Siti Omas |
Sama seperti Marienta, Siti Omas yang sudah berusia 84 tahun meneteskan air matanya. Dia pun masih mengingat kuat kenangan saat menjadi penyanyi besar di Na Laingan. Memorinya yang sudah mulai pudar di usia 84 tahun mendadak pulih dan semangatnya menyembur saat berbicara tentang masa lalu Na Laingan.
Akan tetapi Siti Omas unik. Dia kritis pada Taralamsyah yang sering dia panggil dengan julukan, “bapak”. Sikap kritisnya didasarkan pada sambutan dan sanjungan para warga lintas suku pada Na Laingan berkat sentuhan kuat Taralamsyah. Dia pun sangat kritis karena Taralamsyah akhirnya meninggalkan daerahnya yang indah dan membanggakan, dalam istilah Siti Omas.
Taralamsyah pergi, maka punahlah kejayaan Na Laingan dan punah pula kesadaran tentang Simalungun. “Saya sangat menyesalkan kepergiannya ke Jambi. Saya marah dan saya sengaja tidak datang ke rumahnya saat dia pergi. Saya pun tidak tahu kapan dia pergi,” kata Siti Omas.
“Namun sebelum dia pergi, saya sudah mencoba menahannya. Bapak, mengapa harus kau tinggalkan daerahmu yang indah ini? Demikian saya pernah bermohon padanya. Akan tetapi Bapak Taralamsyah mengatakan ‘saya hanya pergi sementara,’” kata Siti Omas.
Memang benar, penghargaan kepadanya kurang. Memang benar, seharusnya dengan perannya yang luar biasa, sebagai pencipta lagu, penata tari dan ahli budayawan Simalungun, dia harus mendapatkan lebih. “Saya paham itu.”
Namun demikian untuk apa penghargaan, jika tak kunjung datang. “Toh kita bisa hidup sederhana walau tidak dapat penghargaan. Kalau soal makan, pastilah bisa makan. Na Laingan bisa kok memberi makan. Terkenal lah memang Na Laingan di tangannya.”
“Saya melihat Na Laingan luar biasa. Na Laingan sangat sibuk tampil dimana-mana. Setiap kali ada tamu luar negeri, Na Laingan selalu dipakai untuk menyambut karena ada tor-tor sombah-nya,” ujar Siti Omas.
Na Laingan juga punya personel yang bisa berbahasa Inggris dan penampilan mereka komplit dengan aneka jenis lagu. “Memang hebatlah Na Laingan,” kata Siti Omas sembari meneteskan air mata.
Mengapa menangis? “Karena gembira, mengingat masa lalu. Gembira karena ternyata ada yang masih berminat bertanya-tanya tentang Na Laingan. Dan gembira karena terkenang kembali kehebatan faktual Simalungun lewat Na Laingan.”
Itulah yang saya sesalkan dengan Bapak Taralamsyah. “Setelah dia pergi, hilanglah semuanya. Itulah penyesalan saya terhadapnya. Orang yang sangat hebat, orang yang saya kagumi tega pergi. Bagi saya sendiri pun, dengan perginya Taralamsyah, ya sudah, hilanglah antusiasme saya. Bagi saya, hanya Taralamsyah kok yang perlu.”
"Saya berharap sama Simalungun? Ya susah? Ma lungun ma lalap Simalungun on. Anggo adong Simalungun na maju, susah do araphonon. Simalungun on ikkon i atas do lalap agep itoruh do ia."
Dia kritis tetapi itu karena dia rindu pada Taralamsyah dan kebesaran serta kehebatannya. Ini diawali dari perkenalannya sejak dia usia 5 tahun. Awal perkenalannya adalah dengan Umansyah, juga keluarga dari Taralamsyah dan sama-sama jago musik.
Awalnya karena rumah tinggal mereka berdekatan di Pematang, Pematang Siantar. Hal itu membuat mereka semakin didekatkan. Siti Omas sejak kecil sudah dikenal dengan suaranya yang bagus setidaknya oleh lingkungan. Umansyah dan Taralamsyah sudah menangkap bakatnya. Karena itu dia sering dipanggil untuk bernyanyi. “Kalau saya tidak mau, saya dimarahi,” katanya mengingat masa lalu.
Siti Omas berbakat menyanyi dan sepertinya tidak ada yang bisa menghentikannya termasuk ibunya. Dia suka dimarahi ibunya karena memperlihatkan bakat seni. “Saya sering decubiti ibu bahkan sering diledek akan menjadi remaja yang salah jalan atau salah sarah. Ibu saya sering meledek saya akan kehidupan liar dan asusila jika terus terlibat seni musik,” kata Siti Omas.
Dia menyatakan dengan tegas bakatnya pada musik sebagai sesuatu yang murni dari dirinya serta bakat itu akan berlangsung abadi sepanjang hidupnya. “Saya sudah berpikiran bahwa saya tidak akan pernah lupa pada music.”
Tidak ada yang bisa menghentikannya Siti Omas demi bakatnya. Tidak juga ia terhalangi ketika ibunya menggunting bajunya untuk tampil di pentas. “Ibu saya memang unik, selalu melarang. DI sisi lain ayah saya selalu mendukung dan balik memarahi ibu saya jika saya dilarang bernyanyi.”
Namun demikian ibunya konstan melarangnya, dan konstan pula ia mengelabui ibunya demi dia bisa berekspresi dengan bakatnya. Hal itulah yang membuat dia mau berlatih dengan Umanyah dan Taralamsyah. “Saya memang mereka bimbing,” kata Siti Omas kelahiran tahun 1930.
Akan tetapi seiring dengan perjalanan waktu mereka terpaksa berpisah. Siti Omas harus melanjutkan pendidikan ke SGA (Sekolah Guru Atas) dan membawanya ke profesi sebagai guru. Kemudian dia ditempatkan di Medan sebagai guru pegawai negeri.
Karena bakatnya kental, Siti Omas terus bernanyi. Jenis lagu yang dia dalami adalah musik keroncong. Dalam setiap lomba lagu keroncong di RRI Medan dan juga TVRI dia selalu dapat predikat juara atau masuk tiga besar. Hal ini terus dia geluti hingga menikah. “Pernah saya diusulkan mengikuti lomba lagu keroncong nasional ke Jakarta tetapi urung karena saya sudah mempunyai anak satu,” katanya.
Suaminya turut mendukung bakatnya. Namun dia memahami perannya sebagai guru dan sebagai ibu. “Sebenarnya saya berkembang di lagu keroncong dan sudah sering manggung. Saya mendapatkan banyak uang dan sering dipanggil tampil untuk menghibur.”
Siti Omas sudah menyanyi sejak 1935 dan fokus utamanya adalah gender keroncong. Lalu pada 1959 Na Laingan dibentuk. Saat inilah Umansyah dan Taralamsyah, tokoh utama Na Laingan mengingat Siti Omas dan bakatnya. Mereka berdua pun mencari-cari Siti Omas.
Menna, yang pernah juga tinggal di Pematang dan mengenal Siti Omas tahu alamatnya Siti Omas. Menna adalah personal Na Laingan juga. Lalu Menna memanggil Siti Omas. “Begitu ketemu kembali setelah sempat lama tak bertemu, saya langsung memeluk Bapak Taralamsyah dan Umansyah.”
“Ai handia do ho sadokah on?”demikian Taralamsyah menyapa Siti Omas, yang dia tuturkan kembali. “Saya memang kagum pada Taralamsyah dan bakatnya.”
Jadilah dia tampil sebagai penyanyi Na Laingan. “Namun sebelum Na Laingan ada saya memang sudah malang melintang di dunia hiburan. Istilahnya tanpa Na Laingan saya memang sudah menjadi penyanyi yang banyak diundang.”
Akan tetapi dia akui, menyanyi di Na Laingan membuatnya semakin bangga. Dia memang sudah terkenal di kota Medan. Akan tetapi menyanyi di Na Laingan membuatnya lebih merasa kena. Masalahnya, ada misi budaya dan etnis Simalungun yang terangkat dengan tampil di Na Laingan walau orkes ini juga sering menampilkan genre lain di luar Simalungun. (Simon Saragih)
0 Comments