DOK |
TRAGEDI ITU MENINGGAKAN TRAUMA AKUT
“Ambia, lao ma lah ho, alana lao adong namanangkap ho,” demikian pesan orang pada Morgahatim, almarhum Tuan Silou Raya.
Artinya, “Pergilah kau kawan, atau larilah karena engkau segera ditangkap.”
Ini adalah pesan tetangga di saat revolusi sosial sedang berkecamuk, dimana para raja, tuan-tuan penguasa lokal menjadi korban semasa revolusi sosial di tahun 1946.
Akan tetapi Morgahatim menjawab, “Lang pala, lang mabiar au.” Artinya, “Tidak usah, saya tidak takut.”
Demikian penuturan Jantianus Saragih, cucu Morgahatim korban langsung pembunuhan di era Revolusi Sosial tahun 1946. Jantianus kelahiran 1955 ini mendengar kisah tragis kakeknya itu dari penuturan langsung almarhum ayahnya, Jaiman, yang sudah meninggal tahun 1995 lalu.
Jaiman pernah bercerita tentang pembunuhan ayahnya, Morgahatim, kepada para putra dan putrinya.
Kisah ini hanya untuk menuturkan cerita apa adanya dan bukan bermaksud apa-apa apalagi dendam. Jaiman, yang juga memiliki nama lain Djasarmen, memohon pada putra-putrinya untuk melupakan saja masa lalu dan cukup mengambil hikmahnya.
Morgahatim sendiri adalah putri ke-15 dari Raja Raya, Tuan Sumayan. Dia satu ayah tetapi lain ibu dengan Taralamsyah.
Dan benar, tidak lama setelah peringatan itu empat orang datang mengetok rumah Morgahatim di malam hari. “O ambia Morgahatim, buka lobei pintu rumah on, hudarat ho,” demikian suara panggilan terdengar dari dalam rumah.
“Ise hanima?” demikian Morgahatim bertanya balik.
“Au do on,” jawab dari balik pintu rumah.
Setelah Morgahatim membuka pintu rumah, dia pun langsung ditangkap. Kedua tangannya diikat dengan posisi ke punggung dan langsung dibawa pergi. Kisah dan kejadian ini langsung dilihat oleh Jaiman.
Mengapa Morgahatim tidak mengindahkan peringatan, yang mungkin saja saja mencegah kematiannya? Menurut Jantianus, kakeknya memiliki kekebalan tubuh. Hal itu membuatnya tidak gentar dengan ancaman yang ada. Kekebalan itu membuat Morgahatim memiliki rasa percaya diri.
Akan tetapi kekebalan itu tidak mampu menyelamatkannya. Sejak ditangkap dari rumahnya di parmahanan di Silou Raya, dia langsung diikat dengan tangan posisi tangan ke belakang. Saat dibawa sejauh 500 meter dari rumahnya, anehnya Morgahatim bisa melepaskan ikatan tangan lewat upayanya sendiri.
Hal ini mengherankan para penangkapnya yang kemudian menjadi kalap dan ketakutan. Akan tetapi penangkap bersenjata itu mencoba melakukan perlawanan. Morgahatim juga tak mau menyerah begitu saja.
Para penangkap mencoba menggeledah benda tajam yang mungkin saja dimiliki Morgahatim tetapi tidak kelihatan. Namun di tubuhnya Morgahatim bisa menyembunyikan belati, yang dipakainya untuk menyerang salah satu penangkap.
Di sirpang Silou Raya, ada ceceran darah akibat serangan Morgahatim. Karena secara fisik empat penangkap tak berdaya melumpuhkan, mereka lalu menembak Morgahatim. Dari situlah dia dibawa ke jembatan dekat Silou Raya, yang dikatakan Jembatan Hutailing, dekat Sirpang Sigodang sekarang.
Jasadnya pun kemudian dibuang ke jembatan tetapi juga sudah dengan posisi tangan dipotong.
Di pagi hari setelah kejadian itu, ada orang yang memberi tahu Jaiman tentang posisi jasa ayahnya yang terapung di atas aliran sungai Jembatan Hutailing. Akan tetapi Jaiman sudah lunglai. Jaiman tidak kuat secara fisik karena sudah dilanda ketakutan besar. “Bapak tidak berani mengambil jasa kakek kami, sebagaimana pernah dituturkan ayah kami,” kata Jantianus.
“Bapak bisa dikatakan sudah trauma dan tidak berani. Bapak pun ketakutan luar biasa dan berpikir jangan-jangan dia pun akan menjadi korban berikutnya jika berani mangambil jasad kakeknya. Saat dibelenggu ketakutan demikian, bapak pun bersikap pasrah saja. Dia pasrah kalau-kalau nasibnya pun akan berakhir sama seperti nasib Oppung Morgahatim.”
Untungnya Jaiman tidak menjadi korban berikutnya. Hanya saja saat itu Jaiman merasakan seperti sendiri di dunia ini. Dia merasa tidak punya teman yang siap membela jika terjadi apa-apa. Dia terbayang pada kejadian ayahnya yang sama sekali tidak mendapatkan pembelaan dari siapapun.
Karena itu selanjutnya Jaiman lebih banyak menutup diri dan menahan diri. Jaiman tidak menghindar dari kerumunan tetapi hampir sepanjang hidupnya lebih memilih menarik diri. Ketakutan yang sangat besar terus melandanya sejak 1946 hingga ada keyakinan kuat bahwa keadaan telah aman dan kemerdekaan telah benar-benar direbut.
Rasa aman dan kemerdekaan utuh ini baru muncul sekitar 1951, setelah RI melewati dua kisah agresi Belanda. “Setelah tahun 1951 inilah bapak merasa ketenangan.”
Akan tetapi Jaiman tetap tidak bisa melepas efek traumatis itu. Dia sama sekali tidak berniat melakukan perlawanan. Untuk sehat dan bertahan hidup saja, Jaiman sudah merasa bersyukur. Mempertahankan hak dan kepemilikannya pun Jaiman sudah tidak mau.
Karena itu, menurut Jantianus, setiap kali ada warga yang mengambil lahan-lahan luas yang ditinggalkan kakeknya, dia bersikap pasarah saja dan merelakannya. “Ibuat hanami ma tanoh nasiam on da,” demikian warga sekitar berkata kata Jaiman saat mereka ingin mengambil lahan milik Morgahatim.
“Buat ma, buat ma,” demikian Jaiman merelakan saja semuanya. Dia tidak memerlukan semuanya itu lagi, dia hanya memerlukan nafasnya bisa panjang dan bertahan hidup setelah revolusi sosial itu.
Lama sekali Jaiman untuk memulihkan ketegaran hati. Setelah berangsur mendapatkan keberanian, Jaiman mencoba berusaha sendiri. Dia pernah memiliki mobil untuk angkutan umum dan kemudian tergolong mampu secara ekonomi. Namun semua kekayaan keluarganya berupa lahan-lahan luas di Silou Raya tidak pernah dia usik lagi. Dia biarkan saja itu semua menjadi milik orang lain.
Karena kemudian mampu secara keuangan, sering kali warga sekitar menjual lahan-lahan pada Jaiman. Namun Jaiman sudah mematrikan untuk tidak pernah lagi membeli lahan-lahan di sekitar tempat tinggalnya. “Bapak mengkhawatirkan terus tentang potensi akan terjadinya pergolakan politik babak lanjutan,” kata Jantianus.
“Bapak berpikir, jika kembali memiliki lahan luas, jangan-jangan hal itu juga akan menyebabkan masalah bagi keturunannya di kemudian hari. Karena itu bapak tidak pernah berniat membeli tanah apapun.”
Trauma yang dialami Jaiman tidak hanya seputar kejadian penangkapan dan pembunuhan ayahnya, Morgahatim. Kemudian bisik-bisik tetangga juga membuatnya mengidap ketakutan menambah ketakutan yang ada dan belum bisa dia atasi. Misalnya, para keturunan raja raya masih sempat mendengar semacam ledekan dan pelecehan.
Misalnya, terdengar bahwa mereka adalah keturunan raja yang merupakan pendukung pejajahan Belanda. Terdengar juga bahwa para raja tidak disukai karena beristri banyak. Soal kepemilikan lahan yang luas juga merupakan hal yang menjadi pembicaraan umum. Hal inilah yang menakutkan Jaiman hingga dia berdiam diri saja.
“Bukan hanya itu. Efek trauma juga berdampak pada upaya penghilangan jati diri. Setidaknya sebagian dari kami sangat enggan menunjukkan marga kami sebagai marga Saragih Garingging,” kata Jantianus.
Bukan hanya itu, setidaknya sebagian dari keluarga Garingging garis keturunan raja juga pernah mendapatkan ledekan. Garingging seolah-olah sudah tidak punya nyali lagi dan dan tidak punya harga dan serasa tidak bisa bangkit lagi. “Sangat lama kami menghindar. Memperlihatkan jati diri kami sebagai Garingging pun tidak bisa kami lakukan.”
Setelah berlalu puluhan tahun, atau lima puluh tahun lebih, barulah Garingging dari Raya, khususnya keturunan raja, berani menunjukkan diri atau identitasnya. Hal itu dipicu tampilnya nama DR Bungaran Saragih di panggung nasional. Bungaran kemudian memang menjadi menteri di era reformasi.
Kebangkitan identitas dan rasa percaya diri semakin bertambah setelah JR Saragih menjadi Bupati Simalungun. Penampilan dua tokoh ini di level nasional dan di level daerah cukup membanggakan Garingging. Setelah inilah
Garingging berani memasang marga Garingging.
Apakah ada pemikiran lain setelah kejadian itu? Misalnya, apakah ada dendam?
“Tidak, tidak. Untuk apa dendam. Dan jika dendam kepada siapa kita harus dendam. Dan apa kegunaan dari dendam? Itu pasti hanya akan menimbulkan permusuhan baru. Di samping itu memang tidak ada sedikit pun niat dendam. Damai-damai saja keinginan kita,” demikian Jantianus.
“Hanya saja saya menyesalkan mengapa ayah saya pernah bercerita tentang lahan-lahan yang kemudian menjadi milik publik. Saya pernah bertanya, mengapa bapak tidak meminta lagi lahan-lahan yang diambili rakyat? Namun bapak tidak acuh lagi pada lahan-lahan itu.”
“Bapak kemudian hanya mendorong kepada kami, agar berjuang dalam kehidupan supaya tidak menjadi saran cercaan atau setidaknya agar kami bisa bangkit secara ekonomi.”
Apakah tahu siapa empat orang yang menangkap Morgahatim? “Ada terdengar bisik-bisik soal pelakunya tetapi bagi kita itu tidak pernah menjadi penting lagi untuk dipikirkan. Juga memang ada, bagi kami juga tidak pernah jelas siapa pelakunya. Dan bagi keluarga kami, hal itu tidak lagi perlu diusik,” kata Jantianus.
Keluarga kini merasa pulih dari kisah itu dan memilih melanjutkan kehidupan seperti bisanya sebagaimana publik menjalani kehidupan.
Mereka sudah cukup bangga dengan bangkitnya Garingging, yang awalnya dipicu pemunculan lagu-lagu karya Taralamsyah. “Kemudian muncul pula Bill Saragih di panggung dunia hiburan tingkat nasional. Hal itulah yang menjadi dasar kebangkitan asa mereka.”
Dan bagi mereka hal itu sudah lebih dari cukup. “Saya pun tidak memiliki rasa sakit hati karena bapak telah mengajarkan demikian kepada kami para putra-putrinya. Hanya saja kami memang kini lebih berani menjalankan usaha untuk menghidupi diri sendiri dan keluarga.”(Simon Saragih)
0 Comments