Simon Saragih |
* Ekstraksi Wawancara
Penyusunan buku biografi Taralamsyah ini membuka kesempatan menemui banyak orang Simalungun, eks ningrat maupun non-ningrat. Ratusan atau mungkin ribuan orang Simalungun telah maju. Belum termasuk daftar pembayar pajak terbesar tetapi banyak yang berada di atas rata-rata pendapatan per kapita Indonesia.
Banyak Simalungun yang mapan dan bangkit dari nol.
Simalungun ada dimana-mana, pemerintahan dan swasta. Profesi pun beraneka ragam dari petani hingga ada ahli teologia dan dari guru hingga ke para dokter spesialis handal.
Sumber daya Simalungun benar-benar di atas memadai. Mungkin tidak sehebat banyak etnis lain dari segi jumlah tetapi Simalungun itu berjaya dan besar dari sisi materi dan daya intelektual.
Simalungun itu tidak bisa diabaikan. Simalungun sebuah kekuatan besar. Dengan demikian Simalungun bisa memperkuat diri jka mau.
Akan tetapi tantangan ada. Merajut kekuatannya lewat sinergi secara hipotesis mungkin bisa dikatakan relatif masih susah. Mungkin bisa juga dikatakan, masih panjang jalan bagi Simalungun untuk eksis lewat sinergi walau dia punya daya dan sangat mampu jika mau.
Apa dan dimana letak kesulitanya? Semacam ekstraksi dari wawancara. Terkesan hal-hal berikut yang memungkinkan Simalungun itu relatif masih susah bersinergi. Ini bukan temuan ilmiah dengan metodologi sempurna. Akan tetapi temuan sekilas ini menarik untuk didalami para pakar di bidangnya.
Satya Girsang (Medan) mengatakan, “Anggo domma adong na bayak otik, lang be idingat asal ni.” Lupa asal jika sudah relatif mapan.
Lenny Garingging mengatakan, “Simalungun kurang mengapresiasi diri sendiri dan kurang menghargai karya orang lain.”
Prof Boas menyatakan persepsi berdasarkan pengalaman pribadi. “Ada kecurigaan pada sesama. Ini masih ada, seolah-olah zaman lampau dengan kecurigaan masih melekat.”
Bisa dibantah semua pernyataan ini tetapi persepsi seperti ini masih eksis setidaknya demikian dirasakan sebagian orang.
“Mata sada-sada." Ini adalah istilah DR Cosmas Batubara. Ketika ada satu yang mau memberi hati, dia hanya dibiarkan mau sendiri tetapi kemauannya tidak didukung nyata secara lewat sinergi. Ini sering terjadi dari waktu ke waktu. Muncullah fenomena mate sada-sada.
Ada yang heroik bahkan jibaku seperti Sultan Saragih dengan semangat soal pelestarian peninggalan artefak Simalungun. Namun orang seperti ini relatif masih dibiarkan sendiri dan hanya sekadar dikagumi, belum pada tahap dukungan nyata.
Terjadi pola "free rider". Menikmati hasil upaya orang lain tanpa mau berembuk bersama.
Beberapa stigma telah melekat bagi Simalungun.
Beberapa persepsi yang muncul
A. Kurang menghargai sejarah: Contoh, eksistensi kerajaan saja seolah-olah tetap ingin kita pupus walau sudah tinggal sejarah.
B. Kurang menghargai karya orang: Contoh, jika ada orang sukses kadang muncul kalimat, "Si anu ai, parjuma-juma hinan do ia".
C. Ada apatisme atau katakanlah sikap tak mau menerima kelebihan orang. Contoh, “Sonon do dalan ni ai ase maju ia...”
D. Keakuan (ego) yang bias: Aku Simalungun tapi nanti dulu jika harus terlibat haroan bolon Simalungun karena sonon dope situasiku. Aku Simalungun tetapi nasiam ma lah lobei tene, tonggo ma lobei han au. Adong horjaku na legan.
Simalungun pun pernah mengalami rubuhnya fondasi yang harus dibangun lagi akibat revolusi sosial. Ini tidak bisa diabaikan, yakni soal dampak revolusi sosial ini. Para elite, jago tor-tor, gonrang, budaya dulu kala pada umumnya adalah kaum ningrat. Semuanya mendadak nihil bahkan yang dulu masih bertahan pun ada yang menghilangkan identitas karena ketakutan di saat revolusi berkobar.
Kini fondasi yang hendak dibangun kembali bukan lagi kerajaan. Fondasi yang hendak dibangun adalah sebuah “harajaon” dalam arti lain, yakni sebuah kebesaran etnis dengan peran bersama dari rakyatnya dengan segala strata sosial.
Persepsi lain yang muncul adalah no passion (semangat dan niat kuat). Kurang ada hasrat, antusiasme kolosal.
Hasrat membuat pekerjaan terasa menyenangkan.
Tantangannya sekarang diperlukan passion yang mewabah bagi Simalungun. Passion ini bagusnya tidak sebatas "kata-kata" tetapi menuntut pengorbanan hingga tingkat tertentu sesuai kemampuan dan kontribusi masing-masing.
Bagaimana langkah untuk membangkitkan antusiasme demi sebuah sinergi Simalungun? Tampaknya harus ada tokoh heroik Simalungun yang konstan memikirkan Simalungun. Keteladanan almarhum Birjen Marjan TS Saragih adalah salah satu yang pantas dikenang dan layak ditiru.
Tokoh-tokoh Simalungun yang ada sebenarnya layak dari segi kekuatan ekonomi dan pamor pribadi. Namun sebagian elite Simalungun yang layak ini masih sibuk pada aktualisasi diri yang lain, pada profesinya, belum mengarah pada aktualisasi komunitasnya. Aktualisasi masih sebatas pada kepuasan diri. Mungkin tahapan aktualisasi diri bisa diperluas lagi.
Ada elite yang sudah memulai aktualisasi komunitas tetapi masih memerlukan waktu panjang untuk menularkannya ke pihak lain agar ditiru dan diikuti yang lain.
Tampaknya juga harus ada organisasi yang representatif untuk merajut kesadaran Simalungun. Apakah Partua Maujana Simalungun (PMS) bisa? Dulu ada pelesetan almarhum Bill Saragih pada PMS ini menggambarkan kekecewaannya.
“Harus ada yang konstan dengan kesadaran konstan untuk terus menerus mengingatkan soal Simalungun,” demikian DR Cosmas Batubara berpesan. Ini dia nyatakan berdasarkan pengamatan pribadinya selama bertahun-tahun.
Pemangku organisasi besar Simalungun tampaknya wajib merangkul, memegang sikap rendah hati, siap capek, dan menerima siapa saja secara apa adanya. Contoh, lihatlah Simalungun apa adanya bukan karena status sosial ekonominya. Melihat sesama Simalungun dari status sosial ekonominya masih merupakan gejala umum.
Lihatlah keturunan para eks ningrat sekarang sebagai kerabat, bukan terus terbawa suasana lama dan memperlakukannya sebagai bukan sahabat. Akan tetapi sebaliknya sikap serupa juga harus menjadi pegangan kuat para eks-ningrat bahwa, “sama-sama Simalungun do hita.”
Dulu jika dirinya dipanggil “tuan”, Taralamsyah akan selalu menjawab: “Aih ulang sonai. Sarupa do hita.”
Itulah sekelumit pengamatan dan hasil percakapan dengan beberapa orang Simalungun.
Namun optimiskah kita soal Simalungun? Ada pintu besar akan optimisme. Dari semua yang ditemui tidak ada yang menolak pintu untuk kebersamaan SImalungun. Ada celah walau baru setitik.
Ada celah bahkan ada potensi yang sangat besar. Juga ada aksi-aksi nyata walau masih sporadis yang dilakukan beberapa orang Simalungun demi penegakan identitasnya.
Dan ada satu celah besar yang lain. Semua rindu dan semua sama-sama bangga sebagai Simalungun dimana saja pun dia berada. Kebanggaan ini ternyata tak pernah luntur.
Simalungun yang pernah terkejut dahsyat dan pilarnya pernah rubuh terbukti tak sirna.
Simalungun, selamat merajut sinerji.(Simon Saragih)
Penyusunan buku biografi Taralamsyah ini membuka kesempatan menemui banyak orang Simalungun, eks ningrat maupun non-ningrat. Ratusan atau mungkin ribuan orang Simalungun telah maju. Belum termasuk daftar pembayar pajak terbesar tetapi banyak yang berada di atas rata-rata pendapatan per kapita Indonesia.
Banyak Simalungun yang mapan dan bangkit dari nol.
Simalungun ada dimana-mana, pemerintahan dan swasta. Profesi pun beraneka ragam dari petani hingga ada ahli teologia dan dari guru hingga ke para dokter spesialis handal.
Sumber daya Simalungun benar-benar di atas memadai. Mungkin tidak sehebat banyak etnis lain dari segi jumlah tetapi Simalungun itu berjaya dan besar dari sisi materi dan daya intelektual.
Simalungun itu tidak bisa diabaikan. Simalungun sebuah kekuatan besar. Dengan demikian Simalungun bisa memperkuat diri jka mau.
Akan tetapi tantangan ada. Merajut kekuatannya lewat sinergi secara hipotesis mungkin bisa dikatakan relatif masih susah. Mungkin bisa juga dikatakan, masih panjang jalan bagi Simalungun untuk eksis lewat sinergi walau dia punya daya dan sangat mampu jika mau.
Apa dan dimana letak kesulitanya? Semacam ekstraksi dari wawancara. Terkesan hal-hal berikut yang memungkinkan Simalungun itu relatif masih susah bersinergi. Ini bukan temuan ilmiah dengan metodologi sempurna. Akan tetapi temuan sekilas ini menarik untuk didalami para pakar di bidangnya.
Satya Girsang (Medan) mengatakan, “Anggo domma adong na bayak otik, lang be idingat asal ni.” Lupa asal jika sudah relatif mapan.
Lenny Garingging mengatakan, “Simalungun kurang mengapresiasi diri sendiri dan kurang menghargai karya orang lain.”
Prof Boas menyatakan persepsi berdasarkan pengalaman pribadi. “Ada kecurigaan pada sesama. Ini masih ada, seolah-olah zaman lampau dengan kecurigaan masih melekat.”
Bisa dibantah semua pernyataan ini tetapi persepsi seperti ini masih eksis setidaknya demikian dirasakan sebagian orang.
“Mata sada-sada." Ini adalah istilah DR Cosmas Batubara. Ketika ada satu yang mau memberi hati, dia hanya dibiarkan mau sendiri tetapi kemauannya tidak didukung nyata secara lewat sinergi. Ini sering terjadi dari waktu ke waktu. Muncullah fenomena mate sada-sada.
Ada yang heroik bahkan jibaku seperti Sultan Saragih dengan semangat soal pelestarian peninggalan artefak Simalungun. Namun orang seperti ini relatif masih dibiarkan sendiri dan hanya sekadar dikagumi, belum pada tahap dukungan nyata.
Terjadi pola "free rider". Menikmati hasil upaya orang lain tanpa mau berembuk bersama.
Beberapa stigma telah melekat bagi Simalungun.
Beberapa persepsi yang muncul
A. Kurang menghargai sejarah: Contoh, eksistensi kerajaan saja seolah-olah tetap ingin kita pupus walau sudah tinggal sejarah.
B. Kurang menghargai karya orang: Contoh, jika ada orang sukses kadang muncul kalimat, "Si anu ai, parjuma-juma hinan do ia".
C. Ada apatisme atau katakanlah sikap tak mau menerima kelebihan orang. Contoh, “Sonon do dalan ni ai ase maju ia...”
D. Keakuan (ego) yang bias: Aku Simalungun tapi nanti dulu jika harus terlibat haroan bolon Simalungun karena sonon dope situasiku. Aku Simalungun tetapi nasiam ma lah lobei tene, tonggo ma lobei han au. Adong horjaku na legan.
Simalungun pun pernah mengalami rubuhnya fondasi yang harus dibangun lagi akibat revolusi sosial. Ini tidak bisa diabaikan, yakni soal dampak revolusi sosial ini. Para elite, jago tor-tor, gonrang, budaya dulu kala pada umumnya adalah kaum ningrat. Semuanya mendadak nihil bahkan yang dulu masih bertahan pun ada yang menghilangkan identitas karena ketakutan di saat revolusi berkobar.
Kini fondasi yang hendak dibangun kembali bukan lagi kerajaan. Fondasi yang hendak dibangun adalah sebuah “harajaon” dalam arti lain, yakni sebuah kebesaran etnis dengan peran bersama dari rakyatnya dengan segala strata sosial.
Persepsi lain yang muncul adalah no passion (semangat dan niat kuat). Kurang ada hasrat, antusiasme kolosal.
Hasrat membuat pekerjaan terasa menyenangkan.
Tantangannya sekarang diperlukan passion yang mewabah bagi Simalungun. Passion ini bagusnya tidak sebatas "kata-kata" tetapi menuntut pengorbanan hingga tingkat tertentu sesuai kemampuan dan kontribusi masing-masing.
Bagaimana langkah untuk membangkitkan antusiasme demi sebuah sinergi Simalungun? Tampaknya harus ada tokoh heroik Simalungun yang konstan memikirkan Simalungun. Keteladanan almarhum Birjen Marjan TS Saragih adalah salah satu yang pantas dikenang dan layak ditiru.
Tokoh-tokoh Simalungun yang ada sebenarnya layak dari segi kekuatan ekonomi dan pamor pribadi. Namun sebagian elite Simalungun yang layak ini masih sibuk pada aktualisasi diri yang lain, pada profesinya, belum mengarah pada aktualisasi komunitasnya. Aktualisasi masih sebatas pada kepuasan diri. Mungkin tahapan aktualisasi diri bisa diperluas lagi.
Ada elite yang sudah memulai aktualisasi komunitas tetapi masih memerlukan waktu panjang untuk menularkannya ke pihak lain agar ditiru dan diikuti yang lain.
Tampaknya juga harus ada organisasi yang representatif untuk merajut kesadaran Simalungun. Apakah Partua Maujana Simalungun (PMS) bisa? Dulu ada pelesetan almarhum Bill Saragih pada PMS ini menggambarkan kekecewaannya.
“Harus ada yang konstan dengan kesadaran konstan untuk terus menerus mengingatkan soal Simalungun,” demikian DR Cosmas Batubara berpesan. Ini dia nyatakan berdasarkan pengamatan pribadinya selama bertahun-tahun.
Pemangku organisasi besar Simalungun tampaknya wajib merangkul, memegang sikap rendah hati, siap capek, dan menerima siapa saja secara apa adanya. Contoh, lihatlah Simalungun apa adanya bukan karena status sosial ekonominya. Melihat sesama Simalungun dari status sosial ekonominya masih merupakan gejala umum.
Lihatlah keturunan para eks ningrat sekarang sebagai kerabat, bukan terus terbawa suasana lama dan memperlakukannya sebagai bukan sahabat. Akan tetapi sebaliknya sikap serupa juga harus menjadi pegangan kuat para eks-ningrat bahwa, “sama-sama Simalungun do hita.”
Dulu jika dirinya dipanggil “tuan”, Taralamsyah akan selalu menjawab: “Aih ulang sonai. Sarupa do hita.”
Itulah sekelumit pengamatan dan hasil percakapan dengan beberapa orang Simalungun.
Namun optimiskah kita soal Simalungun? Ada pintu besar akan optimisme. Dari semua yang ditemui tidak ada yang menolak pintu untuk kebersamaan SImalungun. Ada celah walau baru setitik.
Ada celah bahkan ada potensi yang sangat besar. Juga ada aksi-aksi nyata walau masih sporadis yang dilakukan beberapa orang Simalungun demi penegakan identitasnya.
Dan ada satu celah besar yang lain. Semua rindu dan semua sama-sama bangga sebagai Simalungun dimana saja pun dia berada. Kebanggaan ini ternyata tak pernah luntur.
Simalungun yang pernah terkejut dahsyat dan pilarnya pernah rubuh terbukti tak sirna.
Simalungun, selamat merajut sinerji.(Simon Saragih)
0 Comments