuah kenyataan? Fakta menunjukkan suku-suku lain telah lama mendiami Simalungun. Tak banyak suku-suku Simalungun berdiam di tempat suku lain, sebanyak suku-suku lain mendiami Simalungun. Bisa dikatakan, fakta ini memperlihatkan keadaan sebaliknya. Simalungun itu menerima, Simalungun itu entah sadar atau tidak sadar menjadikan dirinya dan menjadikan wilayahnya untuk dihuni bersama dengan suku-suku lain.
Ada Kampung Karo di Pematang Siantar tetapi tidak ada Kampung Simalungun di Kabanjahe. Ada Kampung Toba di Saribudolok tetapi tidak ada Kampung Simalungun di Balige. Ini contoh saja.
Stereotif yang salah, dan mitos yang salah dan persepsi yang salah telah diarahkan pada Simalungun, yang faktanya lebih menjadikan dirinya bagai gula dikerubungi semut.
Hanya ada satu yang konstan pada Simalungun itu sendiri, eksistensi dan proses pengasahan jati diri yang harus tetap kuat di tengah invasi suku lain. Simalungun hanya meminta pada diri sendiri, dan hanya meminta pada keturunan sendiri untuk tidak berubah dan tidak terkontaminasi.
Simalungun itu punya nilai-nilai luhur. Taralamsyah bahkan membawa dalam dirinya karakter luhur seperti itu. Dia seperti menjadikan dirinya sebagai ikon karakter luhur itu.
Taralamsyah membawa dalam dirinya warisan nilai, yang layak menjadi panutan bagi yang lain, bagi Simalungun bahkan bagi non-Simalungun.
Bagaimana menjadi manusia sejati, dengan keluhuran jiwa, demikian saja dia menjalani hidupnya.
Benar, dia pernah mengucapkan kalimat-kalimat seperti, "Lang ihargai SImalungun be SImalungun."
Benar, dia gigih menekankan kesejatian Simalungun dalam seni budaya, agar warna khasnya tidak luntur.
Selebihnya, jangan mencari kalimat permusuhan dari Taralamsyah. Jangan mencari warisan perpecahan darinya. Di dalam dirinya hanya ada warisan kesimalungunan yang harus bertahan. Dalam hal ini dia memang kukuh. Lebih bagus lagunya tidak direkam jika aransemennya mengubah kekhasan seni Simalungun.
"Bagaimana saya menjawab Taralamsyah jika karya-karyanya diserahkan untuk dimodifikasi demi laris di pasaran padahal saya tahu dia tidak mau itu terjadi?" demikian Menna Purba menggambarkan kegigihan Taralamsyah mempertahankan karakter melodi SImalungun.
Taralamsyah menuntut sebuah ketekunan, keseriusan, bagi siapa saja yang mencoba menyentuh seni ciptaanya. Dalam hal ini dia ketat, dan super ketat.
Bahkan dia sanggup bermimpi, mengharapkan seni Simalungun itu sendiri ditampilkan dengan label setara simponi Bach, Handle, Beethoven. Bahkan dia bermimpi tentang sebuah konser akbar Simalungun bernuansa kolosal dan berkaliber dunia, seperti diceritakan keponakannya, Dr Sarmedi Purba.
Itulah impian Taralamsyah, yang belum terwujud tetapi bukan tidak mungkin. Suatu saat ini akan mungkin jika kemakmuran menghinggapi ratusan ribu puak Simalungun.
Akan tetapi sejauh ini Taralamsyah sebenarnya juga tidak bermimpi. Tindakan Vicky Sianipar memperlihatkan kesahihan impiannya. Ketika Vicky Sianipar menggali lagi-lagu dari Karo dan Simalungun di samping lagu Toba untuk dia rekam, tak pelak lagi karya Taralamsyah adalah yang mampu meluluhkan naluri melodi Vicky yang agak ribet, rumit tetapi laris di pasaran dan konser-konsernya dinantikan.
Kualitas dan kualitas, itulah karakter Taralamsyah. Tanpa sebuah kualitas maka sebuah karya hanya akan terdengar sementara dan kemudian dengan mudah dilupakan.
Siapa mengatakan Simalungun itu tidak menurunkan sebuah kualitas? Siapa mengatakan SImalungun itu tidak punya satu hal yang diandalkan? Taralamsyah membantah dengan sendirinya sikap peremehan seperti itu.
Dalam hal kehidupan pun demikian adanya. Taralamsyah adalah gambaran dari manusia super dengan kesejatian dirinya. Carilah noda dalam diri Taralamsyah dan carilah sejarah negatif tentang dirinya. Hanya Taralamsyah dari beberapa tokoh Simalungun yang mampu mulus melewatkan kehidupan di dunia tanpa noda.
Taralamsyah tidak meninggalkan tanah berhektar-hektar, tabungan sejuta rupiah pun tidak ada. Selembar sertifikat dari Simalungun pun tidak terpajang di rumah anak-anaknya sendiri. Namun dia tidak mutung. Taralamsyah adalah figur yang membalikkan semua energi ke arah positif.
Ketika ada semacam protes kecil dari anak-anaknya seperti Edy Taralamsyah, dia menjawab. "Ini semua kelak akan berharga emas." Maksudnya, karya-karyanya setara emas di kemudian hari.
Adalah senilai emas, bahkan lebih dari emas, bahkan setara dengan berlian karyanya yang sepanjang masa terus berkumandang. Jika yang mendengarnya tidak menghargai dalam bentuk royalti, itu bukanlah kesalahan Taralamsyah. Hal yang jelas, dia meninggalkan berlian, yang terkenal dengan istilah "diamonds are forever".
Dalam hal lain pun Taralamsyah memperlihatkan kesejatian seorang anak manusia, dan lagi dari Simalungun. Seolah-olah bagi dirinya hidup ini hanya semacam dunia fana untuk dilewati menuju sebuah nirwana yang indah. Dengan memegang prinsip seperti itu, dia melewatkan dunia fana dengan meninggalkan warisan berupa karakter yang layak ditiru.
Ketika dia mendengar sendiri abangnya menjadi korban revolusi, secuil kalimat pun tidak dia torehkan tentang itu walau dia tahu persis sejarah itu. Dia membawa saja pada dirinya sebuah sikap diam sembari terus melanjutkan perjalanan hidupnya.
Ketika dia menjalani hutan belantara membawa dokumen keuangan negara, bahkan gelar pahlawan daerah pun tidak dia minta. Dia hanya berseru, agar Simalungun menghargai Simalungun. Ketika dia menyatakan tidak mendapatkan penghargaan, rujukannya adalah penghargaan pada karya indah, karya besar, dan bukan penghargaan pada nama Taralamsyah.
Ketika dia bertikai dengan saudara kandungnya, yang membuat perusahaan Data Technical Services (DTS) tadinya jaya dan kemudian bangkrut, dia tidak melarang anaknya Edy Taralamsyah bekerja di DTS. Dia pun tidak menanamkan kebencian pada anak-anaknya terkait pertikaian itu. Dia jalani saja hidupnya seolah-olah hidup ini begitu banyak memberi kesempatan-kesempatan lain.
"Dia tidak pernah melarang saya bekerja pada Bapanggi saya dan dia tidak memecah saya dengan bapanggi saya," kata Eddy, yang kemudian memang sering disayang pangginya dengan memberi Eddy uang membeli sepatu. Kemudian sifat ini malah membuat Bapangginya Eddy itu seperti memiliki penyelasan, bahwa mereka telah dipecah "the outsider" dari kakak-beradek.
Ketika di Jambi dia sering kedatangan rohaniwan, termasuk pendeta. Hal yang dia tekankan adalah bagaimana menghargai sesama manusia, dan bukan bagaimana mengenang Taralamsyah. Bagaimana posisi budaya dan bagaimana budaya tidak bertentangan dengan agama, itu saja yang dia tekankan. Dia tidak membenturkan budaya dan agama, apalagi menjelek-jelekkan agama. Tidak, itu bukan tipe Taralamsyah.
Ketika dia dimentalkan oleh seseorang sehingga tidak jadi pindah ke Jakarta untuk mendalami budaya Simalungun di tingkat nasional, dia hanya menuliskan sepucuk surat. "Menna, lang jadi au hu Jakarta da." Artinya, Menna, saya tidak jadi ke Jakarta.
Menna Purba adalah keponakannya kandung yang begitu dekat. Suami Menna yang marga Saragih, Djawalim, semakin mendekatkan hubungan keluarga mereka.
Ada kedengkian dalam suratnya yang dia curhatkan pada Menna karena batal ke Jakarta itu? Mungkin ada. Akan tetapi Menna tidak menuturkan itu., Menna tidak mengatakan apa-apa. Menna hanya melanjutkan pesan inti Taralamsyah, hidup yang indah dan harmonis sepahit apa pun hidup itu pernah dia lalui.
Ketika Jambi pun kemudian melupakannya, dan membuatnya hidup mengontrak rumah di usia tuanya, tak juga ada torehan negatif dari hatinya tentang pencampakan di usia senja. Dia tidak pula menerima dana pensiun memadai, walau dia telah menyusun "Ensikopedia Seni Buaya Jambi", yang menjadi landasan utama Kebudayaan Jambi sekarang.
Taralamsyah telah meninggalkan pola kehidupan nihil kebencian dan kedengkian. Jika pun itu ada, dia memilih untuk memendam saja, dan dia ubah itu menjadi energi untuk terus berkarya dan berkarya.
Taralamsyah tidak meninggalkan harta. Patungnya pun tidak ada. Akan tetapi namanya melambung tinggi, melebihi nama-nama tokoh Simalungun terbesar sekalipun.
Inilah salah satu anak bangsa dari Simalungun, dengan pesan moral yang tinggi. Siapa seperti Taralamsyah? Dia adalah permata atau berlian Simalungun dan berlian itu abadi. Diamons are forever. 
Horas....(Oleh Simon Saragih)

Berita Lainnya

Post a Comment

0 Comments