SENG SONAI, SARUPA DO NAMIN HITA
*
"Sir!
Demikian orang Inggris memanggil para ningratnya.
"Your Highness!"
Demikian Inggris memanggil Ratunya.
"Janami!"
Demikian para Simalungun dulu memanggil rajanya.
"Tuan Nami!"
Demikian rakyat dulu terbiasa memanggil atau menyapa para keturunan raja.
"Tuan Nami! Itu juga sapaan yang sering didengar Taralamsyah.
"Seng sonai, sarupa do namin hita, rakyat biasa!" demikian Taralamsyah selalu menjawab orang yang memanggilnya "Tuan" karena dia memang keturunan Raja Raya, Tuan Sumayan.
Ini bukan basa-basi atau sekadar penyejuk bagi orang yang berkomunikasi dengannya. Di setiap tulisan tangannya, memang tidak pernah terlihat imbuhan kata "Tuan" di depan namanya.
Jangankan "Tuan" dia pun langsung menuliskan namanya dengan "Taralamsyah Saragih" bukan "Taralamsyah Garingging". Dia ingin menyatu membaur bersama umum. Tutur kata dan kalimat-kalimatnya yang ditulis sendiri tidak pernah terlihat niat meninggikan statusnya sebagai ningrat Simalungun.
Jangan berharap Taralamsyah meninggalkan memoar pribadi tentang dirinya. Dia tidak menganggap dirinya penting. Dia hanya ingin berkarya dan mencoba melestarikannya. Kisahnya, bagi Taralamsyah, tidak lebih penting dari kisah tentang perjalanan budaya, sejarah Garingging dan bahkan sejarah para raja raya hingga sedikit kisah detail soal Rondahaim yang dia torehkan.
Di dalam rumahnya sendiri pun Taralamsyah membiasakan hal serupa itu, yakni kesederhanaan dan kesahajaan. Dia tak berhasil tetapi tak pernah berhenti dia berupaya. Di rumahnya, Taralamsyah, Edy, Ucok dan Syahrizal selalu makan duluan di meja. Ini meniru kebiasaan di keluarga kerajaan.
Taralamsyah meminta istrinya Siti Mayun Siregar agar berhenti marajakannya dan anak-anak lelakinya di rumah. Dasar istri setia dan penurut, Siti Mayun sungguh ingin melanjutkan tradisi kerajaan, yang sudah dia pelajari dan dia terima sebagai konsekuensi pernikahan dengan putra seorang raja. Bukan hanya itu, Siti Mayun pun menjadi pintar "marsahap Simalungun".
Akan tetapi Taralamsyah tak berhenti meminta istrinya agar memperlakukan dia secara biasa-biasa saja. Tetap saja Siti Mayun menajlankannya dalam nama cinta pada suami dan keluarga.
Sejoli ini pun di mata putra-putrinya menjaga keharmonisan. Walau pun misalnya ada bentrok kecil-kecilan yang orang lain mungkin tidak tahu, sejoli ini akan menutupinya dari penglihatan para putra dan putrinya. "Unang marbadai, unang ribut," demikian Taralamsyah sering terdengar di telinga para putrinya, yang lebih banyak menghabiskan waktu bersamanya.
Walau dia pluralis dan nasionalis tulen, jangan kira dia telah kehilangan ahap Simalungun. Tinggal di Jambi tak membuatnya "hilang". Dia mengharapkan putra-putrinya berjodohkan Simalungun, walau luput, kecuali Edy Taralamsyah yang marboru Purba.
Taralamsyah bahkan seperti sempat mandele ketika sempat tak satupun putra-putrinya berjodohkan SImalungun. Dia dekat dan akrab dengan para menantu dan semuanya non-Simalungun. Hanya saja naluriahnya menginginkan setidaknya salah satu berjodohkan Simalungun.
Ketika Edy berhasil memenuhinya, Taralamsyah senang luar biasa. Kepada si Boru Purba, istrinya Edy, Taralamsyah menceritakan semua hal tentang seni budaya Simalungun. Putra-putrinya bukan lupa Simalungun tetapi nilai lebih si Boru Purba yang tumbuh dari lingkungan Simalungun lebih mudah pula mencerna ke-Simalungunan.
Kecuali impiannya tentang kebangkitan Simalungun dan penghargaan dari Simalungun yang luput, Taralamsyah telah mengakhiri perjalanan hidupnya dengan indah.
Di malam menjelang wafatnya atau tiga jam sebelum nafasnya terakhir, secara kebetulan stasiun televisi RCTI menyiarkan lagu "Parsirangan" dengan salah satu penggalan lirik, "Misir ma ham".
Raut wajahnya tersenyum meski tak bisa leluasa bersuara akibat asma-nya yang sedang kumat.
Alam pun seperti menyambutnya berupa suara berisik bahkan tergolong keras mengangetkan, ketika segerombolan burung layang-layang bertumpuk mengeluarkan suara menderu di dekat kamarnya di rumah sakit. "Ai aha do ai," demikian Taralamsyah menanyakan suara gaduh itu.
Sekitar jam 11 malam, dia pun menghembuskan nafasnya di medioa Februari 1992 lalu.
Requiescat in pace, Taralamasyah.(Simon Saragih)
*
"Sir!
Demikian orang Inggris memanggil para ningratnya.
"Your Highness!"
Demikian Inggris memanggil Ratunya.
"Janami!"
Demikian para Simalungun dulu memanggil rajanya.
"Tuan Nami!"
Demikian rakyat dulu terbiasa memanggil atau menyapa para keturunan raja.
"Tuan Nami! Itu juga sapaan yang sering didengar Taralamsyah.
"Seng sonai, sarupa do namin hita, rakyat biasa!" demikian Taralamsyah selalu menjawab orang yang memanggilnya "Tuan" karena dia memang keturunan Raja Raya, Tuan Sumayan.
Ini bukan basa-basi atau sekadar penyejuk bagi orang yang berkomunikasi dengannya. Di setiap tulisan tangannya, memang tidak pernah terlihat imbuhan kata "Tuan" di depan namanya.
Jangankan "Tuan" dia pun langsung menuliskan namanya dengan "Taralamsyah Saragih" bukan "Taralamsyah Garingging". Dia ingin menyatu membaur bersama umum. Tutur kata dan kalimat-kalimatnya yang ditulis sendiri tidak pernah terlihat niat meninggikan statusnya sebagai ningrat Simalungun.
Jangan berharap Taralamsyah meninggalkan memoar pribadi tentang dirinya. Dia tidak menganggap dirinya penting. Dia hanya ingin berkarya dan mencoba melestarikannya. Kisahnya, bagi Taralamsyah, tidak lebih penting dari kisah tentang perjalanan budaya, sejarah Garingging dan bahkan sejarah para raja raya hingga sedikit kisah detail soal Rondahaim yang dia torehkan.
Di dalam rumahnya sendiri pun Taralamsyah membiasakan hal serupa itu, yakni kesederhanaan dan kesahajaan. Dia tak berhasil tetapi tak pernah berhenti dia berupaya. Di rumahnya, Taralamsyah, Edy, Ucok dan Syahrizal selalu makan duluan di meja. Ini meniru kebiasaan di keluarga kerajaan.
Taralamsyah meminta istrinya Siti Mayun Siregar agar berhenti marajakannya dan anak-anak lelakinya di rumah. Dasar istri setia dan penurut, Siti Mayun sungguh ingin melanjutkan tradisi kerajaan, yang sudah dia pelajari dan dia terima sebagai konsekuensi pernikahan dengan putra seorang raja. Bukan hanya itu, Siti Mayun pun menjadi pintar "marsahap Simalungun".
Akan tetapi Taralamsyah tak berhenti meminta istrinya agar memperlakukan dia secara biasa-biasa saja. Tetap saja Siti Mayun menajlankannya dalam nama cinta pada suami dan keluarga.
Sejoli ini pun di mata putra-putrinya menjaga keharmonisan. Walau pun misalnya ada bentrok kecil-kecilan yang orang lain mungkin tidak tahu, sejoli ini akan menutupinya dari penglihatan para putra dan putrinya. "Unang marbadai, unang ribut," demikian Taralamsyah sering terdengar di telinga para putrinya, yang lebih banyak menghabiskan waktu bersamanya.
Walau dia pluralis dan nasionalis tulen, jangan kira dia telah kehilangan ahap Simalungun. Tinggal di Jambi tak membuatnya "hilang". Dia mengharapkan putra-putrinya berjodohkan Simalungun, walau luput, kecuali Edy Taralamsyah yang marboru Purba.
Taralamsyah bahkan seperti sempat mandele ketika sempat tak satupun putra-putrinya berjodohkan SImalungun. Dia dekat dan akrab dengan para menantu dan semuanya non-Simalungun. Hanya saja naluriahnya menginginkan setidaknya salah satu berjodohkan Simalungun.
Ketika Edy berhasil memenuhinya, Taralamsyah senang luar biasa. Kepada si Boru Purba, istrinya Edy, Taralamsyah menceritakan semua hal tentang seni budaya Simalungun. Putra-putrinya bukan lupa Simalungun tetapi nilai lebih si Boru Purba yang tumbuh dari lingkungan Simalungun lebih mudah pula mencerna ke-Simalungunan.
Kecuali impiannya tentang kebangkitan Simalungun dan penghargaan dari Simalungun yang luput, Taralamsyah telah mengakhiri perjalanan hidupnya dengan indah.
Di malam menjelang wafatnya atau tiga jam sebelum nafasnya terakhir, secara kebetulan stasiun televisi RCTI menyiarkan lagu "Parsirangan" dengan salah satu penggalan lirik, "Misir ma ham".
Raut wajahnya tersenyum meski tak bisa leluasa bersuara akibat asma-nya yang sedang kumat.
Alam pun seperti menyambutnya berupa suara berisik bahkan tergolong keras mengangetkan, ketika segerombolan burung layang-layang bertumpuk mengeluarkan suara menderu di dekat kamarnya di rumah sakit. "Ai aha do ai," demikian Taralamsyah menanyakan suara gaduh itu.
Sekitar jam 11 malam, dia pun menghembuskan nafasnya di medioa Februari 1992 lalu.
Requiescat in pace, Taralamasyah.(Simon Saragih)
0 Comments