Info Terkini

10/recent/ticker-posts

Guru di Simalungun, Antara Sapi Perahan dan Kambing Hitam

Ramlo Hutabarat
Oleh: Ramlo R Hutabarat

Oleh: Ramlo R Hutabarat


Guru, banyak orang mengatakan sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Meski pun kawan saya bilang, cuma pahlawan tak berdaya. Lihat saja misalnya, betapa buruknya nasib guru terutama seiring dengan era otonomi daerah. Pemerintah daerah tidak lagi mengurusi guru seperti di masa dulu ketika guru diurus oleh pemerintah pusat. 

Para politisi pun, cuma pura-pura peduli pada jelang pemilu saja kepada guru. Saat itu, acap kali disebut-sebut guru adalah garda terdepan pendidikan, ujung tombak maju mundurnya pendidikan. Padahal, semua itu mereka katakan hanya karena ingin mendapatkan suara dari guru pada saat pemilu. Tapi  habis pemilu, habislah perhatian pada mereka. Bagai kata pepatah, habis manis sepah dibuang.

Lihat misal  guru di Simalungun, ketika daerah ini dipimpin JR Saragih sebagai bupati serta Wasin Sinaga sebagai Kepala Dinas Pendidikan Simalungun. Di bawah kepemimpinan yang dua orang ini, guru acap kali pada suatu kesempatan  dijadikan sapi perahan dan sekaligus pada kesempatan lain dijadikan pula sebagai kambing hitam.  Oalah. Siapa memang bisa bilang apa. Tak percaya ?

Hampir setiap bulan berjalan sepanjang tahun, gaji guru di daerah ini dipotong untuk dan dengan alasan apa saja. Pebruari lalu milsanya, ada potongan Rp 150.000 dengan alasan untuk penerbitan Surat Keputusan Jabatan Fungsional Guru. 

Anehnya, SK JFG ini tidak akan pernah digunakan guru untuk keperluan apa saja. Kata lainnya, tak ada gunanya. Dan yang paling aneh, SK ini ditandatanagani oleh Pintor Siahaan padahal dia cuma seorang Plt Kepala Dinas Pendidikan Simalungun saja. Saya pikir, seorang Plt tidak berwenang untuk menerbitkan sebuah SK. Tapi itulah fakta dan nyatanya. Siapa pula memang mau bilang apa.

Menyusul pada gajian Maret lalu, gaji guru di Simalungun kembali lagi dipotong untuk dan alasan pemberkasan kelengkapan administrasi Tunjangan Sertifikasi. Besarannya Rp 250.000 per guru yang dilakukan melalui kepala sekolah atau bendahara sekolah. Lagi-lagi guru tidak bisa bilang apa. Mau menolak atau bagaimana, bisa berakibat fatal dalam karirnya. Boleh jadi dipindahtugaskan ke daerah lain yang jauh dari tempat tinggalnya. Kalau sudah begini, guru cuma bisa menangis sendiri. Menahan derita dalam hati, paling-paling hanya gigit jari.

Selanjutnya bulan berikutnya, kepada guru dibebankan lagi Rp  150.000 untuk mendapatkan SK Dirjen tentang Sertifikasi. Lantas, ada lagi untuk mendapatkan SK Bersama dikenakan (lagi) potongan gaji juga sebesar Rp 150.000 per guru. Dan selanjutnya dan selanjutnya yang entah-entah apa lagi jenisnya. Semua membuat kepedihan guru di daerah ini yang tak tertangiskan. 

Mau mengeluh dan mengadu kemana saja, tak akan ada pihak yang mendengar dan peduli. Termasuk PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia) Simalungun yang sekarang dipimpin Tumpak Silitonga. Saya tidak tahu apa manfaat PGRI bagi guru di Simalungun. Yang saya tahu, guru di Simalungun bermanfaat bagi PGRI. Paling sedikit, Yuran Anggota guru yang tergabung dalam PGRI bisa dikutip tiap bulan.

Terpuruknya nasib guru di Simalungun tidak cuma sampai disitu. Ribuan guru disini yang seharusnya mendapatkan hak untuk memperoleh kenaikan pangkat, tidak dinaikkan pangkatnya oleh pejabat berwenang. Ragam alasan yang dikedepankan, termasuk tidak adanya KTI (Karya Tulis Ilmiah) bagi guru yang berpangkat/ golongan III/b ke atas. 

Kalau sudah bicara soal ini, masalahnya bisa melebar dan teramat dilematis. Tak jelas apakat guru yang tidak berkemampuan membuat KTI atau Tim Penilai yang tidak atau belum juga dibentuk di Simalungun. Tak jelas sekali. Yang jelas adalah, ribuan guru di Simalungun saat ini terkendalan untuk mendapatkan kenaikan pangkat. Kawan saya Saut Lubis yang guru pada SMA Negeri 1 Bandar misalnya, sudah tahunan menduduki pangkat/ golongan IV/a tapi sampai sekarang tak juga naik-naik pangkat.

Belum lagi hak-hak normatif guru yang yang tidak diberikan oleh Pemkab Simalungun, misalnya. Sebut misal Tunjangan Kesejahteraan mereka yang belakangan sudah dihapuskan atau ditiadakan alias tak lagi ditampung atau tidak dialokasikan di APBD. Juga Uang Lauk Pauk atau Uang Makan yang sememang tidak pernah diberikan Pemkab Simalungun. Padahal, mutu dan kualitas pendidikan antara lain dipengaruhi oleh kesejahteraan (guru) Bagaimana mutu dan kualitas pendidikan bisa ditingkatkan kalau kesejahteraan guru malah diabaikan.

Celakanya, Tunjangan Sertifikasi Guru juga saya yakini dilego atau dimainkan juga oleh oknum-oknum di Pemkab Simalungun. Lihat contoh Tunjangan Sertifikasi Guru Desember 2012 yang sampai sekarang tidak dibayarkan oleh Pemkab Simalungun. Saya tidak tahu apa penyebabnya dan dikemanakan Pemkab Simalungun Tunjangan Sertifikasi Guru tadi. Paling-paling yang tahu ya Bupati Simalungun saja, Kepala Dinas Pendapatan dan Pengelola Keuangan Daerah, serta Kepala Dinas Pendidikan Simallungun saja.

Di kala guru-guru di daerah lain sudah mendapatkan Tunjangan Sertifikasi Triwulan I Tahun Anggaran 2014, guru-guru di Simalungun malah belum juga mendapatkannya.  Saya tidak tahu berapa nilai Tunjangan Serifikasi Guru secara persis setiap bulan di Simalungun, dan saya pun tidak tahu berapa guru di Simalungun yang berhak untuk mendapatkan tunjangan sertifikasi itu. 

Tapi kalau rata-rata Tunjangan Sertifikasi Guru di daerah ini sebesar Rp 3.000.000 per guru  dan guru yang berhak menerimanyasebanyak 8.000 orang  tentu nilainya setiap bulan adalah 8.000 x Rp 3.000.000 adalah Rp 24.000.000.000. Suatu jumlah yang cukup besar.

Lalu karena sudah enam bulan Tunjangan Sertifikasi Guru itu belum juga dicairkan kepada guru, tentu jumlah itu seluruhnya sekarang sudah mencapai Rp 24.000.000.000 x 6  hampir Rp 150 miliar. Saya tidak tahu berapa bunga deposito yang didapatkan apabila uang sebanyak itu didepositokan selama enam bulan di bank-bank tertentu.

Anehnya, ketika sektor pendidikan di Simalungun dililit masalah, sudah barang tentu gurulah yang paling pertama disebut sebagai pihak yang paling bertanggung jawab. Misalnya, minimnya siswa lulusan SMA tahun ajaran ini yang diterima di PTN melalui jalaur SMNPTN, selalu dikaitkan dengan kelemahan guru untuk mengajar serta mendidik murid-muridnya. Saya tidak tahu memang berapa siswa SMA yang diterima lewat jalaur SMNPTN karena Wasin Sinaga enggan menjawab SMS saya, tapi saya yakin jumlah itu tidak akan bisa menggembirakan anak negeri Simalungun.

Bahkan, kalau ada murid yang menjadi pencuri atau perampok atau pemerkosa, guru selalu yang pertama dituding sebagai pihak yang paling bertranggung jawab. Termasuk, kalau ada murid yang bolos, berkelahi, pacaran di WC sekolah atau segala macam tindakan negatif, guru selalu dijadikan sebagai kambing hitam. Pemkab Simalungun, umumnya akan buang badan dan cepat-cepat menuduh guru tidak becus menjalankan tugas dan kewajibannya.

Karena itulah saya pikir, peran berbagai pihak di Simalungun sangat dibutuhkan untuk memperhatikan guru di daerah ini. Kalau DPRD Simalungun yang sekarang, jangan harap dan itu cuma bagai pungguk merindukan bulan saja. Paling-paling harapan sekarang ini digantungkan pada Tumpak Silitonga yang terpilih sebagai Anggota DPRD Simalungun dari Partai NASDEM. Mudah-mudahan Tumpak bisa kelak menjadi salah satu fraksi yang membidangi pendidikan, agar setidaknya nasib guru di Simalungun bisa berubah. Wajah guru di daerah ini diharapkan kelak menjadi cerah, tak lagi gelisah resah mendesah.

Bedebahlah gundah !

Berita Lainnya

Post a Comment

0 Comments