Info Terkini

10/recent/ticker-posts

Aliran Dana Bansos Pemkab Simalungun Ke GKPS dan HKBP Jadi Bola Panas

Ketika Gereja Menerima Kucuran Dana Bansos


Belum lama ini saya mendapat tahu beberapa Gereja mendapat bantuan dari Pemkab Simalungun. Saya mendapat tahu dari surat kabar, karena dipublikasi surat kabar bahkan secara besar-besaran di halaman pertamanya. Gereja dimaksud antara lain HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) dan GKPS (Gereja Kristen Protestan Simalungun) Kalau tak salah, HKBP mendapatkan Rp 150 juta, dengan rincian Rp 100 juta dari Pemkab Simalungun dan Rp 50 juta yang diberikan Bupati Simalungun secara pribadi. Sementara untuk GKPS berjumlah Rp 1.680.000.000,00. Rinciannya Rp 1 miliar untuk Kantor Pusat GKPS, Rp 500 juta untuk membeli jubah pendetanya, Rp 150 juta untuk pembelian organ (alat musik) di beberapa Gereja terpencil, serta Rp 30 juta untuk membantu renovasi Rumah Dinas Ephorus GKPS.

Menanggapi hal ini kawan saya Pdt Nelson Siregar mengatakan, mestinya warga jemaat yang melayani di pemerintahan tahu kewajibannya. Mereka tak perlu memberi dengan mempertontonkan, apalagi kalau menggunakan Dana Bansos. Stop politisi untuk kepentingan pencitraan kata Nelson, dan sebaliknya Gereja tidak perlu membuat kegiatan dengan cara mengemis.

Lalu, pemberian bantuan itu diumumkan Bupati Simalungun pada saat acara Open House di Rumah Dinas Ephorus HKBP awal Januari ini. Sementara bantuan yang diberikan kepada GKPS juga diumumkan JR Saragih pada saat acara Open House di Rumah Dinas Ephorus GKPS. Dan wartawan yang melansir berita itu pun menyiarkannya berdasarkan fakta yang didengar pada saat itu.

Menanggapi Open House ini pun, kawan saya Eliakim Sitorus berujar : Kalau perusahaan atau lembaga profit, perlu dan pentinglah ada social marketing, berupa semacam halal bihalal atau 'makan gratis' sambil ramah temeh sesekali dan itu dilakukan di awal tahun. Kalau Gereja sebagai Persekutuan Orang Beriman, kata Eliakim yang dulu aktif sekali menulis di Harian SIB Medan itu, dan sebagai Tubuh Yesus Kristus, ngapain pula pakai opan house-open house segala ?

Olala, kita abaikan saja apa kata Eliakim di atas, sebab itu tidak menjadi topik dalam paparan saya kali ini. Kali ini saya cuma ingin mengajak Anda - Pembaca - untuk membicarakan soal ketika Gereja menerima kucuran Dana Bansos dari pemerintah daaerah.

Sikap Gereja yang menerima bantuan yang bersumber dari pemerintah daerah, sebenarnya belakangan sudah jamak sekali. Termasuk, kebijakan pemerintah daerah yang memberikan bantuan kepada Gereja, juga sudah jamak terjadi di tanah air. Kalau bantuan-bantuan pemerintah daerah itu kemudian bermasalah, itu soal lain. Lihat misal di Bengkulu, Sikka, dan banyak daerah lainnya di tanah air. Bahkan, di sebuah kabupaten di Nusa Tenggara Barat, ada Gereja yang mengembalikan bantuan uang yang diterima karena belakangan bermasalah (hukum)

Tak usah jauh-jauh. Di Kabupaten Dairi saja misalnya pada 2013 BPK mendapat temuan soal Bantuan Sosial untuk Gereja sebesar Rp 678 juta dan Bantuan untuk Masjid sebesar Rp 64 juta. Pemkab Dairi, demikian BPK, tidak mempedomani aturan ketika menyalurkan bantuan-bantuan itu. Berdasarkan hasil pemeriksaan atas dokumen pertanggungjawaban belanja Bantuan Sosial diketahui realisasi Belanja Bantuan Sosial tidak sesuai dengan definisi dan tujuan pemberian Bansod, yakni melindungi kemungkinan terjadi resiko sosial. Belanja tersebut tidak tepat dianggarkan pada Belanja Bansos namun seharusnya pada Belanja Hibah. Selain itu, penerima dan besaran Bansos yang diberikan belum ditetapkan dalam Keputusan Kepala Daerah.

"BPK menyampaikan Badan Anggaran menempatkan Bansos tidak mempedomani ketentuan, sedang pihak penerima bantuan tidak mempunyai itikad baik untuk segera menyampaikan laporan pertanggungjawabab", kata seorang kawan.

Dalam Laporan BPK, hampir semua Gereja dan Masjid menerima bantuan kisaran Rp 1 juta hingga Rp 10 juta. Sementara penerima bantuan terbesar yakni Panitia Jubelium 50 Tahun GKPPD dan Panitia Sinode Godang XXVII GKLI Wilayah Dairi masing-masing Rp 15 juta.

Banyak pendapat yang saya himpun soal kucuran dana dari pemerintah daerah kepada Gereja ini. Kawan saya DR Sarmedi Purba misalnya berpendapat, soal ini membutuhkan rumusan teologis yang jelas dan menjabarkannya dalam Tata Gereja masing-masing. Sekira 5 tahun lalu, doktor medis lulusan Jerman ini pernah menolak untuk ikut mengumpulan dana abadi pensiun pendeta di Gerejanya sebesar Rp 5 miliar. Hal ini ditolaknya katanya, kareena konsepnya melibatkan pejabat pemerintah.
"Waktu itu saya pertanyakan bagaimana pendapat teologis Gereja kalau uang hasil korupsi dipakai untuk kegiatan Gereja, sang Pendeta yang menemani penggagas tidak menjawab", kata Doktor Sarmedi bagai mengenang dan menambahkan dari segi hukum, Gereja bisa dikenakan pasal pidana kalau menerima dana yang tidak jelas asal usulnya.

Eliakim Sitorus yang sejak mudanya sampai sekarang aktif sebagai penggiat LSM mengatakan, harus ada sikap teologi baru yang mana uang halal dan yang mana pula uang haram di Gereja. Atau bahkan, katanya, harus bisa ditulis di Konfessi mana sumbangan haram yang harus ditolak dan mana pula sumbangan halal yang bisa diterima dengan ucapan syukur. Sementara, kawan saya Iwan Manalu seorang pemerhati alumni Fakultas Hukum USU yang sekarang berdomisili di Doloksanggul mengatakan, pemberian serta penerimaan uang dari pemerintah daerah kepada Gereja merupakan semacam saling memanfaatkan.

"Pemda (baca : bupati) perlu dukungan massa Gereja dan Gereja butuh dana. Selama tidak ada paksaan dan sesuai dengan koridor hukum, tidak ada masalah tokh ?", katanya.

Kawan saya Arsyad Siregar berbicara lain lagi. Menurut dia tidak serta merta Gereja yang menerima bantuan dari Pemda disalahkan. Boleh jadi dan kerap memang terjadi katanya, sang dermawan dengan lantang dan terkesan gampang ketika memberi bantuan di depan Jemaat Gerja. Seolah-olah, uang yang diberikan adalah uang pribadi si kepala daerah. Dalam situasi seperti ini tentu Gereja tak bisa disalahkan, katanya.

Kawan saya yang dulu pernah akrab dan dekat dengan saya karena menulis di Harian SIB Medan Bresman Marpaung mengatakan, penggunaan anggaran negara harus akuntabel. Si penerima anggaran dari pemerintah daerah menurut Bresman harus mempertanggungjawabkan penerimaannya tadi dengan transparan dan akuntabel juga. Jadi tidak setelah menerima, ya loss saja.

Mamoto Gultom seorang dokter akhli dan bermukim di Jakarta mengutip penggalan kalimat Pdt Nelson Siregar. "Saatnya Gereja bertobat" Hal-hal inilah menurut Mamoto yang antara lain ditulisnya dalam sebuah buku hasil karyanya di bawah judul Saratus Porsen. Pilar rohaniawan sudah terpuruk harus diobati dan sifatnya urgen sebelum Gereja ditinggalkan. Kapitisme agama/ Gereja adalah akar timbulnya sekulerisme, kata Mamoto yang Andeswa (Anak Desa Siwaluompu) Tarutung itu.

Terus teranglah. Saya memang tidak tahu persis bagaimana proses pemberian bantuan oleh pemerintah daerah kepada Gereja. Yang saya tahu cuma proses penyaluran Dana Bansos yang diawali oleh penyampaian proposal atau permintaan Gereja kepada pemerintah daerah. Artinya, ada permintaan, ada pemberian. Dan kalau itu yang dilakukan, saya menjadi tidak percaya kalau pendeta GKPS pernah membuat permintaan tertulis kepada Bupati Simalungun untuk membelikan jubah atau toga mereka. Tak masuk di akal saya kalau mereka meminta kepada Pemkab Simalungun hanya untuk membeli jubah.

Tentang pemberian-pemberian bantuan atau sumbangan atau apa pun namanya kepada Gereja atau kepada petinggi-petinggi Gereja, agaknya saya melihat JR Saragih memang sangat doyan dan penuh perhatian. JR Saragih memang dikenal termasuk seorang yang menaruh perhatian kepada Gereja, dan karena itu dia memang kerap sekali memberikan kepada Gereja atau petinggi Gereja. Lihat misal dua tiga tahun lalu dia juga memberikan masing-masing satu unit kendaraan roda empat yang tergolong mewah kepada Ephorus HKBP dan Ephorus GKPS. Saya memang tidak tahu apakah pemberian kendaraan roda empat itu berasal dari kantong pribadi JR Saragih atau justru dari pundi-pundi APBD Simalungun yang notabene adalah uang rakyat Simalungun.

Dalam pandangan kawan saya Pdt Agus Manullang seorang alumni STT-HKBP Pematangsiantar, pemberian bantuan keuangan atau barang baik kepada Gereja maupun kepada petinggi-petinggi Gereja secara pribadi. bagaimana pun akan mempengaruhi secara negatif. Gampang ditebak kata Agus, akibatnya bisa suara kenabian Gereja terhadap pemerintah daerah menjadi beku bahkan sirna. Karena itulah menurut dia, pihak Gereja jangan terlalu gampang untuk menerima bantuan pemerintah daerah, apalagi kalau tidak ada permintaan atau tidak pernah meminta.
Belakangan memang, ada kecenderungan pihak Gereja terlalu berharap untuk mendapatkan bantuan dari pihak pemerintah daerah. Di Kota Pematangsiantar begitu juga di Kota Medan, setahu saya Guru-guru Sekolah Minggu-nya mendapatkan bantuan uang dari pemerintah daerahnya masing-masing yang saya tidak tahu berasal dari Dana Bansos, Dana Hibah, atau yang lain. Termasuk, dalam melaksanakan perayaan natal misalnya, pihak Gereja selalu mendapatkan bantuan-bantuan dari pemerintah daerah, yang saya tidak tahu bersumber dari mata anggaran mana.

Sekali lagi, yang setahu saya kalau Dana Bansos didapatkan pihak penerima dari pihak pemerintah daerah berdasarkan permintaan pihak penerima yang dilakukan secara tertulis atau dengan pembuatan semacam proposal. Kalau itu yang memang terjadi, bukankah hal ini sesuatu yang bikkin malu semata ?

Siantar Estate, 26 Januari 2015 pukul 16:46
Ramlo R Hutabarat

Berita Lainnya

Post a Comment

0 Comments