Info Terkini

10/recent/ticker-posts

DRAF FINAL "Selamat Tinggal Simalungun"



  Komponis dari Kerajaan Raya
 
BERITASIMALUNGUN.COM-Setiap zaman memiliki cerita sendiri. Pada zamannya Taralamsyah tergolong beruntung. Dia lahir di lingkungan kerajaan persisnya di Pematang Raya pada 18 Agustus 1918. Saat itu kerajaan adalah pemangku pemerintahan lokal, penentu tatanan sosial, politik serta pelestari budaya termasuk musik tradisional. Inilah lingkungan awal yang membentuk Taralamsyah berjiwa musikal.

Kerajaan memiliki instrumen musik tradisional paling lengkap dan memfasilitasi pertunjukan budaya. Acara penobatan hingga kematian seorang raja misalnya, wajib diiringi musik. Ini otomatis mendorong geliat seni budaya. Kerajaan pun melakoni pendidikan seni musik untuk melanggengkan acara ritual internal seperti itu. 

Pusat peradaban paling maju dan utama di Simalungun saat itu ada di kerajaan, termasuk Kerajaan Raya.
Taralamsyah pun diturunkan dari raja tenar yang keturunannya berbakat besar di bidang musik. Tradisi musik dan bakat alamiah kekuarga menjadi cikal bakal lahirnya Taralamsyah sebagai musisi terbesar Simalungun sepanjang masa. 

Secara genetika dia mewarisi bakat musik. Raja Rondahaim (1831 – 1889) bernama asli Tuan Namabisang adalah kakek kandungnya. Rondahaim merupakan salah satu raja paling terkenal di Simalungun dan paling banyak dibicarakan. Rondahaim bertahta selama periode 1857 – 1889 dan memiliki 54 putra dan putri.

Penerus Rondahaim adalah putra tertuanya, Tuan Sumayan (1859 – 1932) dengan nama asli Tuan Hapoltakan dan bertahta periode 1889 – 1932. Dia inilah ayah kandung Taralamsyah yang memiliki 39 saudara dan saudari dari 60 orang istri Tuan Sumayan. 

Tuan Sumayan menurunkan Tuan Gomok (1879 – 1940) yang menggantikan Sumayan sebagai Raja Raya.
Di urutan ke-10 dari anak Tuan Sumayan ada Tuan Jan Kaduk, yang menurunkan Bill Saragih, almarhum penyanyi jazz terkenal Indonesia pada dekade 1980-an dan 1990-an. Tuan Kaduk sendiri merupakan ningrat Simalungun dengan bakat besar pada musik dan menjadi pendidik musik andalan kerajaan. Bersama Taralamsyah dia pernah menciptakan lagu. 

Jan Kaduk menjadi Raja Raya setelah abangnya Tuan Gomok wafat tahun 1940. Perannya sebagai Raja semakin memuluskan dunia musik tradisional Simalungun.

Tuan Taralamsyah ada di urutan ke-40 sebagai anak Tuan Sumayan. Dia benar-benar kental dengan musik karena bakat alamiah keluarga serta peran aktif sebagai salah satu pemain musik di lingkungan kerajaan.
Ini adalah berkat. Namun kemudian ini menjadi “kutukan”. 


Di era revolusi sosial musik tradisional Simalungun dianggap sebagai warisan feodal sehingga turut mengalami bumi hangus oleh para pelaku revolusi sosial. 

Lepas dari itu, sebelum wafat pada 1 Maret 1993 di Jambi, Taralamsyah menuliskan riwayat hidupnya. Ada catatannya dengan mesik ketik bertuliskan, “Sebagai anak seorang raja, kami diharuskan menguasai permainan musik tradisional Simalungun di Istana Raya. Karena itu kami mengeyam pendidikan di bidang seni musik,” demikian Taralamsyah.

Dalam perjalanan karirnya musik gonrang sedang jaya-jayanya. Karena itu Taralamsyah tetap tampil sebagai pemain musik gonrang dalam banyak acara kerajaan. “Saya ikut sebagai pemain dan menyaksikan sendiri acara penobatan raja yang tak lepas dari iringan musik gonrang,” kata Taralamsyah.

Ada banyak keturunan raja yang handal tentang musik. “Hingga muncul istilah umum di kerajaan, begitu terlahir ke bumi keturunan Raja Raya sudah bisa benyanyi,” demikian Edy Taralamsyah, putra Taralamsyah, memberi perumpamaan tentang talenta musik besar yang menjadi ciri khas dan kebanggaan Kerajaan Raya.

Namun Taralamsyah lebih beruntung bahkan menjadi keturunan paling menonjol sebagai musisi dari lingkungan kerajaan. Dia memiliki talenta terkomplit sejak zamannya hingga sekarang. Ini dimungkinkan berkat penajaman kemampuan musikal Taralamsyah. Dia belajar musik termasuk belajar permainan biola dari guru musik. 

Sang guru itu salah satunya adalah abang kandung sendiri dengan usia 19 tahun lebih tua, yakni Jan Kaduk Saragih. Sayangnya Jan Kaduk meninggal di usia relatif dini, 47 tahun, saat memangku jabatan Raja Raya karena dieksekusi oleh pasukan revolusioner pada 3 Maret 1946.

Pendidikan musik amat dimungkinkan karena keluarga kerajaan memiliki privilis bersekolah. Beda dengan rakyat jelata yang tidak mendapatkannya karena demikian penjajah Belanda memberi aturan. Sekolah hanya untuk keturunan dari lingkungan kerajaan.

Sebagai anak raja Taralamsyah mendapatkan pendidikan di Hollandsch Inlandsch School (HIS) setara sekolah dasar dengan metode pendidikan Belanda di Pematang Siantar. Kesempatan ini membuat Taralamsyah bebas buta huruf, satu hal yang saat itu menjadi ciri khas utama warga.

Sebagai guru musik, Jan Kaduk tegas menerapkan disiplin. “Jika kita malas berlatih termasuk jika tak serius kita bisa dicambuk,” kata Enna Saragih Garingging (79), adek kandung almarhum musisi nasional Bill Saragih. 


Enna dan Bill adalah putra dan putri kandung Jan Kaduk.
Namun dari generasi dan lingkungannya, Taralamsyah adalah satu-satunya yang paling profesional dan paling konsisten melanjutkan bakat musik. Karena bakatnya terus dia asah. 

Dia kemudian tidak sekadar musisi besar tetapi juga sekaligus budayawan yang paling paham seni budaya Simalungun. Maklum, sembari bermusik para anak-anak raja juga diajarkan kebudayaan, adat istiadat serta tata karma. Ini karena seni musik yang mereka pelajari bukan saja bertujuan sebagai sarana hiburan tetapi sekaligus sebagai sarana mempertunjukkan simbol-simbol kehidupan. 

Tahapan pendidikan musik

Periode pertama pembentukan bakat musik Taralamsyah berlangsung selama 1926 – 1930. Dia usia delapan tahun Taralamsyah sudah mulai dicekoki musik dengan “manggual”. Ini adalah istilah untuk memukul gendang (gonrang) tradisional Simalungun. Ketukan gonrang beserta instrumen gong dikombinasikan dengan liukan bunyi serunai (sarunei). Ini menjadi santapannya tiap hari.

Jumlah musik gonrang saat itu tidak banyak. Menurut Taralamsyah, sebelum revolusi sosial tahun 1946 hanya ada sekitar 200 seni musik untuk jenis hiburan, musik sakral dan lagu rakyat. Belajar hal yang sama selama empat tahun membuatnya paham semua jenis hiburan hingga paham luar kepala pola ketukan dan nada gonrang.

Diajarkan musik sejak usia dini membuat Taralamsyah hafal luar kepala semua musik gonrang. Pendidikan sejak usia dini paling efektif mencetak musisi apalagi jika itu didukung bakat alamiah dan sentuhan pendidikan. “Semua ada di sini,” kata Taralamsyah menunjuk kepalanya tentang kemampuannya pada seni budaya Simalungun.

Di usia delapan hingga dua belas tahun Taralamsyah juga diajarkan makna dan fungsi setiap musik gonrang. Daya ingatnya sangat kuat berkat daya intelektualnya yang dikategorikan jenius oleh keponakannya, Djawasmen Purba. “Dalam pandangan saya dia seorang jenius di dunia musik,” kata Djawasmen yang berusia 79 tahun pada Januari 2014. 

Dinaria Garingging, saudari Taralamsyah dari beda ibu, adalah ibunya Djawasmen. Beranjak remaja dunia musik terus menarik minatnya. Pada periode 1930 - 1933 Taralamsyah melanjutkan profesi dengan mempelajari not-not atau solmisasi. Selama periode ini, menurut Taralamsyah, dia telah menotasi lagu-lagu dan musik gonrang Simalungun. 

Dari nada yang dia dengar, Taralamsyah langsung bisa memberi notasi. Hal ini sudah bisa dia lakukan di usia 15 tahun, bukti kejeniusannya. Djawasmen bahkan tak ragu menjulukinya sebagai Beethoven dari Simalungun.

Latihan notasi ini semakin memperkuat eksistensinya sebagai musisi bernas sejak usia muda. Dia terus berkembang menjadi komponis dan pencipta lagu. Dia menjelma layaknya seorang pelamun tentang lagu, yang kemudian dia terjemahkan menjadi melodi dengan notasi dan lirik.

Kemampuannya soal lirik juga tak lepas dari sebuah kebiasaan di kerajaan. Tradisi kerajaan tidak hanya mengajarkan musik dan instrumen. Taralamsyah juga diajarkan kosa kata Simalungun kuno. 


Kerajaan memiliki kebiasaan untuk mengekspresikan sesuatu lewat peribahasa, ungkapan, serta pantun, termasuk yang disebut “umpasa”. Ini menumbuhkan talenta penyair seperti banyak kerajaan Melayu yang pernah memunculkan sastrawan besar seperti Amir Hamzah.

Pelajaran tentang “umpasa” membuat Taralamsyah memiliki perbendaharaan kata dan kemampuan improvisasi bahasa. Kata-kata dan kalimat-kalimat di acara kerajaan memiliki arti berstrata tinggi dengan bunyi dan makna kalimat yang luhur. 

Dari sinilah berkembang pemahaman dan kemampuan Taralamsyah untuk menorehkan lirik-lirik lagu yang tergolong maju pada zamannya tetapi autentik khas Simalungun. Hingga kini lirik-lirik lagunya dirasakan meresap dan memesona.

Jadilah Taralamsyah sebagai seorang yang tidak saja piawai melodi musik, tetapi juga membuatnya sebagai musisi yang dikagumi karena kalimat-kalimat yang enak didengar pada setiap syair lagunya. Hingga sekarang pun sangat langka keberadaan musisi Simalungun dengan kemampuan penuangan syair lagu yang puitis sarat makna.

Eksternalitas seperti inilah membedakan Taralamsyah dari semua pemusik Simalungun, sejak dulu hingga sekarang. Dia belajar musik dan juga aspek budaya yang menjadi kerangka keberadaan musik. Dia belajar kosa kata dari lingkungan yang terbiasa dengan tradisi “umpasa”. Dia belajar melodi, dengan peruntukan yang unik seperti melodi khusus untuk suasana kegembiraan, suasana pengharapan untuk warna kesedihan.
Mengharapkan hadirnya musisi sekaliber Taralamsyah rasanya kini seperti mustahil dengan kepunahan arsip-asip seni dan budaya akibat revolusi sosial.

Lepas dari itu di usia 15 tahun Taralamsyah tidak saja paham musik gonrang dan segala aspek budaya penopangnya. Akan tetapi juga berkiprah ke jalur musik-musik biasa. Dia tahap ini dia tidak saja bisa “manggual” tetapi juga memainkan aneka jenis instrumen serta mulai menggubah lagu pop untuk kalangan rakyat biasa.

Kehebatannya di segala aspek musik dan budaya membuat Taralamsyah semakin matang. Kemudian dia beranjak lebih lanjut. Dia menjadikan musik sebagai jalur hidupnya.

Taralamsyah sendiri menuliskan bahwa periode 1934 – 1936 dia telah membentuk kumpulan seni musik modern. Dia beranjak lebih jauh lagi, melakoni drama musikal dengan membentuk tim musik sendiri. Saat ini tak ubahnya dia sudah seperti pemusik handal di usia belia, yakni pada usia enam belas tahun.

Kemudian Taralamsyah beranjak menjadi pelatih musik. Ini dia lakukan sembari mengelola sebuah grup musik untuk sarana pertunjukan, dengan mengambil nama “Siantar Hawaian Band”. 

Taralamsyah terus berkembang. Aneka jenis musik tampak dia kuasai termasuk koor. Di Pematangsiantar dia membentuk perkumpulan koor di sebuah rumah sakit. 

Di usia 20 tahun atau pada tahun 1938 Taralamsyah sudah masuk dapur rekaman dalam bentuk dua piringan hitam ODEON di Medan. Rekaman juga dilakukan lagi pada tahun 1940, yakni di empat piringan hitam dengan iringan orkes modern.

Di usia yang tidak remaja lagi dan saat sudah memasuki usia pemuda, Taralamsyah terus melanjutkan permainan musik. Selama periode 1942-1947 dia terlibat dalam grup musik yang dia bentuk bernama SIANTAR GEKIDAN.

Ada periode yang membuat Taralamsyah terpaksa berhenti bermain musik, yakni periode 1947-1951. Ini adalah periode usai revolusi sosial yang dilanjutkan dengan agresi militer Belanda pertama berlanjut dengan agresi kedua. Periode ini adalah sebuah kehebohan sosial politik dengan korban banyak nyawa.

Di saat kritis ini karir musiknya terganggu karena sedang dalam pengungsian ke Bukti Tinggi dan Aceh. Ini adalah masa-masa paling heboh bagi para ningrat, termasuk para musisi SImalungun yang dicap warisan feodalisme. Bukan saja orangnya yang dianggap feodal tetapi juga musiknya.

Keadaan relatif aman baru tercipta pada 1952. Dia kemudian bekerja sebagai pegawai Departemen Keuangan. Namun dia tidak meninggalkan dunia musik yang sudah mengikat jiwanya.Selam a delapan belas tahun (periode 1952 – 1970) di Medan dia membina kesenian Simalungun.

Pada periode ini, Taralamsyah menjadi wakil utama Simalungun saat perekaman lagu-lagu daerah termasuk lagu-lagu Batak, khususnya Simalungun, atas permintaan Lokananta lewat Radio Republik Indonesia (RRI). 

Ada masa di Orde Lama, penonjolan musik lokal adalah semacam keharusan dan musik Barat “diharamkan”. 

Di studio RRI Medan direkamlah lagu-lagu Simalungun dan hampir seluruhnya merupakan karya Taralamsyah. Ini adalah proyek perusahaan rekaman negara bernama Lokananta, milik Departemen Penerangan RI.

Tidak ada pesta yang tidak berakhir. Ini juga ditambah dengan hilangnya dukungan pada seni musik Simalungun, yang selama periode 1960-an hingga 1970-an sering ditopang oleh mantan Bupati Simalungun Radjamin Purba. 


Taralamsyah seperti turut kehilangan dukungan dan kehilangan kesempatan untuk bermain musik setelah Radjamin pensiun.

Taralamsyah pun seperti menghadapi kebuntuan. Hanya saja jiwanya tetap tak bisa lari dari musik dan budaya. Beberapa upaya dia coba lakukan untuk terus menyalurkan bakat dan menjalani profesi. Tujuannya agar musik terus bergema. 


Namun pernah musik mendera jiwanya yang tak mampu mengisi kantongnya. Sejumlah kerabat pun pernah sangat iba pada semangat musik yang pernah membuatnya tak manusiawi secara ekonomi. Hingga dia pernah ditolong keponakannya, Enna Saragih Garingging, yang mendorong kursus tari dengan iuran. Pertolongan ini melegakan tetapi tidak kunjung bisa mendukung kehidupannya dan keluarga secara ekonomi. 

Musik yang dia geluti akhirnya malah membawa Taralamsyah pada perjuangan dengan titik terakhir yang mengubah drastis perjalanan hidupnya. Status pemusik “luntang-lantung” dia alami dan ini diakui keluarga.
Akan tetapi Tuhan seperti mendengar kegalauannya. Muncul permintaan dari Pemerintah Daerah Jambi untuk mengembangkan kebudayaan Jambi. Permohonan datang dari almarhum mantan Gubernur RM Noor Atmadibrata.Jadilah Taralamsyah meninggalkan Medan menuju Jambi dengan naik armada bus merek Sibualbuali pada tahun 1971.
SELAMAT TINGGAL SELAMANYA SIMALUNGUN dan SUMATERA UTARA. SELAMAT TINGGAL ETNIS YANG TANPA SADAR TELAH MERELAKAN KEPERGIAN ANAKNYA YANG GENIUS MUSIK. (Simon Saragih)

Berita Lainnya

Post a Comment

0 Comments