St Jannerson Girsang |
Saya
termasuk bernasib mujur. Pasalnya, hingga usia 54 tahun ini, ayah dan
ibu saya masih sehat walafiat, sehingga bisa mengetahui sekilas kisah
kelahiran saya dari saksi pertama. Pengalaman saya menulis biografi
beberapa tokoh, mereka kurang memberikan perhatian atas peristiwa proses
kelahirannya sendiri.
Bukan hanya yang sudah
uzur, teman-teman seusia saya banyak yang tidak sempat bertanya kepada
orang tua mereka soal kelahirannya. Bisa karena tidak tertarik, atau
terlambat karena orang tuanya sudah meninggal.
Padahal
peristiwa seperti ini cukup menarik untuk dikisahkan. Memang, kelahiran
bukan sesuatu yang menentukan masa depan seseorang. Chanakya, seorang
guru, ahli filsafat dan penasehat kerajaan di India, yang hidup tiga
ratus tahun Sebelum Masehi mengatakan “A man is great by deeds, not by birth”.
Peristiwa
kelahiran terlalu sayang untuk tidak dikisahkan. Setidaknya sebuah
refleksi bagi diri sendiri, dan mungkin bisa jadi pelajaran bagi
anak-anak saya.
“Kelahiran dan kematian adalah pintu lewat dimana anda lulus dari satu mimpi ke mimpi lain,” kata Paramhansa Yogandanda.
Dalam
berbagai kesempatan, saya mendengar ayah dan ibu bercerita tentang
peristiwa kelahiran saya. Merekapun senang menceritakannya, kembali
mengingat masa-masa indah menanti seorang buah hati untuk pertama kali.
Ada kisah menggembirakan, sekaligus membuat hati terharu.
Anak
pertama seperti saya pada umumnya, lahir saat orang tuanya belum mapan.
Orang tua baru memulai karier dan belum banyak duit atau mapan.
Ketika
saya lahir, ayah dan ibu saya sendiri masih menumpang di rumah kakek
saya. Kedua orangtua saya adalah guru Sekolah Dasar. Mereka lulus
Sekolah Guru Bawah (SGB) di era limapuluhan. Usai menyelesaikan
sekolahnya, mereka menjadi guru. Ayah saya sudah menjadi guru Sekolah
Dasar sejak 1954, dan ibu saya 1957.
Mereka bukan guru
yang memiliki gaji besar. Tidak seperti sekarang, sebagian guru yang
memiliki sertifikasi dan menerima insentif. Mereka sungguh-sungguh guru
yang hanya mengabdi, dengan gaji yang sangat kecil.
Selain
mengajar di sekolah yang berjarak 1 kilometer dari desa kami, ibu dan
ayah saya juga nyambi ke ladang setelah pulang sekolah. Karena gaji
mereka berdua hanya bisa membeli 2 kaleng beras. Waktu itu gaji guru
masih rendah. Menurut ibuku, mereka kadang bekerja di ladang yang disewa
atau memburuh. (Lebih buruk lagi hingga meletus Pemberontakan G 30 S
PKI 1965).
“Kami sangat susah ketika itu,”ujar ibu suatu ketika mengenang kehidupan mereka menjelang hari kelahiran saya.
Sejak
menikah, Maret 1960, mereka tinggal di rumah kakek saya di desa
Nagasaribu, sekitar 100 kilometer ke arah Selatan Kota Medan atau
sekitar 70 kilometer dari kota Pematangsiantar.
Desa
Nagasaribu terletak di Kecamatan Silimakuta, Kabupaten Simalungun,
Sumatera Utara. Desa ini memiliki geografi yang berbukit dan sebuah
jalan utama yang membelah kampung dari uruk (bagian atas) ke toruan (bagian hilir).
Rumah
kakek saya terletak di bagian hilir dan menghadap jalan yang membelah
desa tadi. Beberapa puluh meter ke sebelah Timur rumah itu terletak
makam Raja Kerajaan Silima Kuta.
Sebelah Timur diapit
satu rumah (milik Nan Salomo Sipayung) dan di sebelah Barat diapit rumah
(Nan Saludin Simaringga dan di sebelahnya rumah Jonni Purba).
Berbentuk
rumah petak (dinding papan membatasi setiap rumah dan merupakan batas
langsung dengan tetangga), memiliki satu kamar tidur,ruang tamu dan
dapur yang kecil, lebar 5 meter dan panjang 6 meter.
Uniknya, terdapat empat rumah dempet dengan tipe yang sama, berbeda dengan model rumah yang lainnya di desa itu.
Saat itu, semua rumah memiliki kolong dan belum ada rumah yang terbuat dari beton.
Saya
belum pernah bertanya mengapa hanya empat rumah itu memiliki model
seperti itu. (Pasti ada sejarahnya mengapa empat keluarga membangun satu
tipe yang sama, berbeda dengan yang lain. Mudah-mudahan masih bisa
ditanyakan ke orang tua saya).
Keunikan lain,
rumah yang terbuat dari kayu dan beratap seng itu memiliki tangga dengan
tinggi sekitar dua meter. Tangganya lebih tinggi dari hampir semua
rumah di desa itu, kecuali jabu bolon (rumah adat besar) yang ketika itu
masih ada beberapa buah.
(Sayangnya semua rumah
itu sudah terbakar pada kebakaran desa Nagasaribu yang menghabiskan
separuh desa yang berpenduduk sekitar 200 Kepala Keluarga itu pada
1972).
Di rumah seperti itulah ayah dan ibu
tinggal bersama kakek saya, dan lima orang adik ayah yang masih
anak-anak atau menjelang remaja atau dewasa.
Adik ayah
kedua Lortina baru lulus Sekolah Dasar dari Perdagangan (28 kilomter
dari Pematangsiantar kearah Kabupaten Asahan) dan Arlina tammat SD dari
Nagasaribu. Bismar anak keempat dan Jasman masih duduk di Sekolah
Dasar dan Sarmelina anak paling bungsu masih belum sekolah.
Kakek
saya sudah menduda sejak 1958, dan ayah dan ibulah yang turut
bertanggungjawab dalam keluarga besar Meski hidup serba kekurangan,
mereka turutmemikul tanggungjawab yang besar.
Seminggu
sebelum ibuku melahirkan, beliau mengambil hak cuti hamil selama tiga
bulan. Meski cuti mengajar, alih-alih istirahat, ibuku malah setiap hari
ke ladang dari pagi hingga sore, sama seperti kebanyakan profesi
penduduk desa itu.
Seperti biasa, sehari sebelum
saya lahir, 13 Januari 1961, pagi hari, ibuku berangkat ke ladang
sewaan mereka di Paya (ladang Jasiap Sipayung). Saat itu mereka menanam
cabe hijau dan diantara tanaman itu terdapat juga daun sup. Hari itu
ibuku menyiangi tanaman liar (gulma) dan pulang ke rumah seperti
biasanya jam 5 sore.
Sesampainya di rumah dari
ladang, dalam keadaan hamil tua, ibu mandi dan mengambil air sendiri ke
pancuran yang terletak di sebuah lembah berjarak sekitar 200 meter dari
rumah. Pulang dari pancuran, tidak langsung beristirahat, tetapi
harus memasak makan malam--dibantu adik-adik ayah, untuk keluarga
besar.
Sesudah makan malam, adik-adik ayah saya
yang sudah remaja atau gadis, meninggalkan rumah dan tidur di rumah
orang lain atau tetangga. Hanya anak-anak yang masih kecil yang tidur di
rumah.
Di desa itu, biasanya anak-anak remaja
atau dewasa yang rumahnya kecil, menumpang tidur di rumah yang
penghuninya sedikit (janda atau keluarga yang anak-anaknya sudah
berkeluarga). Pagi-pagi mereka kembali ke rumah masing-masing.
Alkisah,
saat semua penduduk desa sedang tidur nyenyak, ibuku merasakan sesuatu
yang aneh dan sekitar pukul 02 dinihari, ibuku merasakan pengalamannya
yang pertama seorang wanita hamil tua.
Beliau
merasakan pegal di pinggangnya dan perutnya mulas-mulas. "Saya yakin
akan segera melahirkan,sakit sekali"ujarnya suatu ketika. Saya terharu
bercampur bangga mendengarnya. Terbayang ibuku yang meringis kesakitan
dan tentunya bingung karena baru pertama kali mengalaminya.
Mungkin
memiliki instink (atau sudah pernah belajar soal cirri-ciri
melahirkan), merasakan sesuatu yang tidak biasa, ibuku memberitahu ayah.
Ayah kemudian memberitahu tetangga kami sebelah Barat (ompung Nan
Saludin Simaringga). Beliau kemudian memanggil seorang paraji, Nan Loyar
br Payung ke rumahnya di Ruma Parik, kira-kira 300 meter.
Menunggu
proses kelahiranku, ibuku ditemani para ibu-ibu yang usianya lebih tua
(Nan Saludin, Nan Salomo, Nan Lena, Nan Josep, ompung si Letnan), ayahku
dan kakek (ompung) saya sendiri.
Kecuali ayah saya dan inangtua Nan Lena, semua nama-nama ini sudah meninggal. Betapa besar jasa mereka untuk saya.
Tiga
jam kemudian, sejak ibu mulai merasakan ciri-ciri mau melahirkan
(kontraksi), dengan pertolongan paraji nan Loyar boru Payung,
menggunakan peralatan medis yang sangat sederhana, berhasil menolong
proses kelahiranku.
Bisa dibayangkan, andai kata ada kelainan,
pasti saya tidak bisa tertolong. Rumah sakit jauh dan angkutan belum
sebaik sekarang.
Membandingkan proses kelahiran saya dengan beberapa kisah yang pernah saya dengar, ternyata sedikitnya selangkah lebih maju.
Pengalaman ibunya RE Nanggolan—calon gubernur Sumatera Utara 2013-2018), saat saya menulis biografinya: Haholongon, beliau mengaku pernah melahirkan sendiri beberapa anaknya, dan memotong-ari-ari sendiri. Ngeri ah!.
Yang
lebih ngeri lagi, di abad modern sekarang ini, Ines Ramirez, seorang
penduduk yang hidup di pedesaan Mexico, menjadi satu-satunya wanita yang
diketahui melakukan operasi caesar sendiri pada proses melahirkan anaknya, tengah malam 5 Maret 2000. Saat itu, paraji (midwife)
terdekat berjarak 50 mil (80 km) dari rumahnya. Sementara, suaminya
sedang berada di kantin dan tidak ada telepon untuk menghubunginya.
Karena waktunya sudah tiba, Inez Ramirez melakukan operasi sesar
sendiri. (Lihat http://en.wikipedia.org/wiki/In%C3%A9s_Ram%C3%ADrez).
Akh
tak bisa kubayangkan, kalau saya lahir seperti itu. Syukur kepada
Tuhan, proses kelahiran saya berjalan normal. Saya menghirup udara luar
untuk pertama kalinya, 14 Januari 1961, sekitar pukul lima pagi.
Kata ibuku saya lahir sehat dan gemuk. Ayah dan ibuku, termasuk kakekku bangga punya anak pertama atau cucu pertama yang sehat.
(Aku belum banyak bertanya tentang hal-hal menarik lainnya. Saya berdoa agar ayahku panjang umur dan masih ada waktu bertanya).
Penduduk
desa kami dan di Simalungun pada umumnya, memiliki pemahaman waktu
kelahiran dengan makna yang berkaitan dengan masa depan anak itu. Saya
lahir menjelang mata hari terbit, mereka menyebutnya "gok hudon” (periuk yang penuh, artinya rezeki melimpah).
Dalam Kalender Jawa kelahiran saya adalah 26 Rejeb 1892, Setu Kliwon dan Kalender Islam 26 Rajab 1380 H.
Saya
memiliki bintang Capricorn. Dalam astrologi, Capricorn dianggap sebagai
tanda introvert, tanda bumi, dan salah satu dari empat tanda kardinal.
Capricorn kadang-kadang digambarkan sebagai kambing laut. Alasan untuk
ini tidak diketahui, tetapi citra kambing laut kembali setidaknya ke
masanya Babel. Kata sebuah lagu: Sederhana tapi pendendam. Entahlah!.
Di
kemudian hari, saya mengetahui bahwa 14 Januari 1961 adalah hari
kelahiran Pramuka di Indonesia, kelahiran Robert Edwin Hall, seorang
pengusaha dan pendaki gunung (meninggal pada 1996 di Mount Everest) dan
seorang penyanyi Denmark, Mike Tramp.
(Ibu dan
ayah saya masih hidup berbahagia menikmati masa-masa pensiun mereka
berdua di desa. yang berada di ketinggian 1400 meter di atas permukaan
laut itu. Keduanya sudah berusia 75 tahun dan kemanapun mereka pergi
selalu berdua, ke ladang atau berkunjung ke rumah saya di Medan, ayah
saya masih mampu menyetir mobil kijangnya buatan 1987).
Kisah
perjuangan dan tantangan yang mereka hadapi menjelang kelahiran saya
senantiasa membuat saya tegar menghadapi berbagai masalah. Ayah dan ibu
saya menjadi inspirasi.
"Your birth is a mistake you'll spend your whole life trying to correct," demikian kata Chuck Palahniuk, seorang penulis novel dan penuls bebas berkebangsaan Amerika.
Saya
belum pernah bertanya mengapa hanya empat rumah itu memiliki model
seperti itu. (Pasti ada sejarahnya mengapa empat keluarga membangun satu
tipe yang sama, berbeda dengan yang lain. Mudah-mudahan masih bisa
ditanyakan ke orang tua saya).
Keunikan lain,
rumah yang terbuat dari kayu dan beratap seng itu memiliki tangga dengan
tinggi sekitar dua meter. Tangganya lebih tinggi dari hampir semua
rumah di desa itu, kecuali jabu bolon (rumah adat besar) yang ketika itu
masih ada beberapa buah.
(Sayangnya semua rumah
itu sudah terbakar pada kebakaran desa Nagasaribu yang menghabiskan
separuh desa yang berpenduduk sekitar 200 Kepala Keluarga itu pada
1972).
Di rumah seperti itulah ayah dan ibu
tinggal bersama kakek saya, dan lima orang adik ayah yang masih
anak-anak atau menjelang remaja atau dewasa.
Adik ayah
kedua Lortina baru lulus Sekolah Dasar dari Perdagangan (28 kilomter
dari Pematangsiantar kearah Kabupaten Asahan) dan Arlina tammat SD dari
Nagasaribu. Bismar anak keempat dan Jasman masih duduk di Sekolah
Dasar dan Sarmelina anak paling bungsu masih belum sekolah.
Kakek
saya sudah menduda sejak 1958, dan ayah dan ibulah yang turut
bertanggungjawab dalam keluarga besar Meski hidup serba kekurangan,
mereka turutmemikul tanggungjawab yang besar.
Seminggu
sebelum ibuku melahirkan, beliau mengambil hak cuti hamil selama tiga
bulan. Meski cuti mengajar, alih-alih istirahat, ibuku malah setiap hari
ke ladang dari pagi hingga sore, sama seperti kebanyakan profesi
penduduk desa itu.
Seperti biasa, sehari sebelum
saya lahir, 13 Januari 1961, pagi hari, ibuku berangkat ke ladang
sewaan mereka di Paya (ladang Jasiap Sipayung). Saat itu mereka menanam
cabe hijau dan diantara tanaman itu terdapat juga daun sup. Hari itu
ibuku menyiangi tanaman liar (gulma) dan pulang ke rumah seperti
biasanya jam 5 sore.
Sesampainya di rumah dari
ladang, dalam keadaan hamil tua, ibu mandi dan mengambil air sendiri ke
pancuran yang terletak di sebuah lembah berjarak sekitar 200 meter dari
rumah. Pulang dari pancuran, tidak langsung beristirahat, tetapi
harus memasak makan malam--dibantu adik-adik ayah, untuk keluarga
besar.
Sesudah makan malam, adik-adik ayah saya
yang sudah remaja atau gadis, meninggalkan rumah dan tidur di rumah
orang lain atau tetangga. Hanya anak-anak yang masih kecil yang tidur di
rumah.
Di desa itu, biasanya anak-anak remaja
atau dewasa yang rumahnya kecil, menumpang tidur di rumah yang
penghuninya sedikit (janda atau keluarga yang anak-anaknya sudah
berkeluarga). Pagi-pagi mereka kembali ke rumah masing-masing.
Alkisah,
saat semua penduduk desa sedang tidur nyenyak, ibuku merasakan sesuatu
yang aneh dan sekitar pukul 02 dinihari, ibuku merasakan pengalamannya
yang pertama seorang wanita hamil tua.
Beliau
merasakan pegal di pinggangnya dan perutnya mulas-mulas. "Saya yakin
akan segera melahirkan,sakit sekali"ujarnya suatu ketika. Saya terharu
bercampur bangga mendengarnya. Terbayang ibuku yang meringis kesakitan
dan tentunya bingung karena baru pertama kali mengalaminya.
Mungkin
memiliki instink (atau sudah pernah belajar soal cirri-ciri
melahirkan), merasakan sesuatu yang tidak biasa, ibuku memberitahu ayah.
Ayah kemudian memberitahu tetangga kami sebelah Barat (ompung Nan
Saludin Simaringga). Beliau kemudian memanggil seorang paraji, Nan Loyar
br Payung ke rumahnya di Ruma Parik, kira-kira 300 meter.
Menunggu
proses kelahiranku, ibuku ditemani para ibu-ibu yang usianya lebih tua
(Nan Saludin, Nan Salomo, Nan Lena, Nan Josep, ompung si Letnan), ayahku
dan kakek (ompung) saya sendiri.
Kecuali ayah saya dan inangtua Nan Lena, semua nama-nama ini sudah meninggal. Betapa besar jasa mereka untuk saya.
Tiga
jam kemudian, sejak ibu mulai merasakan ciri-ciri mau melahirkan
(kontraksi), dengan pertolongan paraji nan Loyar boru Payung,
menggunakan peralatan medis yang sangat sederhana, berhasil menolong
proses kelahiranku.
Bisa dibayangkan, andai kata ada kelainan,
pasti saya tidak bisa tertolong. Rumah sakit jauh dan angkutan belum
sebaik sekarang.
Membandingkan proses kelahiran saya dengan beberapa kisah yang pernah saya dengar, ternyata sedikitnya selangkah lebih maju.
Pengalaman ibunya RE Nanggolan—calon gubernur Sumatera Utara 2013-2018), saat saya menulis biografinya: Haholongon, beliau mengaku pernah melahirkan sendiri beberapa anaknya, dan memotong-ari-ari sendiri. Ngeri ah!
Yang
lebih ngeri lagi, di abad modern sekarang ini, Ines Ramirez, seorang
penduduk yang hidup di pedesaan Mexico, menjadi satu-satunya wanita yang
diketahui melakukan operasi caesar sendiri pada proses melahirkan anaknya, tengah malam 5 Maret 2000. Saat itu, paraji (midwife)
terdekat berjarak 50 mil (80 km) dari rumahnya. Sementara, suaminya
sedang berada di kantin dan tidak ada telepon untuk menghubunginya.
Karena waktunya sudah tiba, Inez Ramirez melakukan operasi sesar
sendiri. (Lihat http://en.wikipedia.org/wiki/In%C3%A9s_Ram%C3%ADrez).
Akh
tak bisa kubayangkan, kalau saya lahir seperti itu. Syukur kepada
Tuhan, proses kelahiran saya berjalan normal. Saya menghirup udara luar
untuk pertama kalinya, 14 Januari 1961, sekitar pukul lima pagi.
Kata ibuku saya lahir sehat dan gemuk. Ayah dan ibuku, termasuk kakekku bangga punya anak pertama atau cucu pertama yang sehat.
(Aku belum banyak bertanya tentang hal-hal menarik lainnya. Saya berdoa agar ayahku panjang umur dan masih ada waktu bertanya).
Penduduk
desa kami dan di Simalungun pada umumnya, memiliki pemahaman waktu
kelahiran dengan makna yang berkaitan dengan masa depan anak itu. Saya
lahir menjelang mata hari terbit, mereka menyebutnya "gok hudon” (periuk yang penuh, artinya rezeki melimpah).
Dalam Kalender Jawa kelahiran saya adalah 26 Rejeb 1892, Setu Kliwon dan Kalender Islam 26 Rajab 1380 H.
Saya
memiliki bintang Capricorn. Dalam astrologi, Capricorn dianggap sebagai
tanda introvert, tanda bumi, dan salah satu dari empat tanda kardinal.
Capricorn kadang-kadang digambarkan sebagai kambing laut. Alasan untuk
ini tidak diketahui, tetapi citra kambing laut kembali setidaknya ke
masanya Babel. Kata sebuah lagu: Sederhana tapi pendendam. Entahlah!.
Di
kemudian hari, saya mengetahui bahwa 14 Januari 1961 adalah hari
kelahiran Pramuka di Indonesia, kelahiran Robert Edwin Hall, seorang
pengusaha dan pendaki gunung (meninggal pada 1996 di Mount Everest) dan
seorang penyanyi Denmark, Mike Tramp.
(Ibu dan
ayah saya masih hidup berbahagia menikmati masa-masa pensiun mereka
berdua di desa. yang berada di ketinggian 1400 meter di atas permukaan
laut itu. Keduanya sudah berusia 77 tahun dan kemanapun mereka pergi
selalu berdua, ke ladang atau berkunjung ke rumah saya di Medan, ayah
saya masih mampu menyetir mobil kijang putihnya.
Kisah
perjuangan dan tantangan yang mereka hadapi menjelang kelahiran saya
senantiasa membuat saya tegar menghadapi berbagai masalah. Ayah dan ibu
saya menjadi inspirasi.
"Your birth is a mistake you'll spend your whole life trying to correct," demikian kata Chuck Palahniuk, seorang penulis novel dan penuls bebas berkebangsaan Amerika. (St Jannerson Girsang)
0 Comments