Info Terkini

10/recent/ticker-posts

Petani Desa Hunalang Mendulang Rupiah dari Kotoran Sapi

"Gereta Horbo" Transportasi Pertanian di Simalungun, Khususnya di Kecamatan Silimakuta.IST
*Kelompok Tani Binaan Bank Indonesia

BERITASIMALUNGUN.COM, Purba-Di pedalaman Nagori (desa) Hinalang, Kecamatan Purba, Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara nun asri, semangat para petani  yang tergabung dalam Kelompok Tani Maju (salah satu kelompok tani binaan  Bank Indonesia) tak kalah dengan hiruk pikuk perkotaan yang berkejaran dengan  putaran roda waktu.

Berbekal semangat dan keahlian bercocok tanam yang diwarisi secara turun temurun, kelompok tani di desa ini perlahan mulai melihat secercah harapan akan hari esok yang lebih baik. Bukannya mimpi di siang bolong, harapan itu tidak hanya sebatas angan-angan penggembala yang tertidur di bawah pohon  Hariara.

Jika sebelumnya petani yang tergabung dalam kelompok ini hanya dihadapkan dengan cangkul dan kotoran ternak, sejak kehadiran Bank Indonesia lewat Program Sosial Bank Indonesia (PSBI) pada tahun 2012 silam. 

Sekitar 20 orang petani yang tergabung dalam UMKM kelompok tani Maju di desa ini mulai merasakan dampak positif dari usaha mereka, baik dari segi peningkatan produksi pertanian  maupun ilmu pengetahuan , serta kesadaran mereka akan lingkungan hidup.

Sebelumnya kelompok ini sudah terbentuk sejak sekitar empat tahun silam, namun hanya sekadar sekawanan petani yang sering berkumpul dan berbagi cerita saja. 

Hingga akhirnya Bank Indonesia melakukan pendekatan yang menyentuh secara langsung (promotionale role), mulai dari kegiatan pelatihan, penyediaan informasi, hingga pemberian bantuan teknis.

Kelompok ini akhirnya diarahkan dan dibina lewat beberapa program yang telah berhasil dikembangkan BI di tempat lain.

Sepuluh ekor sapi milik anggota kelompok yang sebelumnya ditambatkan di sekitar rumah masing-masing akhirnya disatukan di dalam satu kandang. Namun anggota yang memiliki ternak tidak diberatkan dengan biaya pembuatan kandang, melainkan dengan menggunakan bantuan berupa hibah yang diberikan BI.

Anggota kelompok ini pun diajarkan tentang keuntungan yang akan didapat dengan pola baru tersebut. Sepuluh ekor sapi yang sebelumnya tergembala tak beraturan, kini sudah ditempatkan di satu kandang. Sebelumnya sapi – sapi milik petani ini tanpa disadari telah  ikut menyumbangkan kerusakan lingkungan dan pemanasan global (global warming ) lewat  gas metana dari kotoran sapi yang  terbuang lepas ke udara.

Seperti dikutip dari  “laporan PBB (FAO) yang berjudul livestock’s long shadow: enviromental issues and options (dirilis bulan november 2006), PBB mencatat bahwa industri peternakan menghasilkan emisi gas rumah kaca yang paling tinggi (18%), jumlah ini melebihi gabungan dari seluruh transportasi di seluruh dunia (13%). 

PBB juga menambahkan bahwa emisi yang dihitung hanya berdasarkan emisi co2 saja, padahal industri peternakan juga merupakan salah satu sumber utama pencemaran tanah dan air bersih. 

Peternakan melepaskan 9 % karbondioksida dan 37 % gas metana (23 kali lebih berbahaya dari co2). Selain itu, kotoran ternak menyumbang 65 % nitrooksida (296 kali lebih berbahaya dari co2), serta 64 % amonia penyebab hujan asam.”

Di Nagori Hinalang , Kelompok Tani  Maju , tak lagi membiarkan  kotoran sapi  merusak lingkungan, dengan  Bio digester  yang juga dihibahkan Bank Indonesia, kotoran sapi  ini diolah menjadi biogas yang  menghasilkan  bahan bakar gas yang bisa digunakan sebagai sumber energi panas. 

Tak hanya sampai disitu, kotoran sapi yang biasanya mereka  gunakan sebagai pupuk  untuk pertanian mereka kini dapat dimanfaatkan lebih efisien dan praktis . Kini mereka menggunakan Sellury  (pupuk  dari proses bio digester  yang sudah berbetuk cairan ) , praktis dan ramah lingkungan.

Saat berkunjung ke lokasi tersebut, penulis  mendapat penjelasan dari Mansen Sipayung (54) salah seorang anggota kelompok yang begitu bersemangat  bercerita tentang kelompoknya.

Mansen, petani yang memiliki tiga orang anak ini  menjelaskan sebelumnya ia sempat  meninggalkan profesinya sebagai petani , ia memilih jadi pedagang sayuran yang membawa hasil bumi dari desanya ke  pusat pasar di Pematag Siantar. Namun karena  faktor  financial yang tak mencukupi dari hasil berdagang , ia pun kembali bertani untuk memenuhi kebutuhan 3 anak  dan istrinya.

Dua  ekor sapi miliknya pun digabungkan satu andang dengan milik rekan kelompoknya. Setiap harinya  tiap pemilik sapi member makan  sapi milik masing- masing sedangkan untuk sellury yang dihasilkan dari biodigester mereka manfaatkan secara bersama –sama untuk lahan pertanian cabe dan tomat .  

 Ia juga mengaku  kalau  saat ini  biogas yang dihasilkan dari biodigester kelompoknya telah mampu menyuplai kebutuhan bahan bakar gas   untuk empat rumah tangga. Namun karena rumah nasing-masing anggota  letaknya agak jauh dari lokasi kandang maka  sementara waktu mereka memberikannya secara cuma-cuma  kepada warga sekitar.

“ Untuk saat ini   sellurry  dari bio digester ini masih mencukupi untuk kebutuhan  pertanian kami, sedangkan gasnya uda bias dipake empat  rumah tangga. Tapi sementara ini kami kasi gratis dulu lah sama warga, rumah kami agak jauh “. Jelas Mansen.

Harapan  Mansen dan kelompoknya agar  Bank Indonesia tetap mendampingi mereka . “ Saat ini memang kami belum mendapatkan uang yang begitu besar secara langsung dengan adanya bio digester ini, namanya juga baru permulaan. Tapi kami yakin kedepan ini akan menghasilkan keuntungan yang besar” . jelasnya lagi.

Setiap harinya  dari 10 ekor ternak sapi Bio digester  kelompok ini  dapat menghasilkan sampai sekitar 300 liter sellury. Kepada warga yang ingin membeli Sellury  , kelompok ini menjualnya senilai  Rp 3000 / jerigen (20 liter). Harga ini memang masih jauh lebih rendah disbanding harga yang dibanderol peternak di Jawa yang  mencapai  Rp 500 – 1000  per liternya.

Dengan demikian  “Kotoran Sapi” milik  kelompok tani ini sudah dapat menghasilkan rupiah yang lumayan. Asumsinya , jika  tiap rumah tangga mengabiskan 3 tabung gas elpiji 3 kg perbulannya . Maka  Bio digester ini telah dapat menyuplai  12 tabung gas perbulan , dengan rincian harga sekitar  Rp 15 ribu pertabungnya . 12 tabung  x  Rp15000 =  Rp180 ribu  perbulanya akan dihasilkan dari penjualan biogas.

Ditambah lagi dari hasil penjualan sellury , dengan asumsi  300 liter  x  30 hari  = 9000 liter. Jika  1 liter sellury bernilai Rp 500 maka  9000 liter x Rp 500 = Rp 4,5 juta akan dihasilkan tiap bulannya dari sellury.

Ini baru dihasilkan 10 ekor sapi, sementara kandang dan biodigester yang dihibahkan  Bank Indonesia   dapat menampung 20- 25 ekor sapi. Dengan demikian  hasilnya akan bertambah dua kali lipat. Sebelumnya pihak Bank Indonesia juga sudah pernah memberi bantuan hibah dana  sebesar  Rp 14 juta  untuk  modal budia daya cabe dan sayuran.

Asumsi ini dibenarkan oleh Frans Gustav Sirait, Konsultan Pengembangan Usaka Mikro Kecil dan  Menengah(UMKM) Bank Indonesia Siantar.”Idealnya 2-3 ekor sapi dapat menyuplai kebutuhan  energy panas dalam bentuk gas, untuk dsatu rumah tangga. Jadi kalau 10 ekor sapi bisa menyuplai kebutuhan gas  4-5 rumah tangga.Kapasitas Bio Digester bantuan Bank Indonesia ini dapat menampung 20- 25 ekor sapi.” Jelasnya.

Program ini sendiri  merupakan peran Bank Indonesia dalam membantu pengembangan  dan pemberdayaan UMKM dalam rangka mencapai  pertumbuhan ekonomi yang stabil dan berkelanjutan, sesuai dengan fungsi dan tugas nya  sebagai  bank sentral. Dimana saat ini Bank Indonesia tidak lagi  memberikan bantuan  keuangan dan kredit likuiditas.

Kepala KPw.BI Pematangsiantar, Agus Budiono mengatakan, kepedulian kepada masyarakat sekitar/relasi komunitas kata dia, dapat diartikan sangat luas. selain wujud penerapan prinsip Good Corporate Governance juga terkait untuk mendukung pencapaian tujuan Millenium Goals Development.

Agus Budiono didampingi, Kasi Kelommpok Pemberdayaan Sektor Riil dan UMKM, James Lumbantobing, Kasi Survey dan Statistik, Siska Sihaloho, dan Konsultan Pengembangan UMKM, Frans Gustav Sirait beberapa waktu lalu pun mendatangi  kelompok tani binaannya.( Rivay Bakkara/Kompasiana)

Berita Lainnya

Post a Comment

0 Comments