Foto IST/Dok Simon Saragih |
* Tirulah Taralamsyah “Martir”Musik Itu
Mungkin tidak akan ada lagi musisi Simalungun seperti Taralamsyah. Atau setidaknya akan sulit mendapatkan musisi yang setara dengannya. Hal itu terbukti sejauh ini secara implisit. Musik Simalungun terus menerus mendapatkan kritikan dari kalangan sendiri. Konsumen menginginkan reinkarnasi musik ala Taralamsyah setidaknya oleh konsumen yang punya “rasa”.
Dipersepsikan musik Simalungun telah lari jauh dari aslinya. Musik Simalungun tidak lagi khas Simalungun. Rekaman lagu-lagu Simalungun hanya bahasanya saja yang memakai Bahasa Simalungun. “Nada khas Simalungun sudah sirna,” kata Menna Purba Saragih.
Beberapa lagu Simalungun masih tercipta dengan nada yang sangat indah. Lagu “Sayopan” yang didendangkan Intan Saragih masih tergolong khas dan enak didengar. Nada lagu “Lakkahkon ma Inang” yang dinyanyikan Betty Sinaga tak kalah merdunya. Beberapa lagu yang dinyanyikan Yeyen Marbun juga Damma Silalahi masih memunculkan nada khas Simalungun.
Akan tetapi hal seperti itu amat jarang. Selebihnya lagu-lagu Simalungun sudah limbung. “Jujur, saya tidak senang dengan lagu-lagu Simalungun kebanyakan sekarang ini. Pada umumnya lagu-lagu itu sudah meninggalkan kekhasan inggou yang menjadi warna utama Simalungun. Sekarang banyak lagu Simalungun yang dibawakan secara dangdut. Tidak enak lagi telinga mendengarnya. Namun begitulah, zaman telah berubah dan rasanya sudah susah membawa lagu-lagu Simalungun ke akar asli seperti saat Na Laingan masih eksis,” kata Marienta Saragih salah satu mantan personel Orkes Na Laingan.
Para penyanyi menjawab
Bagaimana nada Simalungun menjadi semakin kabur? Damma Silalahi memberikan argumentasinya. “Huahap payahma ra tubuh seniman sekaliber Taralamsyah i Simalungun on. Syair pakon inggou ni kental tumang bernuansa Simalungun. Hape sondahan on dahkam lain do selera pasar. Bueima pendengar ta nuan na dop hona virus band zaman sonari ai. Otomatis seniman ta pe merasa terpaksa ikut jalur. Jadi pori dongpe ibogei ham karyakku na mengandung inggou lang piga ai dahkam. Halani ibotoh hamdo seniman fenomenal do au, bahkan namarlajar ope.”
Intinya Damma mengatakan sulit mengharapkan kualitas Taralamsyah dengan ciri khasnya yang kental. Ini karena pasar pun menghendaki lain sehingga seniman Simalungun turut terbawa arus. “Taralamsyah dikenal dan dikenang karena dia punya ciri khas sendiri. Itulah yang sedang saya coba kerja juga walau tidak mudah.”
Damma melanjutkan sekarang isu musik Simalungun bukan saja soal nada yang tak khas. Para seniman juga sering dapat tuduhan sebagai ]enjiplak larya orang lain dan hanya bahasa saja yang diganti.
Sama-sama mengalami erosi
John Kariando Purba kelahiran 1981 juga menjelaskan fenomena erosi kualitas lagu. “Hinan anggo pandoding hasoman kwalitas do na ipatuduh. Nuan on lang be. Lang pitah hita Simalungun mengalami transisi on, ganup suku do.”
Artinya, di zaman silam kualitas penyanyi menjadi andalan utama. Sekarang hal itu tidak lagi. Akan tetapi bukan hanya Simalungun yang mengalami erosi kualitas lagu tetapi etnis lain juga.
Kariando mengatakan, “Itulah permintaan pasar. Akibatnya sekarang ini kami pun terbawa arus dan ikut menciptakan lagu asal jadi. Sekarang produser lagu pun sudah tak berpikir soal kualitas.”
Kariando menyatakan selera pasar, hilangnya idealisme konsumen dan produsen lagu rekaman turut membuat semua itu terjadi. “Semua seperti bermimpi seekor ular bisa jadi naga,” dalam istilah Kariando. Artinya, semua jadi ingin serba instan dan sebisa mungkin dari lagu bisa meraup untung banyak walau itu sulit juga terwujud.
Hal serupa itu juga diutarakan Sion Damanik dari kelompok RAPSTAR TRIO, sebuah grup musik. “Memang kita harus berjuang sendiri. Susah mengharapkan kita mamakai unsur “rasa”,” kata Sion.
Sion sudah pesimis pula dengan idealisme dan dukungan pemerintahan. “Sudah pernah mencoba dukungan pemerintah yang tak kunjung tembus,” kata Sion.
Baik Sion, Damma, Kariando cukup berjiwa besar menghadapi tuduhan bahwa idealisme seniman Simalungun telah memudar dan terbawa arus pasar dan keinginan produser yang nihil idealisme. Mereka bertiga tidak berkecil karena fakta-fakta lapangan itu.
Bagi mereka, karya-karya yang muncul adalah juga refleksi dari lingkungan di mana mereka hidup. Namun demikian ketiga seniman ini ingin kualitas ditegakkan. Untuk itu mereka bertanya balik, “Bagaimana membalikkan keadaan ini semua?”
Mereka berpendapat, “Ini adalah tugas bersama.”
Sion Damanik mengatakan, “Permasalahannya, kita Simalungun juga kurang meminati milik sendiri. Kita tidak saja lupa pada seorang pencipta lagu. Jiwa dan rasa bangga kita Simalungun kadang kurang terhadap lagu Simalungun.”
Akibatnya para penyanyi Simalungun pun harus siap menyanyikan lagu-lagu non-Simalungun karena undangan untuk menghibur banyak datang dari non-Simalungun. “Namun demikian walau saya tampil di pesta-pesta hiburan yang dijamu non-Simalungun tetap juga kita bawakan lagu-lagu Simalungun. Dan salut juga kita pada orang Batak Toba. Mereka antusias pada musik tradisionil begitu juga soal pendanaan. Bagi Batak Toba yang punya duit lebih, siap meroketkan artisnya dan tidak pernah lupa pada pencipta lagunya...”
“Saya rasa simalungun juga bisa melihat dan mengadopsi hal terbaik dari suku lain. Kita juga harus bisa berpikir bagaimana menegakkan kembali nada khas Simalungun,” kata Sion.
Sion membandingkan lagi antusiasme Simalungun dengan etnis Karo berdasarkan pengalamannya sebagai musisi dari pengalaman di lapangan. “Kita lihat suku Karo. Sangat jarang mereka menggunakan para artis dari suku lain. Bisa tidak Simalungun seperti itu? Ini kan penting juga demi menjaga menjaga serta melestarikan budaya dan ahap Simalungun. Opini saya ini murni dari pantauan langsung di lapangan,” kata Sion.
Wajib melestarikan
Dosen linguistik Sastra Inggris dari Universitas Simalungun, Santi Saragih Garingging kelahiran 1974, dengan jelas mengatakan budaya memang harus dilestarikan. “Seni musik adalah salah satu pilar budaya itu. Sekian lama kita diam tentang perlunya pelestarian budaya. Kini saatnya kita mengenang sejarah kita sendiri dan mendalami apa yang terjadi pada kita,” kata Santi.
Menurutnya, seni musik adalah bagian dari cagar budaya. “Simalungun itu sebenarnya merupakan etnis yang memiliki budaya besar dan kualitasnya jelas ada. Ini yang harus kita tegakkan kembali. Identitas itu perlu dalam kehidupan,” kata Santi. Dia sangat mendukung upaya penonjolan identitas dan penggalian kembali dasar-dasarnya termasuk di sisi musiknya. “Ini sangat perlu untuk untuk meningkatkan kualitas kehidupan karena manusia itu punya rasa dan budaya,” ujar Santi, seorang perempuan keturunan dari Kerajaan raya, sebuah kerajaan yang dulu pernah menjadi salah satu penegak adat, seni budaya Simalungun.
Taralamsyah adalah Kejaiban musik
Lalu bagaimana menegakkan identitas dan jati diri? Salah satunya dalam konteks biografi Taralamsyah adalah dengan meniru etos Taralamsyah sendiri. Tentu iklim juga harus kondusif untuk pengembangan seni budaya itu sendiri.
Akan tetapi lihatlah juga profil kehidupan Taralamsyah. Selain mengharapkan eksternalitas yang kondusif, Taralamsyah fokus pada profesinya apa pun yang terjadi. Taralamsyah tidak mendapatkan banyak hal, rejeki dan apresiasi. Taralamsyah telah menjadikan dirinya seperti “martir” di dunia musik dan seni budaya Simalungun.
Karena itu pola yang dilalui Taralamsyah juga harus jadi pelajaran. Dalam kapasitasnya sebagai begawan, Taralamsyah melakukannya secara saksama. Dia mendalami arsip-arsip, sejarah dan mendengar khusus lagu-lagu tradisional yang asli menawarkan kekhasan Simalungun.
Dari pendalamannya pada sejarah musik Simalungun, Taralamsyah mengenal istilah tempo dan pola ketukan nada Simalungun yang disebut sebagai haro-haro, sakkiting sebagai contoh. “Untuk melahirkan nada khas Simalungun kita harus tahu sakkiting bagaimana, haro-haro bagaimana,” kata Taralamsyah.
Dari pengetahuannya soal sejarah terminologi nada Simalungun Taralamsyah menciptakan lagu dengan iringan instrumen kuno, yakni gonrang, dan aneka alat tiup. Dia mengenal betul nada instrumen Simalungun kuno serta bisa memainkan semuanya. Dia punya rasa dan menciptakan lagu-lagu dari hasil permenungan pada instrumen kuno hingga moderen.
Taralamsyah berhasil? Dia sangat berhasil dan amat terkenal di zamannya hingga sekarang. Taralamsyah tidak hanya jago teori tetapi pintar berimprovisasi dan menuangkan ide-ide dalam lagu. Dia tidak kaku pada pola tertentu dan karyanya dia sesuikan juga dengan selera pasar. Jadi jangan dikira Taralamsyah tidak ikut selera pasar. “Kita tetap bisa menciptakan lagu sesuai selera modern tetapi warisan kekhasan Simalungun harus tetap ada,” kata Taralamsyah.
Namun untuk itu, Taralamsyah memang memasang badan bahkan mengorbankan dirinya dengan hanya berkutat pada musik. Jika orang sekarang mengeluh dan sering mengharapkan dukungan, Taralamsyah tidak demikian. Taralamsyah tidak mandele. Dia jalan terus walau dia diabaikan.
Ini adalah sebuah etos yang sangat luar biasa di zamannya dengan fasilitas yang amat minim. Taralamsyah adalah sebuah keajaiban musik dari Simalungun.
Seharusnya, Simalungun di zaman moderen dengan kelengkapan fasilitas, bisa menciptakan karya setara Taralamsyah atau melebihinya.
Pertanyaan kembali, akankah tercipta lagi seniman seperti Taralamsyah? Ini sulit dijawab. Taralamsyah sudah mengatakan arsip-arsip lagu Simalungun kuno telah hilang. “Generasi setelah saya tidak akan lagi punya dokumentasi arsip-arsip lama,” katanya memberi peringatan saat dia masih hidup.
“Generasi setelah saya tidak lagi bisa mendengar contoh-contoh lagu dengan haro-haro, sakkiting dan lainnya. Apalagi susunan nadanya juga bukan dalam bentuk solmisasi,” kata Taralamsyah.
Meski demikian Simalungun moderen tidak bisa hanya pasrah pada keadaan, atau pasrah pada faktor sejarah yang merugikan karena menghilangkan seni musik tradisional.
Harusnya tetap ada potensi lahirnya Taralamsyah moderen. “Benar bahwa kita telah kehilangan arsip. Itu membuat kita hanya memiliki sedikit saja bahan sejarah musik. Namun kita tetap bisa mengembangkan dan berkembang dari sedikit bahan arsip yang masih tersisa,” kata Setia Darmawan Purba, seorang dosen etnomusikologi di Universitas Sumatera Utara (USU), Medan.
Jika Taralamsyah baru tetap bisa tercipta, apa syaratnya? Seniman itu harus mau seperti Taralamsyah, yakni berkutat pada etnomusikologi tradisional, membenamkan diri terus dan konstan pada musik, hingga lupa mencari nafkah ekonomi demi keluarga besar.
Akan tetapi melahirkan Taralamsyah moderen tampaknya seperti sebuah misi yang sulit atau mission impossible. Ini bukan saja soal kejeniusan. Anak jenius akan lahir setiap masa. Namun ini soal etos kerja yang tidak pudar oleh waktu. Dia seperti berpesta dengan pendalamannya di bidang seni. Gairah hidupnya, nyanyian jiwanya ada di meja, di kursi.
Melodinya melayang, aura semengatnya melambung tergambar dari tebaran kebulan asap rokok yang menyembul dari bibirnya. Ia bisa tidak beranjak berjam-jam, berhari-hari, bahkan bertahun-tahun dari meja dan kursi dengan ukuran dua kali dua meter.
“Namun tidak banyak etnis Simalungun yang bisa sabar melatih diri mengikuti melodi karya Taralamsyah,” kata Menna Purba Saragih. Akan tetap hal itu sebenarnya lebih disebabkan sikap enggan untuk memaksakan diri berlatih.
Pahit katanya, orang Simalungun kebanyakan tidak mau repot dan tidak mau berlelah-lelah sedikit. Inilah salah satu yang membuat Taralamsyah sangat kecewa pada etnisnya. Karyanya, yang menjadi bagian dari cagar musik asli Simalungun , tidak bisa diikuti oleh etnisnya.
Ketidaksediaan untuk sedikit repot, dan ketidaksiapan untuk sedikit lelah,
telah membuat melodi pop Simalungun sekarang tak lagi unik.
Sarudin Saragih juga menyiratkan bahwa seni musik Simalungun tetap bisa bangkit dengan berbagai kendala yang ada. “Harus ada semacam idealisme dan aksi penolakan pada kapitalisme industri musik. Saya pernah marah pada seorang seniman Simalungun karena menyanyikan lagu tak sopan dari segi lirik. Jangan dikira saya tidak mampu menciptakan lagu kelas “kacang goreng”. Akan tetapi saya memang memilih untuk tidak mau hanyut terbawa arus.”
Meski demikian, idealisme juga harus didukung antusiasme warga Simalungun itu sendiri. Banyak warga Simalungun sekarang yang lebih kaya secara ekonomi dibandingkan dengan era Taralamsyah. Warga kaya Simalungun juga harus punya tanggung jawab sosial mendukung jati dirinya, termasuk dengan mendukung para penyanyi idealis dari Simalungun.(Simon Saragih)
Mungkin tidak akan ada lagi musisi Simalungun seperti Taralamsyah. Atau setidaknya akan sulit mendapatkan musisi yang setara dengannya. Hal itu terbukti sejauh ini secara implisit. Musik Simalungun terus menerus mendapatkan kritikan dari kalangan sendiri. Konsumen menginginkan reinkarnasi musik ala Taralamsyah setidaknya oleh konsumen yang punya “rasa”.
Dipersepsikan musik Simalungun telah lari jauh dari aslinya. Musik Simalungun tidak lagi khas Simalungun. Rekaman lagu-lagu Simalungun hanya bahasanya saja yang memakai Bahasa Simalungun. “Nada khas Simalungun sudah sirna,” kata Menna Purba Saragih.
Beberapa lagu Simalungun masih tercipta dengan nada yang sangat indah. Lagu “Sayopan” yang didendangkan Intan Saragih masih tergolong khas dan enak didengar. Nada lagu “Lakkahkon ma Inang” yang dinyanyikan Betty Sinaga tak kalah merdunya. Beberapa lagu yang dinyanyikan Yeyen Marbun juga Damma Silalahi masih memunculkan nada khas Simalungun.
Akan tetapi hal seperti itu amat jarang. Selebihnya lagu-lagu Simalungun sudah limbung. “Jujur, saya tidak senang dengan lagu-lagu Simalungun kebanyakan sekarang ini. Pada umumnya lagu-lagu itu sudah meninggalkan kekhasan inggou yang menjadi warna utama Simalungun. Sekarang banyak lagu Simalungun yang dibawakan secara dangdut. Tidak enak lagi telinga mendengarnya. Namun begitulah, zaman telah berubah dan rasanya sudah susah membawa lagu-lagu Simalungun ke akar asli seperti saat Na Laingan masih eksis,” kata Marienta Saragih salah satu mantan personel Orkes Na Laingan.
Para penyanyi menjawab
Bagaimana nada Simalungun menjadi semakin kabur? Damma Silalahi memberikan argumentasinya. “Huahap payahma ra tubuh seniman sekaliber Taralamsyah i Simalungun on. Syair pakon inggou ni kental tumang bernuansa Simalungun. Hape sondahan on dahkam lain do selera pasar. Bueima pendengar ta nuan na dop hona virus band zaman sonari ai. Otomatis seniman ta pe merasa terpaksa ikut jalur. Jadi pori dongpe ibogei ham karyakku na mengandung inggou lang piga ai dahkam. Halani ibotoh hamdo seniman fenomenal do au, bahkan namarlajar ope.”
Intinya Damma mengatakan sulit mengharapkan kualitas Taralamsyah dengan ciri khasnya yang kental. Ini karena pasar pun menghendaki lain sehingga seniman Simalungun turut terbawa arus. “Taralamsyah dikenal dan dikenang karena dia punya ciri khas sendiri. Itulah yang sedang saya coba kerja juga walau tidak mudah.”
Damma melanjutkan sekarang isu musik Simalungun bukan saja soal nada yang tak khas. Para seniman juga sering dapat tuduhan sebagai ]enjiplak larya orang lain dan hanya bahasa saja yang diganti.
Sama-sama mengalami erosi
John Kariando Purba kelahiran 1981 juga menjelaskan fenomena erosi kualitas lagu. “Hinan anggo pandoding hasoman kwalitas do na ipatuduh. Nuan on lang be. Lang pitah hita Simalungun mengalami transisi on, ganup suku do.”
Artinya, di zaman silam kualitas penyanyi menjadi andalan utama. Sekarang hal itu tidak lagi. Akan tetapi bukan hanya Simalungun yang mengalami erosi kualitas lagu tetapi etnis lain juga.
Kariando mengatakan, “Itulah permintaan pasar. Akibatnya sekarang ini kami pun terbawa arus dan ikut menciptakan lagu asal jadi. Sekarang produser lagu pun sudah tak berpikir soal kualitas.”
Kariando menyatakan selera pasar, hilangnya idealisme konsumen dan produsen lagu rekaman turut membuat semua itu terjadi. “Semua seperti bermimpi seekor ular bisa jadi naga,” dalam istilah Kariando. Artinya, semua jadi ingin serba instan dan sebisa mungkin dari lagu bisa meraup untung banyak walau itu sulit juga terwujud.
Hal serupa itu juga diutarakan Sion Damanik dari kelompok RAPSTAR TRIO, sebuah grup musik. “Memang kita harus berjuang sendiri. Susah mengharapkan kita mamakai unsur “rasa”,” kata Sion.
Sion sudah pesimis pula dengan idealisme dan dukungan pemerintahan. “Sudah pernah mencoba dukungan pemerintah yang tak kunjung tembus,” kata Sion.
Baik Sion, Damma, Kariando cukup berjiwa besar menghadapi tuduhan bahwa idealisme seniman Simalungun telah memudar dan terbawa arus pasar dan keinginan produser yang nihil idealisme. Mereka bertiga tidak berkecil karena fakta-fakta lapangan itu.
Bagi mereka, karya-karya yang muncul adalah juga refleksi dari lingkungan di mana mereka hidup. Namun demikian ketiga seniman ini ingin kualitas ditegakkan. Untuk itu mereka bertanya balik, “Bagaimana membalikkan keadaan ini semua?”
Mereka berpendapat, “Ini adalah tugas bersama.”
Sion Damanik mengatakan, “Permasalahannya, kita Simalungun juga kurang meminati milik sendiri. Kita tidak saja lupa pada seorang pencipta lagu. Jiwa dan rasa bangga kita Simalungun kadang kurang terhadap lagu Simalungun.”
Akibatnya para penyanyi Simalungun pun harus siap menyanyikan lagu-lagu non-Simalungun karena undangan untuk menghibur banyak datang dari non-Simalungun. “Namun demikian walau saya tampil di pesta-pesta hiburan yang dijamu non-Simalungun tetap juga kita bawakan lagu-lagu Simalungun. Dan salut juga kita pada orang Batak Toba. Mereka antusias pada musik tradisionil begitu juga soal pendanaan. Bagi Batak Toba yang punya duit lebih, siap meroketkan artisnya dan tidak pernah lupa pada pencipta lagunya...”
“Saya rasa simalungun juga bisa melihat dan mengadopsi hal terbaik dari suku lain. Kita juga harus bisa berpikir bagaimana menegakkan kembali nada khas Simalungun,” kata Sion.
Sion membandingkan lagi antusiasme Simalungun dengan etnis Karo berdasarkan pengalamannya sebagai musisi dari pengalaman di lapangan. “Kita lihat suku Karo. Sangat jarang mereka menggunakan para artis dari suku lain. Bisa tidak Simalungun seperti itu? Ini kan penting juga demi menjaga menjaga serta melestarikan budaya dan ahap Simalungun. Opini saya ini murni dari pantauan langsung di lapangan,” kata Sion.
Wajib melestarikan
Dosen linguistik Sastra Inggris dari Universitas Simalungun, Santi Saragih Garingging kelahiran 1974, dengan jelas mengatakan budaya memang harus dilestarikan. “Seni musik adalah salah satu pilar budaya itu. Sekian lama kita diam tentang perlunya pelestarian budaya. Kini saatnya kita mengenang sejarah kita sendiri dan mendalami apa yang terjadi pada kita,” kata Santi.
Menurutnya, seni musik adalah bagian dari cagar budaya. “Simalungun itu sebenarnya merupakan etnis yang memiliki budaya besar dan kualitasnya jelas ada. Ini yang harus kita tegakkan kembali. Identitas itu perlu dalam kehidupan,” kata Santi. Dia sangat mendukung upaya penonjolan identitas dan penggalian kembali dasar-dasarnya termasuk di sisi musiknya. “Ini sangat perlu untuk untuk meningkatkan kualitas kehidupan karena manusia itu punya rasa dan budaya,” ujar Santi, seorang perempuan keturunan dari Kerajaan raya, sebuah kerajaan yang dulu pernah menjadi salah satu penegak adat, seni budaya Simalungun.
Taralamsyah adalah Kejaiban musik
Lalu bagaimana menegakkan identitas dan jati diri? Salah satunya dalam konteks biografi Taralamsyah adalah dengan meniru etos Taralamsyah sendiri. Tentu iklim juga harus kondusif untuk pengembangan seni budaya itu sendiri.
Akan tetapi lihatlah juga profil kehidupan Taralamsyah. Selain mengharapkan eksternalitas yang kondusif, Taralamsyah fokus pada profesinya apa pun yang terjadi. Taralamsyah tidak mendapatkan banyak hal, rejeki dan apresiasi. Taralamsyah telah menjadikan dirinya seperti “martir” di dunia musik dan seni budaya Simalungun.
Karena itu pola yang dilalui Taralamsyah juga harus jadi pelajaran. Dalam kapasitasnya sebagai begawan, Taralamsyah melakukannya secara saksama. Dia mendalami arsip-arsip, sejarah dan mendengar khusus lagu-lagu tradisional yang asli menawarkan kekhasan Simalungun.
Dari pendalamannya pada sejarah musik Simalungun, Taralamsyah mengenal istilah tempo dan pola ketukan nada Simalungun yang disebut sebagai haro-haro, sakkiting sebagai contoh. “Untuk melahirkan nada khas Simalungun kita harus tahu sakkiting bagaimana, haro-haro bagaimana,” kata Taralamsyah.
Dari pengetahuannya soal sejarah terminologi nada Simalungun Taralamsyah menciptakan lagu dengan iringan instrumen kuno, yakni gonrang, dan aneka alat tiup. Dia mengenal betul nada instrumen Simalungun kuno serta bisa memainkan semuanya. Dia punya rasa dan menciptakan lagu-lagu dari hasil permenungan pada instrumen kuno hingga moderen.
Taralamsyah berhasil? Dia sangat berhasil dan amat terkenal di zamannya hingga sekarang. Taralamsyah tidak hanya jago teori tetapi pintar berimprovisasi dan menuangkan ide-ide dalam lagu. Dia tidak kaku pada pola tertentu dan karyanya dia sesuikan juga dengan selera pasar. Jadi jangan dikira Taralamsyah tidak ikut selera pasar. “Kita tetap bisa menciptakan lagu sesuai selera modern tetapi warisan kekhasan Simalungun harus tetap ada,” kata Taralamsyah.
Namun untuk itu, Taralamsyah memang memasang badan bahkan mengorbankan dirinya dengan hanya berkutat pada musik. Jika orang sekarang mengeluh dan sering mengharapkan dukungan, Taralamsyah tidak demikian. Taralamsyah tidak mandele. Dia jalan terus walau dia diabaikan.
Ini adalah sebuah etos yang sangat luar biasa di zamannya dengan fasilitas yang amat minim. Taralamsyah adalah sebuah keajaiban musik dari Simalungun.
Seharusnya, Simalungun di zaman moderen dengan kelengkapan fasilitas, bisa menciptakan karya setara Taralamsyah atau melebihinya.
Pertanyaan kembali, akankah tercipta lagi seniman seperti Taralamsyah? Ini sulit dijawab. Taralamsyah sudah mengatakan arsip-arsip lagu Simalungun kuno telah hilang. “Generasi setelah saya tidak akan lagi punya dokumentasi arsip-arsip lama,” katanya memberi peringatan saat dia masih hidup.
“Generasi setelah saya tidak lagi bisa mendengar contoh-contoh lagu dengan haro-haro, sakkiting dan lainnya. Apalagi susunan nadanya juga bukan dalam bentuk solmisasi,” kata Taralamsyah.
Meski demikian Simalungun moderen tidak bisa hanya pasrah pada keadaan, atau pasrah pada faktor sejarah yang merugikan karena menghilangkan seni musik tradisional.
Harusnya tetap ada potensi lahirnya Taralamsyah moderen. “Benar bahwa kita telah kehilangan arsip. Itu membuat kita hanya memiliki sedikit saja bahan sejarah musik. Namun kita tetap bisa mengembangkan dan berkembang dari sedikit bahan arsip yang masih tersisa,” kata Setia Darmawan Purba, seorang dosen etnomusikologi di Universitas Sumatera Utara (USU), Medan.
Jika Taralamsyah baru tetap bisa tercipta, apa syaratnya? Seniman itu harus mau seperti Taralamsyah, yakni berkutat pada etnomusikologi tradisional, membenamkan diri terus dan konstan pada musik, hingga lupa mencari nafkah ekonomi demi keluarga besar.
Akan tetapi melahirkan Taralamsyah moderen tampaknya seperti sebuah misi yang sulit atau mission impossible. Ini bukan saja soal kejeniusan. Anak jenius akan lahir setiap masa. Namun ini soal etos kerja yang tidak pudar oleh waktu. Dia seperti berpesta dengan pendalamannya di bidang seni. Gairah hidupnya, nyanyian jiwanya ada di meja, di kursi.
Melodinya melayang, aura semengatnya melambung tergambar dari tebaran kebulan asap rokok yang menyembul dari bibirnya. Ia bisa tidak beranjak berjam-jam, berhari-hari, bahkan bertahun-tahun dari meja dan kursi dengan ukuran dua kali dua meter.
“Namun tidak banyak etnis Simalungun yang bisa sabar melatih diri mengikuti melodi karya Taralamsyah,” kata Menna Purba Saragih. Akan tetap hal itu sebenarnya lebih disebabkan sikap enggan untuk memaksakan diri berlatih.
Pahit katanya, orang Simalungun kebanyakan tidak mau repot dan tidak mau berlelah-lelah sedikit. Inilah salah satu yang membuat Taralamsyah sangat kecewa pada etnisnya. Karyanya, yang menjadi bagian dari cagar musik asli Simalungun , tidak bisa diikuti oleh etnisnya.
Ketidaksediaan untuk sedikit repot, dan ketidaksiapan untuk sedikit lelah,
telah membuat melodi pop Simalungun sekarang tak lagi unik.
Sarudin Saragih juga menyiratkan bahwa seni musik Simalungun tetap bisa bangkit dengan berbagai kendala yang ada. “Harus ada semacam idealisme dan aksi penolakan pada kapitalisme industri musik. Saya pernah marah pada seorang seniman Simalungun karena menyanyikan lagu tak sopan dari segi lirik. Jangan dikira saya tidak mampu menciptakan lagu kelas “kacang goreng”. Akan tetapi saya memang memilih untuk tidak mau hanyut terbawa arus.”
Meski demikian, idealisme juga harus didukung antusiasme warga Simalungun itu sendiri. Banyak warga Simalungun sekarang yang lebih kaya secara ekonomi dibandingkan dengan era Taralamsyah. Warga kaya Simalungun juga harus punya tanggung jawab sosial mendukung jati dirinya, termasuk dengan mendukung para penyanyi idealis dari Simalungun.(Simon Saragih)
0 Comments