Info Terkini

10/recent/ticker-posts

Perekonomian Semakin Merosot, Warga Simalungun Memilih Eksodus dari Talun Simalungun

Warga Simalungun asal Desa Hinalang yang memilih eksodus ke Kota Jambi akibat ekonomi yang semakin mereosot di kampung halaman. Di Kota Jambi mereka tetap berprofesi sebagai petani namun lebih menguntungkan karena akses pasar yang dekat. Foto Asenk Lee Saragih.
BERITASIMALUNGUN.COM, Jambi-Talun (Tanah) Simalungun tidak diragukan lagi tentang kesuburannya. Berbagai tanaman holtikultura terlebih tanaman pangan serta sayuran sungguh subur menghijau di Talun (Tanah) “Habonaron Do Bona” tersebut.

Namun kenapa hingga kini Talun Simalungun tidak mampu menjadi magnet bagi warganya sendiri. Tentunya Budaya Eksodus dari Talun Simalungun ke perantauan menjadi tantangan bagi Pemerintah Kabupaten Simalungun.

Keluarga Kel Sumbayak/br Sihotang merupakan contoh warga Simalungun yang eksodus ke Provinsi Jambi untuk memperbaiki ekonomi. Bayangkan saja, walau sudah usia tak muda lagi masih berencana pindah dari Desa Bah Bolon, Dologuluan, P Raya hanya karena kesulitan ekonomi di sana.

Awalnya Sumbayak berprofesi sebagai pembawa buah dari Berastagi ke Jakarta. Tidak betah dengan profesi penjual buah jeruk, Sumbayak melirik lokasi untuk berniat membangun perkebunan kelapa sawit.

Sebelumnya keluarga Sumbayak sudah memiliki lahan sawit di Bagan Batu, namun gagal. Namun saat dirinya melintas di Lintas Timur Provinsi Jambi tepatnya di Tungkal Ulu, dirinya bertanya kepada warga tentang harga lahan.

“Saat itu sekira 14 tahun lalu harga lahan masih lumayan murah yakni Rp 1 juta per hektar. Saya juga berpikir kalau kelapa sawit perawatannya tidak rumit. Sekali tanam bisa panen selama 10 tahun. Ini dalam pikiran saya lebih baik daripada menanam jagung dan padi di kampong yang hasilnya kurang memuaskan,”kata Sumbayak saat Sauhur berkunjung ke rumahnya belum lama ini.

Dengan berbekal kepercayaan diri dengan usaha yang gigih, akhirnya Sumbayak membeli lahan di Kecamatan Purwodadi, Tungkal Ulu. Setelah kebun sawit sudah menghasilkan, keluarga besarnya pun eksodus ke Purwodadi.

“Inilah Tanah Kanaan itu. Disini kami dapat mencukupi ekonomi dengan berkebun sawit. Semua keluarga dekat ditarik ke sini dan bersama-sama berkebun. Ekonomi kami di sini lebih baik daripada di Bah Bolon, Dologuluan,”kata Sumbayak.

Anju Sumbayak, anaknya juga mengatakan hal senada. Menurut Anju, keluarganya semua telah pindah ke Purwodadi. “Semua berkebun sawit di Purwodadi. Selain berkebun juga sebagai agen sawit di Purwodadi. Kami semua kompak dalam menjalankan usaha ini,”katanya.

Keluarga Sumbayak br Sihotang merupakan salah satu dari puluhan keluarga Simalungun yang mengadu nasib di Purwodadi. Sedikitnya 30 kepala leluarga (KK) ada warga Simalungun di Tungkal Ulu.

Bahkan warga Simalungun disana kini mulai menjejaki kumpulan warga Simalungun di Tungkal Ulu. Hal itu dilakukan guna menjalin silaturahmi warga Simalungun di Tungkal Ulu.

Eksodus dari tanah Simalungun juga terjadi di Desa Bangun Garingging, Teluk Kuantan atau perbatasan Riau, Jambi dan Sumbar. Sekitar 36 KK warga asal Desa Raya Usang eksodus ke Desa Bangun Garingging tersebut dengan profesi berkebun.

Menurut Dermaulian Purba (38) kepada BS disela-sela Pesta Peresmian GKPS Muarabungo, Minggu 20 November 2011 lalu mengatakan, budaya eksodus dari talun Simalungun sudah tidak asing lagi.

Dermaulian Purba yang juga menjabat Pengantar Jemaat Pos PI GKPS Bangun Garingging, mengatakan, lokasi mereka berada di Desa Sungai Sunagi Garingging, Kecamatan Kwansing, Kabupaten Teluk Kwantan yang berbatasan dengan Kabupaten Tebo atau 120 KM dari Kabupaten Bungo.

Disebutkan, sebanyak 36 KK warga Simalungun asal Raya Usang kini sudah berdomisili di di Desa Sungai Sunagi Garingging, Kecamatan Kwansing, Kabupaten Teluk Kwantan. Semua warga berprofesi sebagai petani kebun sawit.

Budaya eksodus ke tanah perantauan secara besar-besaran sudah kerap terjadi di Simalungun. Di Jambi sendiri eksodus itu terjadi sejak tahun 1970an. Padahal para perantau asal Tanah Simalungun di Jambi berprofesi sebagai petani dan buruh kasar. Jumlahnya tergolong banyak.

Lalu apa yang membedakan petani di Simalungun dengan petani orang Simalungun di Jambi!, ternyata bedanya adalah akses untuk pemasaran lebih mudah ke jantung pasar sehingga tidak banyak biaya pengeluaran transportasi.

Hal seperti ini tidak ada di Simalungun. Selaian harga hasil pertanian murah, jalan pertanian juga masih amburadul. Sehingga biaya panen petani hingga ke pasar membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Namun hingga kini Pemerintah Simalungun sebagai penanggungjawab infrastruktur, masih “tidur” dan belum  mampu memperbaiki akses jalan menuju sentra pertanian di Simalungun.

Diharapkan Pemkab Simalungun untuk memprioritaskan infrastruktur jalan ke sentra pertanian di Simalungun sehingga masyarakat Simalungun khususnya petani tidak eksodus ke Provinsi lain dengan profesi yang sama. 

Budaya eksodus dari Talun Simalungun juga terjadi dari Desa Hinalang, Kecamatan Purba, Kabupaten Simalungun. Sedikitnya 10 KK warga Asal Desa Hinalang mengadu nasib di Kota Jambi hanya bercocok tanam (jagung, ubi, sayuran, pepaya).

Salah satunya Sy Bp Agus Purba Pakpak/br Lingga. Mereka ke Jambi mengadu nasib hanya mengandalkan bercocok tanah pinjaman milik St RK Purba Pakpak di wilayah Kenali Besar. 

Setidaknya dengan kegiatan bercocok tanam itu, meraka bisa mencukupi kebutuhan rumah tangga serta menyekolahkan anak-anak mereka. 

"Bertani di kota cukup menguntungkan. Setelah panen kita hanya menjajakannya di pinggir ladang dengan membuat rak atau tempat berjualan. Pembeli datang membeli dengan harga yang lumayan. Inilah keuntungan bertani di kota, tak perlu repat memasarkan hasil panen," kata Pa Agus Purba.

Mereka eksodus dari Hinalang, karena pertanian yang digeluti di desa mereka kurang menjanjikan. Selain harus memiliki modal besar, cuaya yang kurang bersahabat dan pemasaran yang sulit akibat kondisi jalan yang rusak membuat hasil panen terus merugi.

"Eksodus dari Tanah Simalungun dengan menguju nasib dengan profesi yang sama yakni bertani, lebih menguntungkan di kota-kota. Karena akses pemasaran yang dekat serta pembeli cukup beragam tanpa melalui perantara tengkulak," kata Pa Agus.  (Asenk Lee Saragih)

Mapan : Rumah permanen Kel Sumbayak/br Sihotang di Kecamatan Purwodadi, Tungkal Ulu, Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Keluarga Sumbayak tergolong sukses di perantauan dibandingkan dengan hidup mereka di tanah kelahirannya di Dologuluan P Raya.Foto asenk lee saragih.
 
Warga Simalungun asal Desa Hinalang dan Saribudolok yang memilih eksodus ke Kota Jambi akibat ekonomi yang semakin mereosot di kampung halaman. Di Kota Jambi mereka tetap berprofesi sebagai petani namun lebih menguntungkan karena akses pasar yang dekat. Foto Asenk Lee Saragih.

Warga Simalungun asal Desa Hinalang yang memilih eksodus ke Kota Jambi akibat ekonomi yang semakin mereosot di kampung halaman. Di Kota Jambi mereka tetap berprofesi sebagai petani namun lebih menguntungkan karena akses pasar yang dekat. Foto Asenk Lee Saragih.

Warga Simalungun asal Desa Hinalang yang memilih eksodus ke Kota Jambi akibat ekonomi yang semakin mereosot di kampung halaman. Di Kota Jambi mereka tetap berprofesi sebagai petani namun lebih menguntungkan karena akses pasar yang dekat. Foto Asenk Lee Saragih.



Berita Lainnya

Post a Comment

0 Comments