Info Terkini

10/recent/ticker-posts

PRESIDEN INDONESIA DAN PENDAHULUNYA

PRESIDEN RI JOKO WIDODO

Mungkinkah Indonesia tidak maju dan pembangunan tidak berkesinambungan karena Presiden berkuasa tidak menghargai presiden yang digantikannya, demikian sebaliknya?. 

Hal ini tampaknya terus terpelihara sejak kita merdeka. Masa pemerintahan Jokowi adalah momen merubah keadaan.
Mari kita renungkan malam ini. 

Menonton video yang menayangkan Presiden Obama mengutus mantan Presiden Amerika Serikat berusia 69 tahun itu sebagai utusan negeri Paman Sam itu menghadiri upacara pemakaman Lee Kwan Yew yang berlangsung 29 Maret 2015 lalu, membuka mata saya akan perangai para presiden dan pemimpin pemimpin di negeriku. 

Clinton adalah Presiden Amerika Serikat 12 tahun sebelum periode Obama. (8 tahun masa pemerintahan Presiden Bush dan 4 tahun periode kepemimpinan Obama). 

Artinya Clinton sudah bukan orang nomor satu lagi di negeri itu selama lebih dari 12 tahun. 

Menariknya, Obama masih memperhitungkan Clinton. Bukan hanya di mulut saja, tetapi dalam aksi. 

"Bapaklah mewakili saya ke Singapura ya" begitulah kira-kira mereka berdiskusi sebelum berangkat. 

Obama sebagai Presiden yang berkuasa mengutus mantan presiden berusia 69 tahun itu mewakili rakyatnya pada peristiwa penting: pemakaman tokoh besar dunia, PM Singapura. . 

Sekembalinya ke Amerika, mungkin di ruang Oval, Clinton bercerita kepada Obama. 

"Hebat kali bah, Singapura. Mereka sangat menghargai pemimimpinnya. Lee Kwan Yew, yang sudah mantan Presiden diangkat jadi Menteri Penasehat. Aku kau kasi jabatan apa?"
Apa maknanya? 

Di negeri kita hubungan antara mantan Presiden dan Presiden berkuasa aneh. Seperti menaruh dendam. Kalau bukan datang dari penggantinya, dendam itu datang dari pendahulunya. 

Pernahkah Presiden SBY mengutus Megawati, mewakilinya untuk menghadiri sebuah acara?. Pernahkah mereka berbicara di depan publik sesudah Mega lengser?

Semasa pemerintahan SBY, Megawati bahkan tidak pernah mau menghadiri undangan perayaan 17 Agustus di istana. 

Yang tragis adalah Presiden Habibie tidak diziinkan menjenguk almarhum mantan Presiden Soeharto, ketika dirawat di rumah sakit.
Paling tragis, Soeharto di awal kekuasaannya bahkan mengisolasi Soekarno. Jangankan bertemu dengan Presiden Soeharto, berbicara di depan umum aja dilarang. Bertemu keluarga saja, Soekarno dibatasi. 

Bangsa Indonesia adalah pemaaf? 

Bukan kalau soal kekuasaan. Kita adalah pendendam, belum mampu membedakan kepentingan bangsa dari kepentingan pribadi.
Boleh dikatakan, pemimpin-pemimpin kita belum mampu menghargai pendahulunya dalam aksi, hanya dalam hati saja. 

Parahnya, situasi seperti ini tidak hanya di level Presiden. Ormas, partai politik setali tiga uang. Sebagian pemimpin gereja belakangan ini juga mengidap penyakit yang sama. 

Saya mengamati kalau Pimpinan Pusatnya (Bishop atau Ephorusnya) lengser, wah sedih banget posisi pemimpin yang lengser. Sebagian diantaranya, tidak ditempatkan di posisinya yang terhormat. 

Jarang sekali mereka melakukan diskusi soal kebijakan yang berhubungan dengan jabatan mereka. Lengser berarti tamat di mata penggantinya! Bekerja sama? Sebuah hal yang langka terjadi belakangan ini.
Mari belajar dari tetangga kita. 

Skandal Watergate yang menggemparkan di Amerika Serikat di era 70an yang melibatkan presiden Nixon, melalui persidangan yang panjang dan alot, menghasilkan dakwaan, pengadilan, dan penahanan empat puluh tiga orang, dan puluhan di anta­ranya adalah pejabat administrasi Nixon. 

Ujung-ujungnya, penggantinya Gerald Ford, kemudian mengeluarkan pengam­punan kepada Nixon. Bandingkan para presiden kita memperlakukan Soeharto! 

Beda tentu dengan negeri kita. Soeharto dibiarkan tanpa status hukum yang jelas hingga meninggal. Untuk menjadikannya sebagai pahlawan nasional atau penjahatpun kita sulit. 

Itulah susahnya negeri kita ini. Mencintai orang, tanpa jelas, membenci orang juga tak jelas.
Mungkin banyak yang salah dalam diri bangsa ini! 

Harapan Baru

Sebuah harapan baru berada di tangan Jokowi. Pendahulunya SBY mempersiapkan upacara pergantian presiden ke Jokowi dengan baik. 

Seluruh rakyat bisa menyaksikan upacara itu melalui televisi.

Bahkan beberapa bulan sesudah menjabat, Presiden SBY masih pernah diterima Jokowi di Istana Negara. Peristiwa yang belum pernah terjadi di negeri ini sebelumnya. 

Semoga Jokowi juga memperlakukan SBY seperti SBY menyambutnya ketika memasuki istana Negara di awal pemerintahannya. 

"Pengampunan", perbaikan sistem, revolusi mental adalah kata kunci sebuah negara yang berfikir maju. Tidakkah kita sadar bahwa manusia itu diciptakan tidak sempurna, sehingga kita membenarkan diri terus menerus mencari kesalahan agar "harus masuk penjara"?

Lucunya, di Indonesia, orang-orang yang memasukkan orang ke penjara, seringkali akhirnya masuk penjara juga. Berapa orang tokoh reformasi yang mengulangi KKNnya Soeharto? 

Siapa rupanya orang yang korupsi besar-besaran di era reformasi ini. Jawabnya, Generasi Sesudah Soeharto! . . 

Mari mulai berfikir "pengampunan", menghormati para pemimpin pendahulu kita, mempelajari kebaikan mereka dan menghindari dosa-dosa mereka perbuat. Negeri ini masih perlu banyak belajar menghormati para pemimpinnya. 

Bagaimana pendapat Anda? Mari kita renungkan bersama. (Jannerson Girsang)

Berita Lainnya

Post a Comment

0 Comments