Oleh: Ramlo R Hutabarat |
Oleh: Ramlo R Hutabarat
Guru,
banyak orang mengatakan sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Meski pun
kawan saya bilang, cuma pahlawan tak berdaya. Lihat saja misalnya,
betapa buruknya nasib guru terutama seiring dengan era otonomi daerah.
Pemerintah daerah tidak lagi mengurusi guru seperti di masa dulu ketika
guru diurus oleh pemerintah pusat.
Para politisi pun, cuma pura-pura
peduli pada jelang pemilu saja kepada guru. Saat itu, acap kali
disebut-sebut guru adalah garda terdepan pendidikan, ujung tombak maju
mundurnya pendidikan. Padahal, semua itu mereka katakan hanya karena
ingin mendapatkan suara dari guru pada saat pemilu. Tapi habis pemilu,
habislah perhatian pada mereka. Bagai kata pepatah, habis manis sepah
dibuang.
Lihat misal guru di Simalungun, ketika daerah
ini dipimpin JR Saragih sebagai bupati serta Wasin Sinaga sebagai Kepala
Dinas Pendidikan Simalungun. Di bawah kepemimpinan yang dua orang ini,
guru acap kali pada suatu kesempatan dijadikan sapi perahan dan
sekaligus pada kesempatan lain dijadikan pula sebagai kambing hitam.
Oalah. Siapa memang bisa bilang apa. Tak percaya ?
Hampir
setiap bulan berjalan sepanjang tahun, gaji guru di daerah ini dipotong
untuk dan dengan alasan apa saja. Pebruari lalu milsanya, ada potongan
Rp 150.000 dengan alasan untuk penerbitan Surat Keputusan Jabatan
Fungsional Guru.
Anehnya, SK JFG ini tidak akan pernah digunakan guru
untuk keperluan apa saja. Kata lainnya, tak ada gunanya. Dan yang paling
aneh, SK ini ditandatanagani oleh Pintor Siahaan padahal dia cuma
seorang Plt Kepala Dinas Pendidikan Simalungun saja. Saya pikir, seorang
Plt tidak berwenang untuk menerbitkan sebuah SK. Tapi itulah fakta dan
nyatanya. Siapa pula memang mau bilang apa.
Menyusul pada
gajian Maret lalu, gaji guru di Simalungun kembali lagi dipotong untuk
dan alasan pemberkasan kelengkapan administrasi Tunjangan Sertifikasi.
Besarannya Rp 250.000 per guru yang dilakukan melalui kepala sekolah
atau bendahara sekolah. Lagi-lagi guru tidak bisa bilang apa. Mau
menolak atau bagaimana, bisa berakibat fatal dalam karirnya. Boleh jadi
dipindahtugaskan ke daerah lain yang jauh dari tempat tinggalnya. Kalau
sudah begini, guru cuma bisa menangis sendiri. Menahan derita dalam
hati, paling-paling hanya gigit jari.
Selanjutnya bulan
berikutnya, kepada guru dibebankan lagi Rp 150.000 untuk mendapatkan SK
Dirjen tentang Sertifikasi. Lantas, ada lagi untuk mendapatkan SK
Bersama dikenakan (lagi) potongan gaji juga sebesar Rp 150.000 per guru.
Dan selanjutnya dan selanjutnya yang entah-entah apa lagi jenisnya.
Semua membuat kepedihan guru di daerah ini yang tak tertangiskan.
Mau
mengeluh dan mengadu kemana saja, tak akan ada pihak yang mendengar dan
peduli. Termasuk PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia) Simalungun
yang sekarang dipimpin Tumpak Silitonga. Saya tidak tahu apa manfaat
PGRI bagi guru di Simalungun. Yang saya tahu, guru di Simalungun
bermanfaat bagi PGRI. Paling sedikit, Yuran Anggota guru yang tergabung
dalam PGRI bisa dikutip tiap bulan.
Terpuruknya nasib guru
di Simalungun tidak cuma sampai disitu. Ribuan guru disini yang
seharusnya mendapatkan hak untuk memperoleh kenaikan pangkat, tidak
dinaikkan pangkatnya oleh pejabat berwenang. Ragam alasan yang
dikedepankan, termasuk tidak adanya KTI (Karya Tulis Ilmiah) bagi guru
yang berpangkat/ golongan III/b ke atas.
Kalau sudah bicara soal ini,
masalahnya bisa melebar dan teramat dilematis. Tak jelas apakat guru
yang tidak berkemampuan membuat KTI atau Tim Penilai yang tidak atau
belum juga dibentuk di Simalungun. Tak jelas sekali. Yang jelas adalah,
ribuan guru di Simalungun saat ini terkendalan untuk mendapatkan
kenaikan pangkat. Kawan saya Saut Lubis yang guru pada SMA Negeri 1
Bandar misalnya, sudah tahunan menduduki pangkat/ golongan IV/a tapi
sampai sekarang tak juga naik-naik pangkat.
Belum lagi
hak-hak normatif guru yang yang tidak diberikan oleh Pemkab Simalungun,
misalnya. Sebut misal Tunjangan Kesejahteraan mereka yang belakangan
sudah dihapuskan atau ditiadakan alias tak lagi ditampung atau tidak
dialokasikan di APBD. Juga Uang Lauk Pauk atau Uang Makan yang sememang
tidak pernah diberikan Pemkab Simalungun. Padahal, mutu dan kualitas
pendidikan antara lain dipengaruhi oleh kesejahteraan (guru) Bagaimana
mutu dan kualitas pendidikan bisa ditingkatkan kalau kesejahteraan guru
malah diabaikan.
Celakanya, Tunjangan Sertifikasi Guru
juga saya yakini dilego atau dimainkan juga oleh oknum-oknum di Pemkab
Simalungun. Lihat contoh Tunjangan Sertifikasi Guru Desember 2012 yang
sampai sekarang tidak dibayarkan oleh Pemkab Simalungun. Saya tidak tahu
apa penyebabnya dan dikemanakan Pemkab Simalungun Tunjangan Sertifikasi
Guru tadi. Paling-paling yang tahu ya Bupati Simalungun saja, Kepala
Dinas Pendapatan dan Pengelola Keuangan Daerah, serta Kepala Dinas
Pendidikan Simallungun saja.
Di kala guru-guru di daerah
lain sudah mendapatkan Tunjangan Sertifikasi Triwulan I Tahun Anggaran
2014, guru-guru di Simalungun malah belum juga mendapatkannya. Saya
tidak tahu berapa nilai Tunjangan Serifikasi Guru secara persis setiap
bulan di Simalungun, dan saya pun tidak tahu berapa guru di Simalungun
yang berhak untuk mendapatkan tunjangan sertifikasi itu.
Tapi kalau
rata-rata Tunjangan Sertifikasi Guru di daerah ini sebesar Rp 3.000.000
per guru dan guru yang berhak menerimanyasebanyak 8.000 orang tentu
nilainya setiap bulan adalah 8.000 x Rp 3.000.000 adalah Rp
24.000.000.000. Suatu jumlah yang cukup besar.
Lalu karena
sudah enam bulan Tunjangan Sertifikasi Guru itu belum juga dicairkan
kepada guru, tentu jumlah itu seluruhnya sekarang sudah mencapai Rp
24.000.000.000 x 6 hampir Rp 150 miliar. Saya tidak tahu berapa bunga
deposito yang didapatkan apabila uang sebanyak itu didepositokan selama
enam bulan di bank-bank tertentu.
Anehnya, ketika sektor
pendidikan di Simalungun dililit masalah, sudah barang tentu gurulah
yang paling pertama disebut sebagai pihak yang paling bertanggung jawab.
Misalnya, minimnya siswa lulusan SMA tahun ajaran ini yang diterima di
PTN melalui jalaur SMNPTN, selalu dikaitkan dengan kelemahan guru untuk
mengajar serta mendidik murid-muridnya. Saya tidak tahu memang berapa
siswa SMA yang diterima lewat jalaur SMNPTN karena Wasin Sinaga enggan
menjawab SMS saya, tapi saya yakin jumlah itu tidak akan bisa
menggembirakan anak negeri Simalungun.
Bahkan, kalau ada
murid yang menjadi pencuri atau perampok atau pemerkosa, guru selalu
yang pertama dituding sebagai pihak yang paling bertranggung jawab.
Termasuk, kalau ada murid yang bolos, berkelahi, pacaran di WC sekolah
atau segala macam tindakan negatif, guru selalu dijadikan sebagai
kambing hitam. Pemkab Simalungun, umumnya akan buang badan dan
cepat-cepat menuduh guru tidak becus menjalankan tugas dan kewajibannya.
Karena
itulah saya pikir, peran berbagai pihak di Simalungun sangat dibutuhkan
untuk memperhatikan guru di daerah ini. Kalau DPRD Simalungun yang
sekarang, jangan harap dan itu cuma bagai pungguk merindukan bulan saja.
Paling-paling harapan sekarang ini digantungkan pada Tumpak Silitonga
yang terpilih sebagai Anggota DPRD Simalungun dari Partai NASDEM.
Mudah-mudahan Tumpak bisa kelak menjadi salah satu fraksi yang
membidangi pendidikan, agar setidaknya nasib guru di Simalungun bisa
berubah. Wajah guru di daerah ini diharapkan kelak menjadi cerah, tak
lagi gelisah resah mendesah.
Bedebahlah gundah !
0 Comments