Profesor DR Boas Sumbayak |
* Taralamsyah "Menemukan" Silsilah Profesor Boas
Bayi berusia tiga bulan itu pun sempat jadi incaran. Karena ayahnya Tuang Dolog Saribu susah ditemukan, maka laskar resolusi pun mengancam akan membunuh si bayi, yang juga putra kandung Tuan Dolog Saribu itu. Tahu anaknya dalam ancaman, muncullah Jademan, Tuan Dolog Saribu, di hadapan gerombolan pelaku eksekusi saat revolusi sosial.
Sang Tuan ini mempunyai kemampuan, dia bisa menyembunyikan diri dari musuh. Karena itulah dia sempat luput dari eksekusi massal yang pernah dilakukan gerombolan revolusi terhadap segenap anggota kerajaan Panei dan penguasa wilayahnya. Banyak yang jadi korban walau banyak juga yang selamat karena ada yang lari tunggang langgang dan ada yang kebetulan sedang berada di tempat lain.
Djademan, Tuan Dolog Saribu tidak lari tetapi menghilang misterius dalam penglihatan gerombolan walau dia nyata ada di depan mereka. Ancaman pada bayinyalah yang membuat Jademan memunculkan diri.
"Andon mau au, au ma lah tangkap hanima," demikian permohonan Jademan Sumbayak pada gerombolan pimpinan Saragih Ras. Artinya, "Inilah aku, akulah tangkap."
Jademan pun akhirnya dieksekusi. Dia sebagai Tuan Dolog Saribu, turut menjadi korban bersama para penguasa di wilayah Kerajaan Panei, dimana Dolog Saribu menjadi bagian dari wilayah.
Profesor DR Boas Sumbayak, si bayi itu, selamat dan kini menjadi salah satu dokter spesialis penyakit dalam di RS PGI Cikini Jakarta Pusat.
Dalam perbincangan di sore hari Minggu di Jakarta, di rumah Lenny Garingging, istri almarhum Aberson Marle Sihaloho, Boas bercerita tentang sekelumit pengalamannya.
Pengalaman masa lalu membuatnya saksama untuk meneliti dengan siapa dia hendak bicara. Itu bukan mengada-ada, hingga sekarang pun dia menjadi terbawa untuk tetap saksama.
Mengapa? "Ketika saya hendak berpikir menjadi anggota majelis, ada juga terdengar, darah feodal sudah hendak menampakkan diri," demikian alasan Boas mengapa dia selalu ingin mengetahui siapa yang dia temui dan dengan siapa dia bicara.
"Padahal saya sejak kecil hanya berpikir bagaimana untuk bertahan hidup. Tidak pernah sedikit pun ada niat menghidupkan kerajaan," kata lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara itu.
Boas yang berusia 63 tahun itu tidak suka dengan opini semacam itu, seolah-olah feodal Simalungun akan bangkit, tetapi dia harus menghadapi kenyataan seperti itu.
Dia memang keturunan feodal dari pihak ibunya boru Purba Dasuha, Rohanim Dasuha, putri kandung almarhum Tuan Bosar Sumalam, Raja Panei yang juga diseksekusi. Dia juga keturunan langsung dari Salain Garingging, Tuan Dolog Saribu, yang masuk wilayah partuanan Kerajaan Panei.
Kakeknya adalah Salain Saragih Garingging, putra kandung Raja Rondahaim. Akan tetapi Boas adalah Saragih Sumbayak. Inilah salah satu gambaran perjalanan keluarga Boas yang memang pernah rumit.
Boas menurut ceritanya sendiri, sebenarnya hanya berpikir simpel. Bagaimana untuk menjadi lebih baik dalam hidup ini. Kebetulan lingkungannya di masa kecil hingga besar adalah para keturunan raja korban revolusi sosial. Para keturunan ini seperti dipersatukan oleh rasa senasib sepenanggungan, yakni para leluhur mereka korban revolusi. Ini menjadi semacam perekat di antara mereka yang pada umumnya tinggal di Pematang (Pamatang) di Pematang Siantar.
Amat jauh dari lubuk hati mereka untuk memikirkan pemulihan kerajaan karena kepada mereka sejarah telah memutuskan bahwa hukum yang berlaku dan tatanan yang berlaku adalah Republik Indonesia. Itu tidak perlu diragukan lagi.Boas pun tidak terlalu hirau dengan siapa dia. "How to survive, itulah selalu di benak saya."
Akan tetapi saat berkumpul dan saat berbincang dengan lingkungannya, seringkali muncul pertanyaan tentang siapa nenek moyang mereka. Ini adalah sebuah kebiasaan di suku Batak, dan juga Simalungun.
Suatu waktu Boas bercerita bahwa kakek buyutnya adalah Salain. Salah satu yang mendengar penuturannya adalah Jansen Saragih, almarhum putranya Jan Kaduk, juga Raja Raya yang dieksekusi.
Telinga Jansen begitu peka. Jansen pun membawa Boas yang saat itu masih kuliah di USU ke rumah Taralamsyah di Jalan Sisingamangaraja, Medan.
Taralamsyah pun bertanya kembali, siapa bapaknya, kakeknya, hingga ke kakek buyutnya Boas. Taralamsyah pun masuk ke kamar di rumahnya, di mana dia memiliki "lak-lak". Ini adalah sebutan bagi pelepah yang kemudian dijadikan sebagai tempat menulis silsilah ketika teknologi kertas belum ditemukan.
Taralamsyah bukan hanya jago silsilah, dia juga jago sejarah keluarganya. Taralamsyah rajin mencatat dan antusias mendalami semuanya.
Kepada Boas, Taralamsyah bukan hanya menunjukkan bahwa Boas adalah cucu buyutnya Salain Garingging, saudara kandung dari Tuan Sumayan (Raja Raya penerus Tahta Rondahaim). Ini adalah kejadian di awal dekade 1970-an, sebelum Taralamsyah berpindah ke Jambi tahun 1971.
Kisah Boas ini sekaligus memperlihatkan Taralamsyah adalah seorang yang berbakat soal silsilah tetapi juga sejarah keluarga dan kerajaan.
Taralamsyah pun menuturkan bahwa sebuah kisah internal keluarga telah membuat Boas terpaksa beralih menjadi Sumbayak.
Ketika Salain masih dalam kandungan salah satu istri Rondahaim, dia dianggap akan menjadi pembawa masalah bagi kesinambungan Kerajaan Rondahaim. Adalah sebuah kebiasaan di keluarga kerajaan, setidaknya Kerajaan Raya, peruntungan seseorang yang sedang dalam kandungan sudah "dikeker".
Hasil "pengekeran" oleh seorang "namarpamoto" (medium, dukun), disimpulkan bahwa Salain akan menjadi pembawa masalah. Kerajaan pun memutuskan agar ibu salain dipindahkan sebelum melahirkan. Jadilah dia melahirkan di Raya Tongah, perbatasan wilayah Kerajaan Raya dan Kerajaan Panei.
Raya Tongah adalah kekuasaan partuanan Sumbayak, di bawah yurisdiksi Kerajaan Panei. Bukan hanya dipindah, Salain yang dalam kandungan pun diubah menjadi marga Sumbayak. Kemudian nasib membawa Salain Sumbayak menjadi Tuan Dolog Saribu. Seluruh keturunannya pun menjadi Sumbayak walau tidak ditemukan dimana mereka bertemu dalam tarombo (silsilah) Sumbayak.
Salain tidak tahu dia adalah Garingging asli tetapi Kerajaan Raya tahu itu.Ketika Sumayan berkuasa, Kerajaan diserang pasukan Dolog Saribu, yang dimpimpin Salain. "Janami, adong roh serangan han Dolog Saribu!" demikian panglima Sumayan menyampaikan ancaman. Artinya, "Paduka Raja yang mulia, ada serangan dari Dolog Saribu."
"Paturut!" jawab Sumayan. Artinya, "Biarkan!" Sumayan tidak ingin serangan itu dibalas dan dia memutuskan dia biarkan saja penyerang masuk.Ancaman makin genting. Lalu dilaporkan lagi, pasukan Dolog Saribu sudah mendekat."Paturut!" demikian lagi jawaban Sumayan.
Pasukan Dolog Saribu merangsek dan Salain pun berhasil masuk istana."Haop sanina, mangan hita," demikian Sumayan menjawab adek kandungnya.Serangan saling merusak pun batal dan hubungan Raya dan Dolog Saribu menjadi akrab.Akan tetapi kisah pertukaran marga tetap tersembunyi.
Adalah Taralamsyah yang kemudian membeberkan itu semua pada Profesor Boas.
Sontak kaget dengan penuturan itu, Boas pun seperti ingin berlari. Dia pun segera berangkat ke Siantar menuju rumah keluarga di Jalan Kartini setelah pertemuan dengan Taralamsyah itu. Semua penuturan dan bukti pertukaran marga dan kisah yang menyertainya dia sampaikan pada keluarga.
Sama seperti Boas yang terkaget-kaget, keluarga pun sampai berurai air mata. Mereka menangis bahagia sekaligus menangis karena kisah masa lalu leluhur mereka. Nenek mereka yang mengandung telah dihijrahkan karena bayi kandungan dianggap pembawa masalah dan pergi dengan netapanya. Itulah yang membuat mereka menangis.
Akan tetapi penemuan jati diri sekaligus membuat mereka lega. Beralihlah mereka lagi ke Garingging dan semua keturunannya sampai sekarang.
Satu bukti lagi bahwa Taralamsyah itu adalah pentolan adat, pentolan silsilah di samping pentolan kesenian.
Taralamsyah pun seorang pentolan kemanusiaan dan figur seorang bapak bagi siapa saja. Sejak itu Boas amat menyayangi Taralamsyah. Sejak itu mereka dekat dan selalu rutin melakukan korepondensi, walau yang satu kemudian menetap di Jakarta dan satu lagi menetap di Jambi (Taralamsyah).
Boas ingin tahu lebih dari sejarah juga seluruh hal yang dia mau tahu. Taralamsyah tekun melayani, hingga hubungan pun berkembang seolah-olah Taralamsyah adalah kakek kandungnya. Namun itulah adanya, hubungan keluarga dekat sejak peristiwa 1970-an itu.
Boas pun hanya tahu sekilas kisah ayahnya dari cerita ke cerita. Pernah satu waktu, Boas sedang merawat seorang pasien di Jakarta. Si pasien menatap lama wajah Boas. Sang dokter ini merasakan ada sesuatu.
"Siapa namamu? Bisa kau sebutkan nama bapakmu?" demikian si pasien bermohon.
Begitu disebut bahwa nama bapaknya adalah Jademan, si pasien terperangah. Omsyah SInaga, si pasien itu adalah Putra Kaliamsyah Sinaga, Raja Tanah Jawa yang juga dieksekusi saat revolusi sosial.
Omsyah yang pernah menjadi Wali Kota Jakarta Utara itu pun bertutur pada Boas. DIa pernah sama-sama bersekolah di Medan karena itu sanagat mengenal Jademan. "Sebelum revolusi sosial meletus, kita sudah mulai khawatir. Saya melarikan diri ke Jakarta. Sebenarnya saya ajak bapakmu turut serta. Jika bapakmu mau ikut saa, dia sebenarnya bisa selamat," Demikian Omsyah bertutur pada dokter yang merawatnya, yang adalah putra sahabatnya di sekolah.
Namun Boas yang tidak mengenal ayahnya sejak usia tiga bulan, telah menemukan figur ayah pada diri Taralamsyah, yang memang trahnya. Begitu dekat hubungan darah ini, hingga Taralamsyah suatu waktu pernah mengeluh sakit.
"Roh ma ham hu Jakarta," demikian pesan Boas pada Taralamsyah yang memang kemudian datang dari Jambi ke Jakarta di penghujung usianya. Boas memeriksa kesehatan Taralamsyah dan itulah pertemuan mereka yang terakhir.
"Saya puas dan bangga karena telah pernah melayani Oppung Taralamsyah, saya sangat senang. Dialah penemu jati diri saya," kata Boas yang tampak bersikap tenang dan terkesan tetap saksama dan manjaga turut kata.
Hubungan dengan Taralamsyah tidak berakhir dengan kepergian Taralamsyah. Boas pun sampai pernah pergi ke Belanda, Den Haag, menemukan kisahnya dan Kerajaan Raya, terutama Rondahaim. Itu adalah pesan Taralamsyah padanya, agar tidak pernah lupa sejarah.
Dalam kunjungan ke museum di Den Haag, Boas menemukan tulisan oleh Belanda langsung bahwa Rondahaim yang dijuluki "namabajan" oleh sesamanya, dijuluki "Napolean Bona Parte dari Timur".
Boas seperti anak penurut bagi kakeknya dan sekaligus yang dia anggap ayahnya, Taralamsyah.
Semua semua pengalaman hidup itu, dan sentuhan Taralamsyah, membuat Boas pun terbawa mimpi yang ditularkan Taralamsyah. Bagaimana menyatukan Simalungun, bagaimana menyadarkan Simalungun akan dirinya dan etnisnya yang memang luhur tetapi pernah kacau karena revolusi, dimana para pelaku bukan siapa-siapa juga.
Boas mendengar itu semua, dan memang ingin aktif di Simalungun melanjutkan impian terputus Taralamsyah. Namun Boas menemukan itu tadi, kecurigaan akan kebangkitan feodal Simalungun. "Jika bisa saya menitip pesan, dalam bukumu soal Oppung Taralamsyah, tekankanlah soal kemandirian SImalungun, soal jati diri SImalungun dan soal kesatuan Simalungun. Itu saja, yang ingin saya pesankan," demikian Boas bermohon.
Hilanglkanah kecurigaan, salinglah menyadari kebesaran dan potensi SImalungun. Singkirkan pikiran curiga, seperti sikap saling curiga yang pernah ada di era revolusi, "di mana kawan atau lawan tidak bisa kita tebak.
Ini adalah era baru, dimana Simalungun harus bangkit, setidaknya harus bangkit dari pikiran saling curiga.
Sonaima...(Simon Saragih)
- Simon Saragih Diateitupa ma bani John E Saragih napatuduhon dalan bani Abang dokter nabujur on. Malas uhur tongon...
- Sarmedi Purba Mungkin perlu diperbaiki
Quote: "Begitu disebut bahwa nama bapaknya adalah Jademan, si pasien terperangah. Omsyah SInaga, si pasien itu adalah Putra Kaliamsyah Sinaga, Raja Tanah Jawa yang juga dieksekusi saat revolusi sosial."
Raja Kaliamsyah Sinaga luput dari pembunuhan BHL, demikian juga keluarga Raja Tanah Jawa. Beliau kemudian menjadi Wali Negara Sumatera Timur (NST), semacam wakil Presiden NST. Kaliamsyah Sinaga ikut dalam perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag Desember 1949 yang bermuara pada Penyerahan Kedaulatan kepada Republik Indonesia 1950.
Kaliamsyak kemudian diangkat menjadi anggota Bada Pemeriksa Keuangan (BPK) yang terkenal sangat teliti dan jujur, berdomisil di Bogor sampai akhir hayatnya. Saya pernah memginap di rumahnya di Bogor, bersama keponakannya Ramudin Purba alm, anak Tuan Dolok Batu Nanggar.
Tuan Baja Purba juga luput dari aksi bunuh BHL dan pernah jadi Bupati di Karo dan Simalungun.
Komemtar saya:
Sebagian raja-raja Simalungun menyadari bahayanya situasi pada tahun 1946-1947 itu dan mengambil langkah penyelamatan diri ke luar daerah, seperti Tuan Omsyah ke Jakarta (Tuan Omsyah jadi salah satu walikota di Jakarta, masih satu generasi dalam pemerintahan Indonesia pada masa Kaliamsyah Sinaga di BPK. Tolong diteliti apakah mereka bersaudara, bukan anak dan ayah).
Dr Darwan Purba pernah menceritakan kepada saya bahwa mereka sekeluarga (Keluatga Tuan Madja Poerba, pernah jadi Bupati Simalungun dan Walikota Medan) mengunsi ke Tarutung, kemudian ke Bukit Tinggi, Kutaraja (Banda Aceh) dan kemudian ke Singapura. Dari Singapurba Madja Poerba kembali dipanggil menjadi Bupati Simalungun (kalau masih berkenan, Simon Saragih dapat mewawancarai Dr Darwan, pendiri RS Jakarta Eye Center, di Jakarta.
Perlu dibahas dan menjadi pelajaran sejarah, bahwa pemgenalan situasi kegentingan sosial politik penting untuk membuat asesmen, apakah situasi berbahaya atau tidak untuk kita yang berada di tengah masyarakat. Bukan maksudnya untuk mempersalahkan yang tinggal, tetapi mengambil pelajaran pada peristiwa itu, agar kita dapat mengambil keputusan terbaik dari pengalaman masa lalu.
Dari penuturan peristiwa pembunuhan raja-raja Simalungun diketahui, bahwa sebagian mereka ikut berjuang dengan lasykar melawan Belanda, seperti Tuan Mogang, Raja Purba dan Tuan Padiradja, Raja Silimakuta. Tetapi setahun kemudian mereka terbunuh juga pada bulan Agustus 1947 itu. Kalau mereka waktu itu menyingkir dari kancah Revolusi Sosial, mungkin mereka bisa selamat dan menjadi pejabat pemerintahan yang sangat dibutuhkan R.I. pada masa itu, seperti tokoh-tokoh pemerintahan yang diceritakan di atas.
Harus diingat, bahwa waktu itu yang berpendidikan adalah keluarga raja-raja Simalungun, karena sistem pendidikan Belanda yang hanya mengizinkan penerimaan di sekolah berbahasa Belanda untuk pribumi, kalau ada rekomendasi dari para raja, misalnya HIS (Hollandse Indische School) setara SD, MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) setara SMP, HBS (Hoogere Burgerschool) setara SMA. - Simon Saragih Eak Tulang, alani ai do ase hupajang tong ganupan. Ganupan ralat, pasti hudalanhon dahkam. Diateitupa ma bani ham tene
- Simon Saragih Wawancara Darman Purba, abang ni Mawi, turunan ni Tuan Maja? Boi do homa ai dahkam.
Sumana ge dahkam, Tuan Mogang ma na urgent ge dahkam. - Simon Saragih Hucek ulang do kin ganupan goran, jabatan, hubungan keluarga ai dahkam. Pos uhurmu da Tulang.
- Nikolas Munthe Sihilap Dahsyat do sejarah ni Simalungun on tene,,,,,,,,kisah pribadi ni Dr. Boas on mengaharubirukan,,,,,,,,,,,maningun manarik hosa bagas,,,,,,,,,,,,,husssss
- Julvanal Sinaga Secara pribadi merasa bersyukur ada Bapa Sarmedi Purba disini. Kami semua sepertinya masih terlalu terperangah akan fakta-fakta temuan baru di buku ini, sehingga lupa memperhatikan hal-hal kecil tapi krusial tentang Raja Kaliamsyah Sinaga.
- Sarmedi Purba Koreksi tulisan saya alinea ke3: Ramudin Purba anak Tuan Badja Poerba Girsang, Tuan Dolok Batunanggar.
- Jaberkat Purba @SS, manetek iluh nikku, halani tinando do Prof on, sibujur uhur, lamlam marsahap, lang bahat omong hape tragis do manimpa orangtua ondi. Tuhan akan dan selalu bertindak adil.
- Simon Saragih Sudah saya cek di tulisannya Dori Alam Girsang, benar bahwa Omsyah (Omsjah) adalah adek dari Kaliamsyah Sinaga. Tulisan untuk bahan buku saya sudah ralat
- Simon Saragih Menurut tulisan Dori Alam Girsang: Kaliamsyah Sinaga luput dari revolusi sosial. Omsyah malah sudah sempat diikat dan hendak dibaurkan ke aliran sungai. Hanya saja seorang penangkapnya berubah pikiran dan diam-diam leonggarkan ikatan tali sehingga Omsyah bisa melepaskan diri saat dibaurkan di air sungai.
- Simon Saragih Masih dari tulisan itu, Kaliamsyah dicap oleh laskar sebagai penindas. Kaliamsyah pun berkata. Berikut kutipan tulisan itu.
“ Apakah Selama Masa Pemerintahan Saya, Saya pernah Memeras, Menindas, Bertindak Sewenang2 Ataupun Menyakiti Kalian Semua “
Maka dengan serentak seluruh Rakyat/Masyarakat yg hadir menjawab “ Tidak Pernah,Radja Kami adalah Radja yg baik,Jujur,Dan tidak Pernah Menindas Kami “ mendengar jawaban rakyat tsb maka orang2 BHL yg menyaksikan tersebut merasa malu dan langsung pulang ke Brastagi tanpa membawa kembali Radja Kaliamsjah Sinaga.Dori Alam Girsang utk Tuan Badja Purba Girsang sebaiknya di tambah menjadi Orang Kaya Dolog Batu Nanggar, kerena memang orang kaya julukannya, dan Tuan juga bisa, Omsyah sptnya perlu di ralat lagi , Raja Tanah Jawa punya dua anak, Tuan Djintar dan Tuan Kaliamsyah, Tuan Djintar meninggal lalu Tuan Kaliamsyah menjadi pemangku Kerajaan, bukan raja, ttp anak dri pada Tuan Djintar, ini yg perlu kita runut ulang, agar dalam penulisan pun benar2 matang dan sejarah bisa kita luruskan bersama - John E Saragih mantap... domma saud hape i wawancara ham? sonaha tanggapanni soal pagelaran ai Bang ?
- Simon Petrus Saragih John E Saragih: Santabi sanina. Mase marsungkun hita soal tanggapan ni para dedengkot ni Simalungun on?
Prof DR Bungaran OK, DR CB ok, Bang Elman OK. Kunjungan hu Bupati JRS siap dibukakan para tetua.
Targantung hanima panitia do on da sanina. Go jore, jalar, pate ransangan, aha biaran? Mulak hu panitia do on. - Simon Petrus Saragih Homa ge, lang fair go sai ikkon au ganupan. Aha lapatan ni haroan boron go sonai ambia?
- John E Saragih ehe.. ham ma tong.. sekalian hujai ham atap ihatahon humbakku dana talangan 10 juta nini kan ma mantap.... he he he
- Simon Saragih Sonon Janami, ha ha ha...
Huarbishon do tong soal kosser ai da, Janami.
Nah, go soal dana Talangan ai, sonon ma ai. Asing do dalan ni namalum, asing do dalan ni batu ni demban.
Au hu jai, hu jon, hu jan, lahou manangar turi-turian manang hutinta do, Janami.
Ambit sihol ma hita manjalo omas, rup roh ma hita ge. Bahen hita ma tortor sombah, rup mangondok ma hita.
Tongon do ai nean, iji juppah diri, tor nisahaphon ma nean dana Talangan ai. Sumana ge, ikkon rup roh do panitia. Lang boi ganupan, tolu halak pe. Porlu dua halak nari naman, alani au pasti hadir.
Anggo siap ma hita panitia, pak ma au maringgou. Lang holan Rp 10 juta, mangelekhon Rp 20 pe pak ma au. Mase? Halana ma adong mandat ni panitia. Anggo rup ma hita panitia, ai aha biarhu "martabas"?
Tabas ai, huhut ma ai pakon hata silumat-silumat. Ittehon ge, pasti dapotan. Alani aha? "Jika dua tiga orang berkumpul, di situ Tuhan hadir!"
Jadi Janami, ganupan ai, ramuan ni ubat ma ai. Ha ha ha... - Simon Saragih Siholan diri dong Raja ni Simalungun, era modern. Lang raja dalam arti monarki, tapi leader na boi mambobanhon Simalungun. Refleks do hassa ai, sanina.
He he he - Simon Saragih Ai ma, ai ma dahkam. Pas ma ai. Na Raja, huruf A terakhir bani hata Raja ai, iodothon ge. He he he. Raja, konotasi ma ai, lang denotasi. He he he..
0 Comments