Panggang "Dayok Binatur" By St Berlin Manihuruk (Hutaimbaru-Simalungun) |
(Peran Halak Simalungun sebagai Pewarih ‘Tuah’ Budaya Tempatan)
Oleh: David E. Purba
Makna
Sebelum hita mamungkah parbualanta on – kita memulai pembicaraan ini – sebaiknya kita kutip dulu apa kiranya makna atau arti budaya itu. Budaya – buddayah (sansekerta), yang maknanya merujuk pada keberadaan akal dan budi. Dari budi – pikiran yang sudah ter-furifikasi- lah lahir kebijaksanaan itu. Dan dari kebijaksanaan itu pula lahirlah ‘tatanan masyarakat’. Mereka-mereka yang memiliki akalbudi lah
yang selalu meletakkan pondasi sistem hubungan kemasyarakatan, akan
selalu ada koreksi, akan selalu ada penyesuaian adat dan tradisi sesuai
tuntutan zaman. Namun perlu kita ingat akar penyusunan “tatanan
masyarakat’ itu adalah Kebenaran Universal – Habonaron Do Bona.
Kemudian mari kita simak apa kesimpulan Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi (sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya) tentang ‘ke-budaya-an’ yang merupakan hasil budi tersebut. “Kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat”.
Jadi,
berawal dari ekspresi Budi (akal budi, Kebijaksanaan) lah maka tercipta
produk dalam bentuk karya, rasa dan cipta. Menyangkut banyak
sendi-sendi kehidupan manusia demi ketentraman, keteraturan,
kesejahteraan, keadilan sosial dan yang terutama demi kebahagiaan yang
memuliakan manusia.
Hita Do Sijolom Suhul Ni Pisou
Mengenai ungkapan “Hita Do Sijolom Suhul Ni Pisou”, saya menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia kurang lebih seperti ini, “Peran Halak Simalungun – Sipukkah Huta – sebagai Pewarih ‘Tuah’ Budaya Tempatan” – yang merupakan hak warisan.
Beranjak
dari pengertian saya di atas, perlu hendaknya saya mengenali dulu siapa
sajakah para pewarih itu, apa tugas, tanggungjawab, hak dan kewajiban
mereka, dan apa makna tuah budaya tempatan tersebut.
Kenapa saya menerjemahkannya demikian; Peran ‘Halak” Simalungun – Sipukkah Huta – sebagai Pewarih ‘Tuah’ Budaya Tempatan, karena menurut saya dalam kalimat tersebut menunjukkan adanya oknum, sekelompok orang, pribadi, subjek, pionir, yang (masih dan harus) mewarisi nilai-nilai kearifan lokal tersebut. Terusan pewarisan ini tidak stagnan atau diam. Namun di dalamnya terdapat arus, gelombang kesinambungan, gairah, gelora – disadari atau tidak. Artinya upaya pelestarian
ke-budaya-an setempat merupakan suatu kenyataan untuk mempertahankan
identitas ‘diri’nya dalam mengarungi lautan zaman yang selalu berubah. Sang Pewaris menjadi penjaga, ‘guardian’ dari nilai-nilai kearifan yang bersifat lokal tersebut.
Karena
‘budaya’ tidak dapat dipisahkan dari alamnya, hubungan timbal balik
antara manusia dengan alamnya demi menjawab kebutuhan masyarakat
Simalungun sebagai Sipukkah Huta. Di dalam ke-budaya-an Simalungun itu sendiri terdapat nilai-nilai luhur yang mencerminkan karakter, tradisi, nilai kedamaian, cinta dan keharmonisan.
Hendaknya kita tidak melupakan peran leluhur, para tetua – mereka yang telah mencapai penerangan budi. Dari budhi merekalah ‘resep’ masakan ‘kebijaksanaan’ itu menghasilkan kebudayaan Simalungun
untuk menjawab kebutuhan masyarakat, halak Simalungun yang khas, unik
yang tujuannya untuk memuliakan diri Manusia Simalungun. Jadi dari
hakekat ini dapat kita sadari bahwa segala sesuatu yang tidak memuliakan
manusia, itu bukanlah budaya, seperti; korupsi, nepotisme, kemalasan, eksploitasi alam dan lingkungan yang tak bertanggungjawab, ego kelompok, dan ego marga, dll..
Budaya itu Memuliakan Manusia…
Intinya, kebudayaan itu bertujuan untuk menciptakan kedamaiaan, cinta dan keharmonisan, demikian menurut Budayawan, Spiritualis Lintas Agama Anand Krishna. Prinsip-prinsip inilah yang diwariskan tetua, leluhur kita sebagai sipukkah huta. Maka; Hita Do Sijolom Suhul Ni Piso!
Nah,
Budaya bertujuan memuliakan kehidupan manusia lewat ‘jalan’ harmoni –
artinya dalam memenuhi kebutuhannya, didasarkan pada prinsip-prinsip; ketepatan cara berpikir, ucapan dan tindakan!
Segala sesuatu yang tidak mencerminkan pem-budaya-an nilai-nilai
kemanusiaan yang universal bukanlah budaya menurut saya. Inilah
pemahaman saya akan budaya dan kebudayaan itu. Saya menandainya dari
tujuan dan manfaatnya bagi kemanusiaan itu sendiri.
Memang
keberadaan kebudayaan Simalungun dalam era globalisasi ini telah
dihadapkan pada berbagai tantangan dan hambatan. Dalam upaya
mempertahankan eksistensinya di tengah pembauran masyarakat yang lebih
kompleks dari segi kepentingan dan latar belakang, hendaknya benturan kepentingan tidaklah terjadi. Meski masyarakat ‘pendatang’ sebagai sesama ‘warga
bangsa Indonesia’ hendaknya mereka pun harus mendapat perlindungan,
tuntunan prilaku dari para pewarih tuah budaya tempatan – karena mereka
hidup di tanoh Simalungun.
Variabel-variabel …
Ada beberapa variabel dalam ungkapan ‘Hita Do Sijolom Suhul Ni Pisou’ yang saya terjemahkan sebagai ‘Peran ‘Halak” Simalungun – Sipukkah Huta – sebagai Pewarih ‘Tuah’ Budaya Tempatan, tersebut yakni:
(1) Pewarih,
(2) Tuah Budaya Tempatan (Simalungun),
(3) Tugas dan Tanggung jawab,
(4) Kewajiban dan Hak.
1. Siapa saja pewarih itu?
Menurut saya, yang disebut halak Simalungun adalah: keturunan
Sipukkah Huta (na mamarga Simalungun – Sinaga, Saragih, Damanik,
Purba); keturunan na mamarga Simalungun; yang lahir atau pindah menetap
di daerah Simalungun; mereka yang ‘merasa/mengakui’ dirinya telah
menjadi halak Simalungun; mereka yang dianugrahi sebagai warga
kehormatan Simalungun; dan mereka na marahap Simalungun; yang masih hidup menempati bekas wilayah kerajaan Marompat dan Napittu - yang sekarang disebut wilayah Kabupaten Simalungun dan Kotamadya Siantar modern, dan atau wilayah yang dulunya daerah itu ipukkah – dibuka – Halak Simalungun yang kini berada di luar Kabupaten Simalungun.
Mereka-merekalah yang disebut pewarih itu.
Karena
mereka masih memiliki ikatan batin, kewajiban, tugas, hak, dan tanggung
jawab terhadap estafet pewarisan nilai-nilai kearifan lokal/budaya
Simalungun. Yang terpenting adalah adanya kesadaran untuk menerimanya!
Jika
dahulu ada namanya lembaga Parhabonaron – Para Sibotoh Ajar, Para Guru
pewarih ajaran Batara Guru, yang menjadi penasehat para Raja, Partuanon…
hingga guru-guru di setiap Huta Berbenteng… Dan lalu, sekarang siapa
pewarihnya?
‘Inti
sel’ yang disebut pewarih itu siapa sih? Apakah mereka turunan
partuanon saja? Komunitas Parhabonaron kah? Atau mereka yang bernaung
dalam organisasi Hasimalungunon?
Oleh karena itu, maka perkenankanlah saya untuk menggunakan istilah/nama “Lembaga Tolu Sahundulan Lima Saodoran (Lembaga Tohunlidoran)” dulu, sebagai terusan/lanjutan dari Lembaga Parhabonaron itu (meski belum terbentuk, karena belum ada yang memerankannya), karena peran lembaga Tohunlidoran sangat penting saat ini – berkenan dengan fungsinya. Kenapa? Nanti kita bahas pada bab berikutnya…
2. Suhul Ni Pisou
(Tuah Budaya Tempatan/Simalungun)
Bekas
wilayah adat Simalungun (bekas kerajaan Nagur, atau sebelum Nagur (?),
kerajaan Maroppat, Kerajaan Na Pittu) telah melebur dalam NKRI. Jadi
keberadaan kebudayaan, hukum adat dan ulayat Simalungun mau tak mau
harus mampu hidup berdampingan dengan undang-undang atau hukum nasional
Republik Indonesia. Dan puncak-puncak kebudayaan Simalungun pun tentu
turut termanifestasi dalam Pancasila.
Kenyataan
untuk dapat ‘hidup berbaur’ tentu tak terbendung. Penduduk di Kabupaten
Simalungun, Kotamadya Siantar dan bekas wilayah adat Simalungun yang
masuk ke wilayah di luar Kabupaten Simalungun kini semakin heterogen –
terdiri dari berbagai latar belakang etnis, agama dan kepentingan.
Budaya Tempatan Simalungun
mau tak mau harus menerima atau mampu hidup berdampingan, menyesuaikan
diri dengan berbagai budaya pendatang, kepentingan nasional, asing, dan
derasnya arus informasi. Eksesnya ada yang positif dan negatif.
Diperlukan sikap yang bijak, antisipatif, kreatif dari komunitas pewarih budaya Simalungun tempatan untuk menyambutnya.
Meski
dalam budaya tempatan Simalungun, masing-masing daerah pun (bekas
wilayah bekas kerajaan Panei, Siantar, Tanah Jawa, Dolok Silou) ternyata
pun memiliki kekhasan, keunikan dalam ragam seni, adat istiadat, norma
(budayanya) juga.
Para Sepuh, leluhur/sahala
mengerti betul bahwa setiap jengkal tanah, daerah memiliki ‘aura’,
sifatnya sendiri. Oleh karena itu kekhasan, keunikan itu lahir sebagai
bentuk interaksi antara manusia dengan alam/lingkungan yang unik tadi.
Berdasarkan keunikan, kehkhasan itulah para sepuh, leluhur, tetua,
tutua, para Oppung merancang kebudayaan itu sesuai kebutuhan dan warna daerah tadi. Sebab
setiap jengkal tanah itu berbeda sifat dan auranya (meski masih dalam
wilayah adat Simalungun), jiwanya, spiritnya masih tetap sama – inilah
benang merah itu. Benang merah ini berbentuk ajaran luhur, pengetahuan luhur, tradisi yang bertahan dari zaman-ke zaman.
Bersumber dari Inti yang Satu…
Persamaan
itu disebabkan oleh ajaran spiritual, kearifan para sepuh, oppung,
leluhur (sahala) kita itu. Sekali lagi tujuannya untuk memuliakan
manusia, mengamalkan nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri. Sehingga bila
ada pun pendatang (dahulu kala) dari wilayah di luar wilayah adat Halak
Simalungun, karena esensi spiritnya sama, maka ia tak keberatan ‘larut’
dalam identitas barunya itu. Kenapa? Karena esensinya bersumber dari
yang satu itu: Habonaron Do Bona.
Jadi,
menurut saya, yang terpenting di balik beragam identitas luaran/ fisik
yang terdapat dalam masyarakat suku-suku di Indonesia umumnya, adalah
keutamaan akan ‘kesadaran’ identitas spirit, jiwa, roh manusia yang bersumber dari Ia Hyang Tunggal itu – yang terdapat dalam dirinya.
Identitas luaran; suku, marga, kelahiran di suatu daerah, asal dari suatu daerah semua itu adalah alat untuk
menuju kemuliaan manusia, untuk mencicipi kebahagiaan itu. Dan bukan
malah kita terjebak dalam melihat perbedaan, memperbandingkan identitas
luaran itu. Siapa lebih tua, siapa yang datang duluan, siapa yang lebih
tinggi, lebih mulia. Semua itu akan menceraiberaikan sesama. Bukan lagi Bhinneka Tunggal Ika! Bukan lagi Habonaron Do Bona.
Pertanyaan: Apakah semua itu demi menyadarkan manusia! Bahwa mereka hidup dalam kolam energi yang satu? Itu saja.
Diakui
atau tidak, di sadari atau tidak, bagi generasi muda, bahwa kerusakan
yang terjadi di Bumi, Pertibi akan melahirkan malapetaka. Terutama jika
hubungan dengan alam – ikatan batin, itu telah diputus, maka pemaknaan
budaya itu sendiri akan kehilangan ruh, tuahnya.
Ibarat tubuh tanpa jiwa – meski terlihat hidup normal.
Sesungguhnya
hidup yang melupakan ikatan batin dengan alam/lingkungan tanpa
penghormatan hanya akan menyebabkan kepunahan budaya tempatan tersebut. Alam dan lingkungan adalah ruang, space kita untuk hidup. Menyepelekan keberadaan mereka berarti kepunahan sedang menunggu puak Simalungun.
Hidupkan
tradisi ucapan terimakasih berkenan dengan alam dan lingkungan! Maka
‘tuah’ nya akan mewujud – artinya alam dan lingkungan akan melindungi,
memenuhi kebutuhan manusia yang ada di atasnya.
3. Tugas dan Tanggung Jawab
Lembaga Tolu Sahundulan Lima Saodoran
(Lembaga Tohunlidoran)
Di atas sudah saya tafsirkan bahwa jika dahulu kala, Lembaga Parhabonaron (kaum brahmana) adalah inti ‘sel’ pembentuk, perancang, pemomong, parorot, pelindung suatu masyarakat. Karena perubahan zaman, persisnya siapa penerusnya masih tanda tanya hingga kini di Simalungun.
Perkenankan saya mencoba mendefinisikan fungsi Lembaga Parhabonaron itu adalah sama dengan fungsi Lembaga Tolu Sahundulan Lima Saodoran (Tohunlidoran).
Dalam tradisi Sunda mungkin istilah Lembaga Tolu Sahundulan Lima Saodoran ini similar, kurang lebih menunjukkan makna yang sama yaitu: Rama-Ratu-Rasi/Datu.
· Rama artinya para brahmana yang telah berbudhi, telah mencapai penerangan budi, sebagai penasehat, guru.
· Ratu artinya raja – pelaksana pemerintahan dunia, pelayan, pelindung rakyat. Rakyat adalah mahkotanya – bukan budaknya.
· Rasi/Datu adalah para bawahannya, penguasa daerah yang berada di bawahnya – kurang lebih sama dengan partuanon di Simalungun.
Nah, istilah Rama-Ratu-Rasi/Datu ini saya dapatkan dari penuturan budayawan Sunda, Lucky Hendrawan. Dalam hal menjelaskan kedudukan dan fungsi kurang lebih Lembaga Tolu Sahundulan Lima Saodoran sama dengan Rama-Ratu-Rasi/Datu.
Dalam tradisi kita mereka adalah; Guru Parhabonaron (Guru Bolon) – Raja – Tungkat (Urang Kaya) – Gamot-gamot (Datuk Pamogan) – Pangulu Dusun (Partuanon). Merekalah yang menjadi lembaga ‘Parorot’ Masyarakat Simalungun dahulu kala (formulanya 3-5).
Bahkan hingga ke unit terkecil dalam struktur masyarakat Simalungun pun yakni Huta Berbenteng, keberadaan/peran lembaga Tolu Sahundulan Lima Saodoran ini tetap terdapat di dalamnya.
Jadi apa fungsi dan kedudukan Lembaga Tolu Sahundulan Lima Saodoran itu?
Saya
menyimpulkan bahwa makna dari ‘Tolu Sahundulan’ yang menjadi dasar dari
peran ‘Lima Saodoroan’ itu bersumber dari ajaran kuno, ajaran Batara
Guru yang sekarang disebut warisan peradaban Sindhu, Hindu. Tolu Sahundulan saya terjemahkan sebagai Trimurti: Brahma, Wisnu dan Siva.
· Brahma yaitu energi untuk mencipta.
· Wisnu bermakna energi untuk memelihara.
· Siva bermakna energi untuk mendaur ulang – siklus daur ulang.
“Aspek
mencipta, kemudian dikaitkan dengan pengetahuan, kreatifitas,
kebijaksanaan dan sebagainya. Aspek memelihara berkaitan dengan kasih,
kesejahteraan, kepedulian dan sebagainya. Aspek mendaur ulang berkaitan
dengan pemurnian, pembersihan, kesucian dan sebagainya,” dikutip dari buku; Rahasia Alam Alam Rahasia, Seni Hidup Harmonis Alami, oleh Anand Krishna, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2003, hal. 224.
Sebelum saya melanjutkan pemahaman saya lagi, saya akan mengutip penjelasan Kang Lucky Hendrawan, budayawan Sunda tentang pengertian Rama-Ratu- Rasi/Datu (Tri-Sula-Nagara) tersebut berdasarkan fungsinya: Rama sebagai Guru Spiritual (termasuk sangha-nya/Ashramnya) berperan sebagai Yudikatif – pengawas, pemberi nasehat, dalam sistem pemerintahan kerajaan-kerajaan dahulu. Kemudian, Ratu atau Maharaja, Raja (kepala negara), jika dikaitkan zaman sekarang berperan sebagai Legislatif. Lalu yang terakhir, peran para Rasi/Datu (setara dengan para Gubernur sekarang), berperan sebagai Eksekutif.
1. Rama = Yudikatif
2. Ratu/Raja = Legislatif
3. Rasi/Datu = Eksekutif
Bandingkan dengan:
1. Brahma bisa diartikan sebagai Eksekutif
2. Wisnu sebagai Legislatif
3. Siva sebagai Yudikatif
(Kurang
lebih inilah dasar konsep Trimurti, Trinitas itu jika dikatikan dalam
pemerintahan zaman modern sekarang. Esensinya sama saja.)
Kemudian
jika kita kaitkan dengan sistem pemerintahan kita dahulu di Simalungun,
konsep dasar Trimurti itu dikembangkan menjadi Tolu Sahundulan Lima
Saodoran.
Selanjutnya mari kita segarkan ingatan kita siapa saja yang termasuk dalam Lembaga Tolu Sahundulan Lima Saodoran itu dalam Huta Berbenteng (dahulu).
“Maksudnya tiga kedudukan itu adalah:
1. Tondong
2. Sanina
3. Anak Boru
Kemudian 5 kedudukan atau fungsi itu adalah:
1. Tondong (Paman)
2. Sanina (Saudara)
3. Suhut (Tuan Rumah)
4. Anak Boru Jabu (Ipar kandung, menantu dan panogolan, kemanakan)
5. Anak Boru Mintori ( Ipar-nya Ipar)
… Kalaupun kelima fungsi dan kedudukan di atas di sederhanakan lagi posisi dan kedudukannya, maka sebagai berikut:
1. Suhut dan Sanina berkelompok di satu sudut
2. Tondong berkelompok di satu sudut dan,
3. Anak Boru Jabu dan Anak Boru Mintori berada di satu kelompok.”
(Jelasnya baca: Jalannya Hukum Adat Simalungun, Jahutar Damanik, Bekerjasama Dengan PD. Aslan, 1974, hal 144 – 151):
Dalam sistem pemerintahan kita dahulu peran dan fungsi Tolu Sahundulan dan Lima Saodoran itu pun dapat kita temukan dalam ‘Dewan Harajaan’. Mari kita kutip penjelasan buku; Sejarah
Simalungun, oleh D. Kenan Purba, SH. & Drs. J. D. Purba, Penerbit
Bina Budaya Simalungun, Parsadaan Ni Purba Pakpak, Boru pakon Panogolan
se-Jabotabek, Jakarta, 1995, hal 10-12.
“Dewan Harajaan terdiri dari: Guru Bolon, Raja, Tungkat (Urang Kaya), Gamot-gamot (Datuk Pamogang), dan Pangulu Dusun (Partuanon).”
Bandingkan juga dengan lembaga musyawarah kerajaan Simalungun dahulu; ‘Harungguan Bolon dan Karapatan Nabolon’, pun
unsur-unsur itu masih terdapat di dalamnya. Bahkan secara bertingkat
hingga ke wilayah terkecil pun akan kita temukan kelima fungsi itu,
(baca buku; Jalannya Hukum Adat Simalungun, Jahutar Damanik,Bekerjasama dengan PD. Aslan, 1974, hal 75-80).
Zaman
berputar terus. Hujan badai persoalan pun berkali-kali menghantam
lembaga budaya Simalungun hingga kerajaan-kerajaan Simalungun memasuki
era peleburan ke tubuh NKRI.
Masih ada satu pertanyaan besar! Lembaga manakah yang tepat, pas disebut pewarih Lembaga Tolu Sahundulan Lima Saodoran itu pada era modern ini?
Para
keturunan raja-raja – Partuanon kah? Komunitas Parhabonaron yang masih
belum percaya diri menampakkan dirinya kah? Tokoh-tokoh adat yang
tersebar di setiap huta namun tidak terkodinir itu kah? Lembaga-lembaga
yang mengaku ‘wakil’ masyarakat Simalungun yang begitu banyak itu kah?
Apakah mereka benar-benar telah memerankan fungsi Lembaga Tolu Sahundulan Lima Saodoran itu? Sadarkah kita bahwa Lembaga Tohunlidoran jika kita renungkan sesungguhnya merupakan ‘Rumah Bolon’, “Partongah”, “Partuha” bagi kita warga Simalungun yang terdiri dari berbagai latar; marga, huta, profesi, agama, kepercayaan dll.?
Apakah semua lembaga yang memakai atribut Hasimalungunon pantas disebut Rumah Bolon kita?
Lembaga Tohunlidoran adalah sejatinya ‘rumah bolon’ bagi kita halak Simalungun. Kepentingan
politik, kekuasaan, ekonomi, sosial yang tidak selaras dengan prinsip
kedamaian, cinta dan harmoni TIDAK BISA MENYANDERANYA! Para tokoh
politik, koruptor tidak bisa menyanderanya! Pengusaha tidak bisa
menyanderanya! Sekelompok pemimpin agama tidak bisa menyanderanya!
Sekelompok suku tidak bisa menyanderanya!
Pertibi dan Lembaga Tohunlidoran ibarat: tubuh dan jiwa…
Sehingga yang pantas menjadi tetua, sepuh, dari Lembaga Tohunlidoran ini adalah mereka-mereka
yang berbudi, tidak rasis, nasionalis, tidak sedang rangkap jabatan
dalam partai politik, rangkap jabatan dalam lembaga agama dll.
Mereka disebut tetua, sepuh, partuha karena HIDUP MEREKA TELAH
DIDEDIKASIKAN UNTUK MELAYANI MANUSIA YANG HIDUP DI PERTIBI SIMALUNGUN
(TANPA MEMANDANG ASAL USUL DAN LATAR BELAKANG) DAN ALAM/LINGKUNGAN
DAERAH SIMALUNGUN. Merekalah yang pantas disebut pemangku Adat
Simalungun itu, karena mereka hidup untuk semua orang, meskipun jati
diri mereka sebagai Halak Simalungun.
Sebab Lembaga Tohunlidoran lebih besar dari semua lembaga yang ada di daerahnya!
Lembaga
Tohunlidoran adalah pemangku, parorot, pemomong yang berhubungan dengan
evolusi manusia Simalungun, kebahagiaan manusia yang berada di atas
Pertibi Simalungun.
Lembaga Tohunlidoran tidak
berurusan dengan ‘perburuan’ kekuasaan. Bebas dari rayuan ‘ketamakan’
manusia yang selalu ingin mengincar kekayaan Pertibi Simalungun dengan
sifat licik eksploitasi, manipulasi yang tak bertanggung jawab.
Kenapa?
Karena bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah
untuk kebahagiaan bersama (Sesuai dengan Pasal 33 UUD 45) juga sama
dengan tujuan dari pengadaan tanah ulayat dahulunya. Izinkan saya
menyimpulkan tugas dan tanggung jawab Lembaga Tohunlidoran secara sederhana;
1. Menjaga, melindungi, merawat ‘sumber’ penghidupan warga daerah Simalungun sebagai daerah ‘agraris’ seperti Gunung, Mata Air, Sawah, Ladang, Danau, lembah dll. Tempat-tempat
ini merupakan wujud dari pemberian Tuhan Yang Maha Esa yang secara
batin merupakan sumber penghidupan. Budaya Simalungun menganggap
tempat-tempat ini ‘sakral’ dan mesti ‘dihormati’ dalam berbagai tradisi
ucapan syukur.
2. Mengkontekstualkan warisan budaya-adat istiadat Simalungun sesuai dengan perkembangan zaman.
3.Mendayagunakan, mengorganisir semua potensi-potensi warga Pertibi Simalungun demi kemakmuran, kesejahteraan, keadilan sosial dan kebersamaan.
4. Mengupayakan
lahirnya para budayawan muda Simalungun yang mengetahui, mendalami,
mere-interpretasi budaya Simalungun agar terdokumentasi secara akademis.
5. Menghidupkan kembali tempat-tempat sakral yang memiliki nilai historis berkenan dengan sejarah kebudayaan Simalungun.
6. Menegakkan
pelaksanaan Budaya Simalungun yang relevan dan bermanfaat demi
aktualisasi jati diri Halak Simalungun – sebagai Sipukkah Huta.
7. Menghidupkan kembali tradisi tahunan Pesta Panen Rakyat dalam bentuk pesta ucapan terimakasih kepada Tuhan Yang Maha Esa.
8. Membaca-tanda-tanda
alam, bahwa dampak prilaku manusia yang negatif yang hidup di atas
tanah Simalungun bisa menimbulkan bencana.
9. Mengorganisir
para tetua adat yang tercerai berai di setiap daerah agar
pengetahuan/kearifan itu tidak hilang, punah, sebab merekalah yang
menjadi ujung tombak dari pelaksanaan hukum adat Simalungun yang masih
relevan.
10.Menghidupkan kembali koperasi-koperasi adat – lembaga sauhur, yang berkenan dengan hasil alam demi antisipasi masa paceklik.
11.Mendirikan ‘huta adat/ huta mandala’ tempat para sepuh bekerja – jika ada tanah ulayat hal ini pastilah memungkinkan, dll..
4. Kewajiban dan Hak
Secara
konteks, sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan zaman, dari ‘Huta
Adat/Huta Mandala’ inilah Lembaga Tohunlidoran menjalankan kewajibannya.
Adapun kewajibannya secara garis besar menurut saya adalah:
Melindungi
muatan ajaran spiritual Hasimalungunan, memberi nasehat kepada
pihak-pihak yang ingin mengolah sumber daya alam sesuai dengan
nilai-nilai budaya berkenan dengan hubungan manusia dengan alam dan
lingkungan, memberi perlawanan terhadap eksploitasi alam, lingkungan
yang dilakukan pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab, melindungi
tempat-tempat sakral, historis halak Simalungun, memimpin acara/tradisi
budaya Simalungun – pemuka adat, berkenan dengan tradisi panen,
perlindungan alam, konflik sosial dll..
Hak-hak
Berdasarkan kompetensi mereka, Lembaga Tohunlidoran berhak
memberi tafsiran, saran perihal kebudayaan Simalungun di dalam dan luar
wilayah Simalungun (dalam hal ini saya tidak akan berpanjang lebar).
Perubahan…
Kita
memang harus bisa melepaskan hal-hal yang tidak relevan, tidak berguna,
tidak cocok lagi dengan perkembangan zaman demi mempertahankan jati
diri Halak Simalungun. Namun jika kita peras makna dan hakekat
kebudayaan itu, yang tertinggal hanyalah ajaran luhur yang bersifat universal demi keteraturan hidup, kenyamanan hidup, dan kebahagiaan hidup. Nilai-nilai universal itu pula yang terdapat dalam banyak agama.
Jika dahulu, Lembaga Tohunlidoran di
tingkat Huta Berbenteng dirancang sesuai dengan kondisi struktur
masyakarat dan sistem pemerintahan kala itu, maka perubahan telah
menantang kita. Sistem kemasyarakatan kita telah berubah menjadi sistem
Rukun Warga (RW), Rukun Tangga (RT). Lalu masih efektifkan penerapannya?
Karena dalam satu RW/RT pun masyarakatnya sudah heterogen. Hubungan itu
tidak berdasarkan Hukum Adat Simalungun lagi!
Nah, apakah penerapan fungsi dan kedudukan; Tondong, Suhut, Sanina, Anak Boru Jabu dan Anak Boru Mintori, hanya dilakukan dalam adat kelahiran, perkawinan, kematian, …. saja?
Padahal Lembaga Tohunlidoran ini dahulunya berhubungan dengan dimensi Karya, Rasa, dan Cipta, berkenan dengan hubungannya dengan sesama, alam dan Tuhan. Lembaga
ini tidak bersifat statis. Kenapa Tondong dihormati dahulunya? Karena,
siapa pun yang menyandangnya harus terlebih dahulu mendapat bekal dari
para Guru Parhabonaron, digembleng dulu, magang dulu agar pantas disebut
Tondong – lewat ajaran spiritual. Jadi semua peran itu bukan diterima begitu saja, terjadi begitu saja.
Bahkan sebelum pembukaan sebuah Huta Berbenteng pun harus ada
syarat-syarat yang ketat dari penetua, sepuh dari para Guru-guru
Parhabonaron.
Hmm… ini tantangan terbesar kita, sehingga tradisi, adat kita itu tidak sekedar seremoni tanpa jiwa.
Kesimpulan
Fungsi dan kedudukan Lembaga Tohunlidoran pada sebuah keluarga batih, marga, dan masyarakat Simalungun secara keseluruhan harus didefinisi ulang.
Bahwa Lembaga Tohunlidoran tidak
hendak menjadikan suku Simalungun sebagai Sipukkah Huta di tengah
suku-suku lain eksklusif dan arogan di setiap jengkal tanah Simalungun.
Malah harus memberdayakan segenap elemen Suku Simalungun agar ia pantas
disebut Keturunan Sipukkah Huta yang menjadi warga teladan – paradat.
Kepemimpinan Lembaga Tohunlidoran Lembaga
Tolu Sahundulan Lima Saodoran – Sipukkah Huta, menandakan Suku
Simalungun memiliki tugas, tanggungjawab, kewajiban LEBIH berkenan
dengan menjaga kehidupan harmonis antar sesama dan kelestarian
alam/lingkungan.
Menyikapi
perubahan lainnya dalam konteks mengantisifasi adanya upaya penegakan
syariat agama (Kristen, Islam, Hindu, Budha) seperti yang sudah terjadi
di wilayah adat tetangga, maka Lembaga Tohunlidoran harus menjadi ‘Rumah Bersama’ untuk menciptakan peace, love dan harmoni. Semua untuk satu dan satu untuk semua. Tanoh Simalungun bukan untuk kepentingan suatu golongan saja.
Sehingga
suku Simalungun yang terdiri dari banyak ragam latar belakang
keyakinan, dan juga pendatang lainnya yang hidup di Pertibi Simalungun
dapat hidup harmonis dengan Lembaga Tohunlidoran sebagai Partongah dan Partuha.
Hubungan kekerabatan yang sudah terjalin lama harus dijaga
keharmonisannya, sesuai dengan Pancasila dan falsafah Bhinneka Tunggal
Ika.
Sebagai partongah dan partuha, Lembaga Tohunlidoran memiliki
tugas mulia untuk mengantisifasi tekanan politik, kekuasaan dari
partai-partai politik dan kelompok kepentingan lainnya yang hendak
memaksakan kehendak dalam rangka eksploitasi sumberdaya alam yang jelas
akan merusak ekosistem.
Kita sudah mengetahui dari para leluhur yang telah berbudi bahwa sifat, tujuan dari budaya adalah: Shreya (Sanskrit). Shreya,
maksudnya demi memuliakan manusia, untuk meninggikan nilai-nilai
kemanusiaan yang universal, demi kebahagiaan manusia yang hidup di
Pertibi Simalungun. Dan bukan Preya. Preya artinya demi kesenangan semata. Karena itulah demi tuntutan zaman, Lembaga Tohunlidoran adalah bersifat Shreya.
Hita Do Sijolom Suhul Ni Pisou! Hita Do Sipukkah Huta! Hita Do ‘Inti Sel’ i Huta ta!
(Sumber : http://www.davidpurba.com)
0 Comments