Info Terkini

10/recent/ticker-posts

SENANDUNG TUAN PADI RAJA DI TAHANAN

Cosmas Batubara

• Dia Akhirnya Dieksekusi Juga

Tuan Padi Raja adalah Raja terakhir Silimakuta, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Privilis sebagai anak raja membuatnya memiliki akses dalam banyak hal termasuk pendidikan. Ini membawanya menjadi tokoh lokal yang tampaknya tidak lagi ingin diingat orang.

Dia bersekolah di HIS, setelah itu belajar di sekolah kerajaan Silimakuta. Hal ini membuatnya memiliki visi dan kepemimpinan, yang saat itu amat langka dimiliki warga lokal.

Semasa hidupnya Tuan Padi Raja juga aktif pada kegiatan sosial. Dia adalah Raja yang mendukung misi agama. Saat itu dukungan para raja memang sangat vital. Adalah anggota keluarganya, Benteng Girsang, yang dibaptis pertama kali sebagai umat GKPS di Saribudolok, dipelopori misionaris Protestan Pendeta Henri Guilllaume.

Setidaknya demikian penuturan salah satu putranya, Drs Raja Satya Naftaly Girsang, kelahiran Kabanjahe 12 Juni 1935. Saat penulisan buku ini, hanya Satya satu-satunya putra Padi Raja yang masih hidup di samping dua saudarinya. Padi Raja punya empat putra dan tiga putri.

Pendirian Gereja GKPS Saribudolok termasuk yang dia sponsori. Lokasi Gereja GKPS Saribudolok berukuran besar sekarang ini juga milik Padi Raja yang telah dia serahkan. “Walau pun aku belum beragama tetapi saya mendukung pewartaan agama,” demikian Padi Raja berikrar sebagaimana dituturkan kembali oleh Satya.

Istrinya Kontauhur Saragih, putri Pangulu Situnggaling, juga pemeluk GKPS. Hal ini turut membuat Tuan Padi Raja dikenal dan disukai rakyat. Walau ia tidak pernah memeluk agama dia tidak membendung agama, termasuk akhirnya menyerahkan sebagian lahan ke Gereja Katolik di Saribudolok.

Padi Raja juga seorang tokoh yang paham adat dan tradisi Simalungun. Kemampuannya soal ini tidak diragukan. Taralamsyah sendiri pernah mengatakan bahwa Padi Raja salah satu sandarannya belajar dan bertanya soal adat Simalungun yang berkembang di Silimakuta.

Padi Raja pun pernah terlibat perlawanan terhadap Jepang dalam peristiwa 13 Desember 1945 di Tebing Tinggi. Ini bertujuan memperjuangkan kemerdekaan. Peristiwa 13 Desember 1945 merupakan julukan bagi pembantaian Jepang terhadap rakyat di Tebing Tinggi yang ingin Jepang segera enyah tetapi sempat ingin bertahan. “Saya ingat peran Amang terkait peristiwa Tebing Tinggi karena dibawa serta. Ketika itu saya masih kecil tetapi jelas dalam memori,” kata Satya.

Hal ini membuat Padi Raja relatif aman di awal revolusi sosial yang dimulai tanggal 3 Maret 1946 dengan pembantaian para ningrat di Tanah Karo. Ketika revolusi sosial mulai merebak dia berada dalam perlindungan Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Padi Raja juga pernah masuk dalam jajaran Markas Agung, semacam dewan militer di Sumatra Timur di era menjelang kemerdekaan.

Padi Raja selamat karena bersembunyi bersama sejumlah raja-raja Sumatera Timur di Rumah Sakit Umum Pematang Siantar, lalu dipindahkan ke Berastagi, kemudian dipindah lagi ke Kaban Jahe. Dalam pengamanan ini dia tinggal bersama Raja Sidamanik, Tuan Ramahadin Damanik, yang kemudian menjadi mertua Satya.

Saat kondisi genting itu, istri dan anak-anak Padi Raja telah mengungsi ke Sidikkalang ke arah Jalan Parongil. Mereka tinggal di sebuah balai milik keluarga. “Kami mengungsi ke Sidikkalang saat Amang diamankan di rumah sakit,” kata Satya Girsang.

Raja Asah Ujung, Jaekuten Keppas, adalah Raja Dairi yang mengambil istri dari keluarga Kerajaan Silimakuta. Raja ini menampung mereka. “Saat mengungsi kami harus berjuang untuk hidup. Saya mengalami cara memintal rokok untuk dapat uang,” kata Satya, yang di pengasingan bersama ibu dan saudara saudarinya harap-harap cemas menantikan berita tentang Tuan Padi Raja.

Selain di Sidikkalang, mereka juga pernah bersembunyi di Paropo. Ini dalam rangka menghindari perburuan hingga ke keturunan Padi Raja. Tidak heran karena di masa revolusi sosial banyak keturunan raja yang jadi korban revolusi. “Selamat do ia han eksekusi,” lanjut Satya. Artinya, Padi Raja selamat dari eksekusi.

Setahun setelah diamankan TKR lewat persembunyian di rumah sakit, Padi Raja kembali tinggal bersama keluarga di Kabanjahe. Tanah Karo dianggap lebih aman karena banyak keluarga yang mengitari. Keluarga tidak kembali ke Nagasaribu, markas Kerajaan Silimakuta yang dianggap belum aman.

Berceritalah Padi Raja, bagaimana para raja yang sama-sama diamankan berusaha memperlihatkan sikap pro-kemerdekaan. Ancaman bagi para raja adalah persepsi bahwa mereka pro-Belanda. Di lokasi pengamanan itu juga ada para tengku. Saat aksi baris berbaris mereka berupaya menunjukkan diri sebagai nasionalis pro-kemerdekaan. Untuk itu mereka mengubah lirik lagu Padang berjudul “Kampuang Nan Jauh di Mato”.
Kampung yang nan terasing
Di kota Berastagi
Di seberang Bukit Gundaling
Untuk melatih diri
Tiap hari, berdoa, Indonesia aman sentosa
Untuk kedaulatan bangsa aku
Marilah kita bersatu
Tuan Padi Raja masih lebih beruntung ditahan dekat tempat tinggalnya. Hal ini membuat keluarga kerap bisa mengunjungi sembari membawa makanan. Para tengku dengan jumlah yang lebih banyak tak leluasa mendapatkan kunjungan dari sanak keluarga. Mereka sering kelaparan dan kadang menengadahkan mangkok pada setiap pengunjung yang membawa makanan.

“Saya masih ingat Amang berpesan. Ambia, lang holan au mangan da, berehon homa bani tengku-tengku ai,” demikian Padi Raja berpesan pada putra-putri dan istri saat berkunjung. “Karena itu setiap kali kami berkjunjung konsumsi dibawa lebih untuk satu orang,” kata Satya.

Lagi, saat kembali tinggal bersama keluarga mengira keadaan akan aman total. Kenyataannya tidak. Belanda datang lagi untuk merebut RI, yang jelas-jelas sudah merdeka. Hal ini mencuatkan lagi kekhawatiran para laskar revolusi bahwa para raja yang masih hidup, walau kekuasaan sudah punah, akan mendukung Belanda. Keputusan tinggal sementara di Kabanjahe pun ternyata salah.

Di Kabanjahe banyak beredar laskar-laskar yang pernah mengeksekusi para raja. Begitu Belanda masuk lagi, laskar-laskar menahan lagi para raja termasuk Padi Raja. Dia kemudian diinternir atau ditahan lagi di Berastagi. Alasan penahanan adalah Padi Raja diduga akan lebih pro-Belanda ketimbang RI. Dia pun dituduh telak sebagai pengkhianat RI.

“Saya bukan pengkhianat, saya pro-kemerdekaan. Anak-anak saya juga pro-kemerdekaan,” demikian Padi Raja menjawab tuduhan para laskar seperti dituturkan kembali oleh putranya. Satya mengetahui ini karena saat Padi Raja ditahan, sesekali keluarga kembali diberi kesempatan membawa sajian makanan saat berkunjung.

Pada saat ini Padi Raja memang menekankan lagi untuk tidak pernah mendukung Belanda tetapi pro-kemerdekaan. Akan tetapi pembelaan verbal Padi Raja tak mempan. Dia terus dicecar dengan tuduhan serupa. “Saya pro-kemerdekaan, apa pun tuduhan kalian. Jika memang harus mati karena tuduhan itu, saya rela, tetapi tetap saya nyatakan bahwa saya pro-kemerdekaan.”

Selanjutnya keluarga tidak tahu apa lagi yang terjadi. Kemudian mereka hanya mengetahui bahwa Padi Raja telah diseksekusi dan jenazahnya dibuang di sungai Lau Dah dari atas jembatan.

Keluarga mengetahui ini saat keamanan telah kembali terasa di RI. Saat aman, pengusutan terhadap para pelaku pembantaian anggota kerajaan pun dilakukan. Hasil pengusutan oleh kejaksaan RI menemukan siapa pelaku eksekusi.

Setelah itu proses pengadilan di Pematang Siantar digelar di awal dekade 1950-an. Saat ini gejolak revolusi sosial sudah berakhir dan Belanda benar-benar sudah hengkang.

Si tersangka pengeksekusi Padi Raja mereka lihat duduk di ruang sidang. Dari situlah ketahuan kisah tentang pembunuhan Padi Raja sekaligus informasi bahwa jasadnya dibuang ke sungai di Lau Dah dan mengalir entah kemana.

Lalu hakim bertanya pada keluarga. "Bagaimana sikap keluarga terhadap si tersangka pembunuh Padi Raja?"

Kontauhur, istri Padi Raja menjawab, “Bapa hakim, kami sudah memasrahkan keadaan. Kami diajarkan agama untuk memberi maaf. Kami maafkan si pelaku.”

Putra-putri Kontauhur juga di hadapan hakim memberi pernyataan serupa. “Pak Hakim, di sini ada putra-putri saya, dan silahkan tanya mereka. Saya yakin mereka sependapat dengan saya. Anak-anak ku pun tidak dendam,” kata Satya mengenang penuturan ibudanya di pengadilan masa silam itu. “Inang memang telah memutuskan dan menegaskan serta memohon kepada kami agar memaafkan saja semuanya.”

Si pelaku tidak mereka kenal walau mereka lihat. Keluarga juga paham bahwa itu semua adalah keadaan di zaman yang sedang bergolak. “Dalam pandangan keluarga, belum tentu si pelaku eksekusi tahu siapa itu Amang (Padi Raja). Keluarga memang memutuskan, ya sudahlah lebih bagus dimaafkan dan melihat saja ke depan. Inang pun telah menekankan kepada kami pandangan demikian. Nyawa amang pun sudah tidak mungkin lagi dikembalikan.”

Keluarga Padi Raja tidak menyajikan banyak kisah sedih karena mungkin kepasrahan sudah menjadi pegangan mereka mengingat raja-raja lain sudah ada yang wafat sebelumnya karena dieksekusi. Kepasrahan melanda segenap keluarga. Mereka pun tidak sendirian dengan kisah serupa itu.
Kisah Padi Raja kemudian mereka jadikan sebagai pendorong perjuangan. Ketakutan tidak bisa mengungkung perjalanan hidup.

Setelah semuanya berlalu, Satya memiliki sebuah keyakinan hidup di usianya yang ke-79. "Kebenaran hakiki. Tuhan itu baik, kita rasakan hikmah dari sikap memaafkan semua kejadian pahit itu," kata Satya yang bertahun menjadi ekskeutif di Perkebunan di Sumuatera Utara hingga Pontianak.
Satya bersyukur dengan apa yang telah dia lalui dan dia dapatkan. Secara rata-rata dia di atas status sosial ekonomi orang kebanyakan. "Iya, malas uhur, holong uhur ni Tuhan."(Simon Saragih)

Berita Lainnya

Post a Comment

0 Comments