Lomba Tarian Simalungun "Tolu Sahundulan Lima Saodoran" ASM GKPS Jambi di GKPS Jambi, Minggu 1 Juni 2014. Acara ini dalam rangka Pesta Sekolah Minggu GKPS yang akan dirakayan Minggu 8 Juni 2014. Foto Asenk Lee Saragih. |
Oleh David E. Purba
Tak cukup seribu hari, seribu tahun berbincang-bincang pasal Hasimalungunonta –
tentang Simalungun kita. Lahir sebagai orang Simalungun atau lahir di
bumi Simalungun adalah merupakan berkah, kenyataan hidup, keniscayaan
yang harus disyukuri, dilakoni. Malas uhur – patut bersukacita.
Sekali
lagi, izinkan saya menafsirkan makna Hasimalungunan sebagai hasil
permenungan dan sebuah refleksi diri. Apakah yang ingin saya patongahkon – sajikan? Ya, sekali lagi tentang lembaga Tolu Sahundulan Lima Saodoran - lembaga Tohunlidoran.
Kemarin, dalam tulisan saya yang berjudul, Hita Do Sijolom Suhul Ni Pisou – Sipukkah Huta, Peran Halak Simalungun sebagai Pewarih Budaya Tempatan, ternyata mendapat respon yang sangat berarti. Dari sambutan Sanina dan Botu, saya berkesimpulan, sekali lagi saya merasa perlu me-reintrepretasi makna dan fungsi lembaga Tohunlidoran ini. Semoga bermanfaat…
Lembaga Tohunlidoran sebagai ‘Inti Sel’ Otogetar…
Bagi saya lembaga Tohunlidoran merupakan inti sel bermakna Otogetar. Apa pula makna otogetar ini? Kenapa saya memperkenalkan istilah ini? Karena ‘kata’ tersebut kurang lebih mewakili pemahaman saya yang bermakna: inti,
sumber yang selalu menggetarkan, menggerakkan, sebagai tenaga pencipta,
pemelihara dan pendaur ulang kehidupan berkebudayaan Simalungun dalam mengarungi zaman. Ia
(lembaga Tohunlidoran) berada di dalam, di pusat kebudayaan, budaya itu
sendiri. Yang keberadaannya bila berhenti, maka matilah kebudayaan dan
peradaban suku Simalungun.
Kok bisa begitu? Ini hanya asumsi saya, dan keyakinan saya. Ibarat suatu sel, ia memiliki ‘inti’, yang berisi blueprint, memori sistem pengetahuan, sistem nilai yang hendak diwujudkan dalam tatanan kebudayaan kita – Simalungun.
Lalu di Manakah Keberadaannya?
Nah jika ditanya; di manakah keberadaan Lembaga Tohunlidoran yang Otogerak itu?
Jika merujuk pada seorang individu, maka ‘ia’ adalah seseorang yang
memiliki kualitas mumpuni, yang patut diteladani, mampu menginspirasi
dan memimpin. Seperti yang saya gambarkan pada tulisan sebelumnya,
ciri-ciri mereka adalah: “HIDUPNYA
TELAH DIDEDIKASIKAN UNTUK MELAYANI MANUSIA YANG HIDUP DI PERTIBI
SIMALUNGUN (TANPA MEMANDANG ASAL USUL DAN LATAR BELAKANG) DAN
ALAM/LINGKUNGAN SIMALUNGUN. Merekalah yang pantas disebut Pemangku Adat Simalungun itu, karena mereka hidup untuk semua orang, meskipun jati diri mereka sebagai Halak Simalungun.”
Mereka lah bibitnya, mereka lah yang pantas disebut seorang Budayawan,
seorang yang berbudi. Meski jumlah mereka tidak akan selalu banyak,
bahkan akan terasa sangat sulit menemukannya. Setidaknya kita mengetahui
ciri-ciri orang yang bisa menginspirasi itu.
Selanjutnya saya hendak menunjuk di manakah keberadaan wujud ‘nya’ sebagai lembaga?
Nah,
ini yang menjadi persoalan besar kita. Sudah adakah lembaga semacam
itu? Sudah terbentukkah? Atau perlu dibentuk lagi? Atau ada pemikiran
lain?
Hmm…
karena ini merupakan opini saya dan sifatnya subjektif, maka saya akan
mengambil kesimpulan sementara, bahwa lembaga seperti itu belum ada!
Setidaknya belum ada yang memerankannya berdasarkan fungsi sesuai dengan
filosofinya, sejatinya – setidaknya.
Lembaga Tohunlidoran itu MASIH harus kita bidani – lembaga otogetar
itu. Darinya lah sumber getar yang akan bertahan sepanjang masa karena
ia berasal dari Budhi – mind yang sudah terfurifikasi (bebas dari hawa
nafsu rendahan), sifatnya shreya
(memuliakan), selaras dengan alam dan semesta. Lembaga Tohunlidoran
yang bersifat otogetar inilah yang memungkinkan budaya dan kebudayaan
Simalungun mampu bertahan sepanjang masa untuk mempertahankan
keberadaannya menembus polemik tentang kebudayaan dan kemajuan zaman
berikut dampak negatifnya. Lembaga Tohunlidoran yang otogerak
ini pulalah yang akan menjadi pelindung ‘Kekhasan Halak Simalungun’,
‘Kepentingan Halak Simalungun’, ‘Budaya dan Kebudayaan Simalungun’.
Kesimpulan Awal…
Jadi
sampai di sini, saya ingin terang dahulu untuk melihat siapa dan di
mana keberadaannya. Jika ada yang bertanya, siapa mereka, maka
jawabannya telah saya gambarkan di atas. Lalu jika pertanyaannya di mana
lembaga itu kini, maka jawaban sementara saya ‘harus’ kita bidani dulu, meski fungsi lembaga Tolu Sahundulan Lima Saodoran itu toh masih tetap bertahan di setiap horja – kegiatan adat isitiadat dalam lingkup kecil yang sporadis tidak terintegrasi. Mereka memang masih eksis menjalankan fungsinya sesuai dengan namanya (dalam skala keluarga batih – sebuah keluarga utuh).
Namun
sebagai lembaga resmi yang terintegrasi atas nama Masyarakat Hukum Adat
Simalungun (budaya Simalungun) dengan pemahaman baru dan sebagai payung
bersama Halak Simalungun, penduduk Kabupaten Simalungun, Kotamadya
Pematang Siantar dan daerah yang dulu dipukkah Halak Simalungun namun
masuk ke wilayah administratif daerah lain, maka, lembaga itu mesti kita AKTIVASI dului. Kita sangat membutuhkannya!
Sekali Lagi Masih tentang Makna dan Fungsi Lembaga Tohunlidoran
(Tolu Sahundulan Lima Saodoran)
Lembaga inilah yang menjadi ‘Dapur’ juru masak kebudayaan Simalungun
setiap waktu, setiap situasi. Dari mereka lah akan tersaji kreasi baru,
inovasi baru kebudayaan yang selalu mengusung, sifat Hasimalungunan.
Tanpa mereka, kebudayaan dan budaya Simalungun akan mati suri, terkesan
hidup namun tanpa roh, ada namun hanya bersifat seremoni belaka.
Sampai di sini, pertanyaan siapa mereka dan di mana keberadaannya buat sementara sudah terjawab. Intinya adalah mendesaknya aktivasi lembaga Tohunlidoran!
Karena Tohunlidoran pada hakekatnya merupakan Rumah Bersama
– bagi setiap organisasi Hasimalungunon; Payung Bersama – yang
mengayomi semua organisasi Hasimalungunon; Benang Merah – yang
merangkai, mempersatukan semua butir-butir organisasi Hasimalungunon
dengan alam dan sesama manusia secara harmonis.
Peran, Kedudukan dan Fungsi Lembaga Tohunlidoran
Marilah kita sepakati dahulu ‘peran’ eksternal lembaga Tohunlidoran sebagai: rumah
bersama; payung bersama; benang merah; partongah; partuha; budayawan;
pembentuk; perancang; pemomong/ parorot; pelindung; pemimpin; nurani budaya dan kebudayaan Simalungun yang berkenan dengan Halak Simalungun atau Namarahap Simalungun.
Ada 3 kedudukan utama, dasar dari lembaga Tohunlidoran seperti yang sudah kita ketahui; Tondong, Sanina, Anak Boru
(ini wajib terdapat dalam huta berbenteng dahulu). Sekarang bentuk huta
seperti itu tidak ada lagi. Yang ada sekarang adalah bentuk Rukun
Tangga dan Rukun Warga (RT/RW), dan terutuma keberadaan partuanon atau
keturunan raja-raja pasca kemerdekaan masih berusaha menemukan perannya
dalam kebudayaan Simalungun kini, padahal dahulu mereka memainkan peran
yang sangat signifikan membantu para kaum brahmana-parhabonaron/para
datu.
Mari kita simak lagi, bahwa ke-3 kedudukan dasar tersebut kemudian berkembang menjadi 5 kedudukan/posisi (ciri Simalungun):
1. Tondong (Paman)
2. Sanina (Saudara)
3. Suhut (Tuan Rumah) – yang menjadi titik sentral suatu horja adat
4. Anak Boru Jabu (Ipar kandung, menantu dan panogolan, kemanakan)
5. Anak Boru Mintori ( Ipar-nya Ipar)
Kelima kedudukan ini akan selalu terdapat dalam horja-horja adat (kegiatan adat Simalungun) dengan titik sentral sebuah keluarga batih (Suhut) yang hendak melakukan sebuah horja adat. Artinya setiap keluarga batih – dari 4 marga utama Simalungun: Purba (Girsang), Damanik, Sinaga dan Saragih, maka kelima unsur itu akan selalu terdapat sehingga sah dan sempurnalah unsur-unsur pelaksananya.
Nah,
apa yang hendak saya tekankan di sini adalah adanya 3 fungsi utama yang
terdapat dalam 3 atau 5 kedudukan itu – sejatinya terdiri dari:
- Adanya fungsi untuk ‘Mencipta’ – Brahma sebagai Eksekutif
- Adanya fungsi untuk ‘Memelihara’ – Wishnu sebagai Legislatif
- Adanya fungsi untuk ‘Mendaur ulang’ – Siva sebagai Yudikatif
Inilah yang disebut Trimurti itu. Bahwa alam semesta ini diadakan dari yang tidak ada menjadi ada oleh ketiga fungsi tersebut.
Mari kita kutip sebuah buku yang membahas ketiga fungsi atau sering juga orang-orang menyebutnya 3 peran tersebut, “Aspek
mencipta, kemudian dikaitkan dengan pengetahuan, kreatifitas,
kebijaksanaan dan sebagainya. Aspek memelihara berkaitan dengan kasih,
kesejahteraan, kepedulian dan sebagainya. Aspek mendaur ulang berkaitan
dengan pemurnian, pembersihan, kesucian dan sebagainya,” dikutip dari Rahasia Alam Alam Rahasia, Seni Hidup Harmonis Alami, oleh Anand Krishna, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2003, hal. 224.
Sesungguhnya, nama ketiga Dewa Utama (Naibata Na Bolon) tersebut jika ditelusuri dalam Mitologi Simalungun akan ditemukan.
Intinya
ketiga fungsi utama tersebut merupakan ‘penopang’ kehidupan manusia
Simalungun agar terwujud hidup yang harmoni dengan alam, sesama manusia
dan dengan Ia Hyang Tunggal (Habonaron). Jika salah satu fungsi itu
stagnan, berhenti, maka ketidakseimbangan akan terjadi.
Darimanakah
berasal pemahaman ini, sehingga saya menyimpulkkannya demikian? Menurut
pemahaman saya, apa yang disebut Suku Simalungun itu, dahulunya juga
disebut PEWARIH, BAGIAN dari kebudayaan Sindhu, Hindu, Sunda (peradaban Sindhu dimulai dari Kandahar (Afganistan kini) hingga ke Nusantara.
Apakah sesederhana itu? Ya.
Bukan itu saja. Sebab ‘Ajaran Batara Guru’
juga dimiliki, dihayati oleh Leluhur Halak Simalungun (bahkan ada Gual
untuk Batara Guru). Meski tulisan tentang ajaran Batara Guru di
Simalungun yang tertulis di Laklak belum kita temukan secara detil.
Selanjutnya bukti lainnya adalah nama-nama bulan/satuan waktu juga mirip
dan hampir persis sama dengan nama-nama yang terdapat dalam bahasa
Sansekerta – hal ini boleh kita ketahui di berbagai buku-buku sejarah
Simalungun. Bentuk yantra – pinar – yang terdapat di Simalungun juga mirip dan persis sama seperti yang terdapat
dalam kitab-kitab apa yang disebut ‘agama’ Hindu sekarang. Dan masih
banyak bukti-bukti kemiripan lainnya. Beberapa kata kuno Simalungun juga
berasal dari Sansekerta. Jelasnya, dahulu kala, bahasa Sansekerta telah
menjadi bahasa ‘internasional’ di kawasan Peradaban Sindhu, Hindu,
Sunda – terutama dalam ajaran spiritual. Degradasi cara penggunaannya
pun telah terjadi.
Anehnya,
apa yang dinamakan warisan peradaban Sindhu, Hindu, Sunda itu kini
telah berubah menjadi ‘agama’ Hindu sekarang – meski masih banyak
daerah, kabuyutan yang tetap bertahan dengan kekhasannya, menjadi ‘Agama Asal’.
Perlu kita pahami makna ‘agama’ Hindu sekarang sangat berbeda secara
substansial dengan ‘makna’ peradaban Sindhu, Hindu, Sunda yang dahulu
(masalah ini lain kali kita bahas).
Jadi saya berangkat dari titik tolak, bahwa leluhur kita dahulu juga merupakan bagian dari PERADABAN Sindhu, Hindu, Sunda dalam artian luas – jadi legenda arus migrasi, tukar informasi, saling kunjung-mengunjungi itu adalah soal biasa! Jadi polemik apakah leluhur Simalungun adalah Hindu, saya lompati dahulu dengan keyakinan dan kesimpulan pribadi saya – Ya.
Situasi Kontekstual Hasimalungunan…
Kembali
ke 3 fungsi utama penopang kehidupan tersebut. Leluhur kita pun
membentuk sistem dan struktur masyarakatnya berdarkan ketiga fungsi
utama tersebut: Mencipta, Memelihara dan Mendaur Ulang. Jika dikontekstualkan, maka dalam masyarakat Simalungun, penjabaran lembaga Tohunlidoran itu akan terlihat jelas.
- Suhut (Tuan Rumah – titik sentral suatu horja) ditambah dengan Sanina (saudara dari Suhut – semarga); memiliki fungsi ‘pemelihara’ dalam suatu ikatan kekeluargaan (keluarga batih) sama seperti Wisnu yang berkaitan dengan aspek Cinta-kasih, kepedulian dan kesejahteraan. Dalam masyarakat kita, Suhut akan menjadi titik sentral pemelihara hubungan antara Tondong, Sanina dan Anak Boru Jabu dalam horja dan hubungan kekerabatan. Segitiga hubungan ini bertolak pada kedudukan sebuah keluarga batih (misal seorang marga Purba). Ia akan dibantu Borunya dalam melakukan horja di rumahnya dan Tondongnya akan berperan sebagai Penasehat – Pendaur Ulang dalam horja tersebut.
- Anak Boru Jabu ditambah dengan Anak Boru Mintori; memiliki fungsi sebagai ‘pelaksana, pencipta’. Fungsi Anak Boru dan Anak Boru Mintori bisa disamakan dengan Brahma yang mewakili aspek pengetahuan, kreatifitas dan kebijaksanaan dalam pelaksanaan suatu horja di rumah Suhut (misal, dari marga Purba tadi). Pengetahuan yang dimiliki Anak Boru Jabu sangat menentukan dalam pelaksanaan suatu horja, tanpa mereka suatu horja akan kacau, bila yang memerankan Anak Boru Jabu itu tidak mengusai tugas, fungsi dan perannya.
- Tondong memiliki fungsi sebagai ‘penasehat’, tempat bertanya – sisungkunan, partongah, partuha dalam suatu horja yang dilakukan sebuah keluarga batih (misal dari marga Purba tadi). Memperhatikan fungsinya, Tondong similar dengan fungsi dan peran Siva sebagai energi yang berhubungan dengan aspek mendaur ulang, berkaitan dengan pemurnian, pembersihan, kesucian dan sebagainya – memainkan peran Brahma/Parhabonaron di dalam keluarga batih dahulunya.
Sebelum menengok lebih dalam lagi, marilah kita sekilas mengingat sebuah istilah ‘magang’. Dahulu kala, ‘Huta Berbenteng’ tidaklah begitu mudah dibuka untuk sebuah keluarga baru. Tidak mudah.
Ada Prasyarat…
yang
harus dipenuhi, mulai dari letak geografis; posisi terdekat dengan
sebuah sungai dan bukit (sesuai dengan arah tertentu); dari segi
persyaratan standar pendirian bangunan, harus memiliki ketiga fungsi
tersebut (Suhut, Boru, Tondong), dan yang terpenting adalah ketiga kedudukan/posisi ‘pemula’ ini harus sudah ‘magang’ dahulu kepada mereka yang sudah dituakan di Huta Induk.
Si
‘Suhut’ magang terhadap saninanya yang sudah dituakan. Si Anak Boru
Jabu atau Anak Boru Mintori magang terhadap sanina mereka yang sudah
matang, dituakan. Lalu si calon Tondong yang akan ikut dalam sebuah huta
berbenteng juga harus magang terhadap saninanya yang sudah dituakan
juga – berilmu dan berpengetahuan. Demikianlah dahulu, ketiga fungsi itu
harus benar-benar belajar dan paham akan fungsi, peran dan
kedudukannya, baru diizinkan membuka Huta baru – sambil jalan akan
senantiasa diboboti.
Jadi kedudukan itu tidak langsung diterima saja tanpa berpengetahuan.
Jadi sejak dahulu proses belajar itu sudah diterapkan dimulai di dalam
sebuah huta berbenteng, dalam keseharian hidup, begitulah cara mereka
menjalani hidup berdasarkan ketiga fungsi utama itu – Kita namakan
hubungan itu SEGITIGA PENOPANG KEHIDUPAN atau TOLU SAHUNDULAN.
Lain Dahulu, Lain Sekarang
Sekarang
sistem dan struktur kemasyarakatan sebuah desa sudah berdasarkan sistem
RT dan RW yang heterogen. Setiap keluarga batih Halak Simalungun dalam
melakukan horja-horja adatnya akan senantiasa memiliki sanak keluarga
dari kampung atau desa terdekat. Pastilah berdasarkan pertalian darah
akan menemukan Tondong dan Anak Boru Jabunya.
Sejak
perubahan susunan kemasyarakatan, pasca kemerdekaan RI dan hubungan
dengan keturunan Partuanon dan Raja telah berubah, maka yang menjadi Ujung Tombak pemelihara pengetahuan horja-horja adat sampai sekarang adalah mereka para Anak Boru Jabu
dari setiap Keluarga Batih halak Simalungun. Di Simalungun hubungan
segitiga antara Suhut – Anak Boru Jabu – Tondong ini terikat oleh Hukum Keseimbangan.
Artinya, seorang Suhut, Anak Boru Jabu, Tondong (berdasarkan hubungan sebuah keluarga batih) masing-masing dari MEREKA, suatu ketika akan memerankan ketiga fungsi itu juga. Tidak ada kedudukan/posisi yang tetap, konstanta! Mangidah parhundulni do.
Di
sinilah keunikan sistem kekerabatan Tolu Sahundulan Lima Saodoran
(Tohunlidoran) Simalungun. Keseimbangan fungsi itu mengajarkan setiap
halak Simalungun untuk belajar memainkan ketiga fungsi tersebut, belajar
merasakan fungsi lainnya, belajar berempati, belajar menghormati satu
sama lain. Inilah hukum
kebersamaan, kesetaraan, kesejajaran – tidak ada istilah satu marga,
satu keluarga yang tertinggi di semua horja-horja di Simalungun. Hmmm… menarik sekali.
Pertanyaannya,
bagaimana dengan proses ‘magang’ itu? Proses pendidikan itu? Sehingga
setiap peran Suhut, Boru, Tondong itu memahami fungsi dan kedudukannya
secara budaya, dan adat? Apakah semua tanggung jawab ini diserahkan pada
‘kerelaan’, ‘kepedulian’, ‘kesadaran’ dari para Anak Boru Jabu dari
masing-masing keluarga batih yang terserak, terpencar tanpa koordinasi
itu?
Sementara payung para ‘Anak Boru Jabu’
itu di mana? Siapa? Sampai berapa lama kita mengandalkan ‘kerelaaan’
mereka menjalankan fungsi dan kedudukan mereka, tanpa ada lembaga ‘atas
nama Masyarakat Adat Simalungun’ yang memantau semua ini? Melindungi
semua ini? Memperhatikan semua ini? Ini tugas bersama kita!
Lalu
jika dahulu atas nama Halak Simalungun (kolektif) ada Lembaga
Musyawarah Tertinggi yang mengatur, memelihara, menyelesaikan konflik
antarsesama. Seperti yang terdapat, tergambar pada lembaga musyawarah ‘Dewan Harajaan’ dahulu yang dapat kita kutip dari penjelasan buku; Sejarah
Simalungun, oleh D. Kenan Purba, SH. & Drs. J. D. Purba, Penerbit
Bina Budaya Simalungun, Parsadaan Ni Purba Pakpak, Boru pakon Panogolan
se-Jabotabek, Jakarta, 1995, hal 10-12. “Dewan Harajaan terdiri dari: Guru Bolon, Raja, Tungkat (Urang Kaya), Gamot-gamot (Datuk Pamogang), dan Pangulu Dusun (Partuanon).”
Bandingkan juga dengan lembaga musyawarah kerajaan Simalungun dahulu; ‘Harungguan Bolon dan Karapatan Nabolon’,
pun unsur-unsur itu masih terdapat di dalamnya. Bahkan secara
bertingkat hingga ke wilayah terkecil pun akan kita temukan kelima
fungsi itu, (baca buku; Jalannya Hukum Adat Simalungun, Jahutar
Damanik,Bekerjasama dengan PD. Aslan, 1974, hal 75-80). .
Maka Bagaimana Keadaannya Sekarang?
Bukankah
peran mereka tidak terdapat lagi? Lalu bagaimana dengan Lembaga
brahmana – Parhabonaron/Datu, dan Keturunan Raja-raja dan Partuanon itu
sekarang? Padahal peran mereka terdapat dalam segitiga fungsi pencipta,
pemelihara dan pendaur ulang – dalam sistem Tohunlidoran. Bukankah ini
menunjukkan adanya kekosongan fungsi dan kedudukan atas nama Masyarakat
Adat Simalungun dan Budaya Simalungun itu sendiri? Ini berbahaya. Dan
tidak bisa dibiarkan berlangsung lama. Sebaiknya ada tindakan dari para
sepuh.
Meski seperti penjelasan di atas, pada lingkup yang sporadis, terpencar, tidak terkoordinasi, namun para Anak Boru Jabu dari
setiap keluarga batih masih bertahan di garda terdepan sebagai ujung
tombak pelestarian budaya dan adat istiadat Simalungun. Lewat peran Anak
Boru Jabu yang tersebar tanpa koordinasi itu, memang pengetahuan itu
masih diwariskan secara turun temurun akan tetapi tingkat pemahaman dan
penerimaannya pun berangsur menurun, telah menurun tingkat apresiasi
masyarakat Simalungun itu sendiri akibat banyaknya pengaruh eksternal.
Berapa lama lagi kita biarkan para Anak Boru Jabu dan Anak Boru Mintori
itu kita biarkan tanpa Ibu, tanpa Pemimpin?
Memang sekarang ada yang namanya lembaga Pemerintahan Daerah
(Pemda) yang memiliki azas legalitas dari Negara Republik Indonesia dan
Pemerintahan Republik Indonesia di setiap wilayah yang di dalamnya ada
wilayah adat para Sipukkah Huta
di masing-masing wilayah Masyarakat Adat. Peran Pemda Tk. II Kabupaten
Simalungun dan Kotamadya P. Siantar khususnya yang merupakan pengganti
sistem kerajaan Simalungun dahulu.
Lalu apa bedanya?
Memang
Pemda Tk. II Kabupaten Simalungun dan Kotamadya Siantar memiliki
kekuasaan dan wewenang yang berlapis di semua lini kehidupan;
budaya,politik, sosial, kesehatan, ekonomi dll.. Semenjak
sistem kerajaan Simalungun dahulu telah terintegrasi kedalam NKRI, maka
peran Pemda TK. II (kab. Simalungun dan Kotamadya P. Siantar) dalam wilayah budaya dan kebudayaan tidaklah dapat memasuki ke intinya, yakni memasuki wilayah sistem Tohunlidoran.
Karena,
wilayah kebudayaan Simalungun itu merupakan kawasan sakral, wilayah
batin, wilayah mandiri – tempat ‘puncak-puncak’ ke-budaya-an Nasional
itu berasal, berproses hingga, yang dimotori para Sipukkah Huta,
Masyarakat Adat yang memiliki nilai-nilai sendiri, kearifan sendiri,
pengetahuan sendiri tentang hubungan mereka dengan alam, sesama, dan Ia
Hyang Tunggal, dalam bentuk tradisi, adat istiadat, hukum adat dll.,
yang keberadaannya diakui UUD 45.
Apa
yang dilakukan inti Masyarakat Adat Simalungun itu (Lembaga
Tohunlidoran) sejatinya demi memperkuatkan Kebudayaan dan Budaya
Nasional, apa yang mereka lakukan berada dalam ranah nilai-nilai
Universal, Budhi, yang tercermin dalam falsafah Bhinneka Tunggal Ika.
Bahwa Budaya Daerah Simalungun adalah merupakan pembentuk budaya dan
kebudayaan Nasional, yang sejatinya juga menghayati nilai universal demi
persatuan dan kesatuan Bangsa. Juga untuk menyokong kemandirian Budaya
Nasional dan ekonomi.
Pemda
Tk. II Kab. Simalungun dan Kotamadya P. Siantar tidak dapat
menggantikan peran lembaga Tohunlidoran, karena tidak dapat memasuki
wilayah ‘batin’ Halak Simalungun yang memiliki sejarah panjang bersama tanah dan airnya
serta ajaran spiritualnya (ada hubungan emosional dan spiritual antara
Halak Simalungun dengan daerah adatnya). Memang hubungan Pemda Tk. II
Kab. Simalungun dan Kotamadya P. Siantar dengan lembaga Tohunlidoran
adalah mitra dalam banyak sendi kehidupan, namun dalam ranah substansi
penciptaan tradisi, kebudayaan baru, dan sistem kebudayaan Tohunlidoran,
Pemda Tk. II tidak bisa ikut campur. Sebab hubungan Pemda dengan orang-orang Simalungun yang ada di wilayah
Pemda Tk. II Kab. Simalungun dan Kotamadya P. Siantar adalah hubungan
antara warga bangsa dengan pemerintahan Indonesia, namun hubungan antara pemda dengan masyarakat adat beda lagi – seperti yang saya jelaskan di atas.
Keberadaan Tohunlidoran
sebagai Pertahanan Nilai di Daerah…
Seperti
masyarakat adat lainnya, Budaya Simalungun juga memiliki sejarahnya
sendiri, wilayahnya sendiri, nenek moyangnya sendiri, kearifannya
sendiri. Pengetahuan itu, tradisi itu, falsafah itu, adat isitiadat itu,
kebudayaan itu, budaya itu menjadi kekayaan negara dalam PERTAHANAN NILAI.
Karena sesungguhnya masyarakat adat itu tidak terlibat dalam urusan
politik praktis dan kekuasaan, tetapi keberadaan mereka sangat berperan
dalam menjaga moral, tata krama, kelestarian alam dan lingkungan –
ekosistem, persatuan dan kesatuan nasional. Intinya keberadaan suatu
masyarakat adat terkait dengan tempat, wilayah tertentu yang memiliki
nilai-nilai khas yang universal demi terciptanya kedamaian, cinta dan
harmoni yang kini dalam konteks NKRI. Keberadaan masyarakat adat itu
sendiri tidak bertentangan dengan Falsafah Negara dan UUD 45, malah
memperkuatnya.
Dari penjelasan di atas, dapatlah diketahui bahwa keberadaan Masyarakat Adat Simalungun menjadi partner
dari Pemda Tk. II Simalungun dan Kotamadya P. Siantar dalam mengisi
pembangunan Nasional, harmoni dalam strategi pembangunan nasional.
Keberadaan Masyarakat Adat Simalungun dalam hal ini Lembaga Tohunlidoran
akan menjadi NURANI, PERTAHANAN NILAI dalam mengurus, mengelola pembangunan nasional berkenan hubungan manusia dengan alam,
sesama, ’agama’ – yang heterogen, juga dalam menghadapi, menyaring
dampak negatif kemajuan teknologi, produksi massal barang ekonomi,
konsumsi barang dll.. Bersama lembaga agama, lembaga Tohunlidoran akan
menjadi ‘benteng nilai’ yang bisa diandalkan. Menegasikan keberadaan
lembaga Tohunlidoran, akan menyebabkan ketakseimbangan hubungan batin
antara alam, wilayah Masyarakat Adat Simalungun dengan manusia yang
hidup di atasnya.
Maka,
keberadaan lembaga Tohunlidoran akan menjadi benteng dan pengawas
terhadap pengeloloan SDA di wilayah adatnya bersama Pemda Tk II,
misalnya mengantisifasi dampak negatif eksploitasi alam yang tak
bertanggungjawab, korupsi, degradasi moral, politik kotor, dan konflik
horizontal, dll..
Penguatan
dan aktivasi lembaga Tohunlidoran adalah suatu kebutuhan Masyarakat
Adat Simalungun dan perannya sangat dibutuhkan Pemda Tk. II Kab.
Simalungun dan Kotamadya P. Siantar sebagai mitra dan ‘pertahanan
nilai’.
Hubungan Pemda dengan Lembaga Tohunlidoran
dan Halak Simalungun di Daerahnya
Hubungan
antara Pemda Tk. II Kab. Simalungun dan Kotamadya P. Siantar dengan
lembaga Tohunlidoran sebagai wakil masyarakat adat dalam ‘hubungan budaya dan kebudayaan’, maka:
- Pemda Tk. II Kab. Simalungun dan Kotamadya P. Siantar akan memerankan peran sebagai ‘Pemelihara’, ‘Wishnu’, ‘ Legislatif’, memayungi dan melindungi keberadaan dan kegiatan masyarakat adat dengan perangkat hukum dan UU.
- Lembaga Tohunlidoran sebagai Pendaur Ulang, Siva, Yudikatif – tempat bertanya sebagai sepuh berkenan budaya dan kebudayaan Simalungun. Juga sebagai penyeimbang dan peredam kegiatan politik dan ekonomi yang tamak dan eksploitatif, juga menjaga keharmonisan hubungan sosial yang heterogen – sebagai Sipukkah Huta. (Jadi tidak seperti di daerah lain, generasi muda Sipukkah Huta dijadikan ‘tokoh politik’ sebagai kendaraan politik semata atau tukang palak bagi Pemda dan Swasta) – ini merendahkan martabat Halak Simalungun.
- Masyarakat Adat Simalungun sebagai ‘pencipta’, ‘Brahma’, ‘pelaksana’, ‘Boru’ dalam kegiatan budaya dan kebudayaan Simalungun. Kaitannya sebagai masyarakat agraris dalam kegiatan lingkungan, ekonomi, sosial dan budaya – spiritual.
Catatan:
Namun dari sudut pandang Budaya dan Kebudayaan, justru Keturunan
Sipukkah Huta – Suku Simalungun lah yang menjadi SUHUT di atas tanah
leluhurnya karena suku Simalungun memiliki hubungan batin dan sejarah
panjang dengan tanahairnya.
Kalau dalam hubungan pemerintahan RI dengan Warga Bangsa, maka Pemda Pemda Tk. II Kab. Simalungun dan Kotamadya P. Siantar akan memerankan ketiga fungsi tersebut:
- Energi Pencipta, pelaksana (Brahma), Eksekutif: Bupati dan Walikota beserta jajaran strukturalnya
- Energi Pemelihara (Wishnu), Legislatif: DPRD
- Energi Pendaur Ulang (Siva), Yudikatif: Kejaksaan dan Pengadilan
Meski
dalam variasi lembaga ketatanegaraan kita penjabarannya dapat lebih
kompleks lagi, misalnya kehadiran lembaga Majelis Konstitusi tingkat
nasional.
Penutup
Intinya,
keberadaan Lembaga Tohunlidoran sangat strategis untuk kemandiran Suku
Simalungun sebagai bagian pembentuk Budaya dan Kebudayaan Nasional, dan
juga sebagai pertahanan nilai terhadap arus globalisasi.
Oleh
karena itu, menurut saya, Lembaga Tohunlidoran ini sangat perlu kita
aktivasi kembali karena ini menyangkut sistem budaya dan Kebudayaan
Simalungun yang memiliki sejarah panjang, dan khas. Keunikan dan
kekhasan inilah yang menjadi jati diri kita berkenan dengan aura tanah
dan air wilayah adat Simalungun. Sampai kapan akan kita biarkan
keberadaan para Anak Boru Jabu yang tersebar dan tak terkoordinasi itu?
Toh, lingkup tugas mereka masih dalam skala kecil berdasarkan kebutuhan
adat istiadat sebuah keluarga batih (hanya seputar kebutuhan upacara
adat kelahiran, pernikahan, kematian, penggalian tulang-belulang dll.),
dan belum secara KOLEKTIF atas nama Masyarakat (Hukum) Adat Suku
Simalungun.
Misal
yang berkaitan dengan: pelestarian lingkungan, penghormatan alam,
hubungan dengan masyarakat adat suku lainnya, anggota Masyarakat Adat
Simalungun yang memiliki agama yang berbeda, keberadaan
keyakinan asal – Parhabonaron, pesta panen – tradisi masyarakat
agraris, perlindungan situs-situs kebudayaan Simalungun, bahasa dan
sastra, tari, astrologi dll..
Oleh
karena itu, apa yang dimaksud tenaga pencipta, pemelihara, pendaur
ulang dalam segala sendi kehidupan selalu akan terdapat, dalam konteks
apa pun dapat ditemukan aplikasi dan bentuknya, baik dalam organisasi
pemerintahan, swasta dan organisasi lainnya. Ketiga energi itu merupakan
energi pembentuk kehidupan kebudayaan Simalungun.
Sehingga
dalam konteks Hasimalungunon, peran dan kedudukan lembaga Tohunlidoran
sebaiknya kita aktivasi demi melindungi masa depan Masyarakat Adat
Simalungun. Lihat saja contoh di wilayah masyarakat adat lainnya,
‘peran’ agama begitu mendominasi mengatasnamakan suatu suku. Dan sering
terjadi ‘peng-agama-an’ tunggal suatu suku,contoh kalimat berikut sering
saya temui dalam pembicaraan di suatu masyarakat Indonesia, ”Ia bukanlah seorang suku…. jika ia tidak beragama….” Hmmm…. menyedihkan sekali. Ini tidak mencerminkan spirit Pancasila.
Dan
masih banyak lagi, dampak negatif yang akan memengaruhi Masyarakat Adat
Simalungun jika keberadaan lembaga Tohunlidoran tidak kita aktifkan –
hita pajongjong. Sehingga polemik asal usul nenek moyang kita, dan marga
di Simalungun pun dapat segera dituntaskan secara arif dan bijaksana.
Intinya,
visi dan misi lembaga Tohunlidoran ini adalah persiapan landasan demi
menciptakan Masyarakat Adat Simalungun yang berdasarkan gotongroyong
(berdasarkan 3 fungsi utama itu) demi kehidupan yang peace, love and harmony – mengutip pendapat Budayawan, Tokoh Lintas Agama, Nasionalis Anand Krishna.
Aktivasi
lembaga Tohunlidoran ini merupakan Strategi Kebudayaan Simalungun yang
‘sadar’, tidak mabuk masa lalu, atau masa depan, mabuk barat atau timur,
namun orientasinya adalah SAUHUR SIMALUNGUN, SAUHUR INDONESIA, SAUHUR SAPDUNIA ON – berdasarkan spirit gotongroyong dan spiritualitas.
Diatetupa ma – terimakasih.(Sumber: http://www.davidpurba.com)
0 Comments