Info Terkini

10/recent/ticker-posts

Siantar Butuh Walikota Visioner

BERITASIMALUNGUN.COM, Pematangsiantar- Katakanlah dokumen visi-misi seorang balon (bakal calon) walikota dapat ditempahkan kepada konsultan, namun seyogianya visi-misi itu otentik milik si balon. Dokumen visi-misi bukan sekadar pemenuh persyaratan pendaftaran, melainkan harusnya curahan pikiran si balon tentang apa dan bagaimana dia akan memajukan kota ini.

Secara sederhana, visi diartikan sebagai apa atau keadaan bagaimana yang akan dicapai dalam rentang waktu relative panjang di kemudian hari. Sedangkan misi diartikan sebagai apa dan bagaimana mencapainya.

Visi, layaknya mercusuar, membimbing kita untuk sampai ke tujuan. Visi dihasilkan dari sebuah perenungan dan analisis mendalam atas hal-hal positif dan negatif, baik secara eksternal maupun internal.
Kita tentu lebih mendahulukan analisis eksternal daripada internal. Yang eksternal di luar kendali kita, sedangkan yang internal relative bisa kita kendalikan karena menyangkut diri kita sendiri.

Inilah yang kemudian mengubah analisis SWOT (Strength=kekuatan, Weakness=kelemahan, Opportunity=peluang, Threat=ancaman) menjadi sebaliknya: TOWS.

Globalisasi membuat kita terpapar langsung dengan ancaman yang sifatnya mendunia; tapi sebaliknya, peluang-peluang baru di seluruh dunia pun terbuka bagi siapa saja dan kapan saja.

Persoalannya, bagaimana kita memaksimalkan kekuatan dan meminimalkan kelemahan-kelemahan agar bisa turut serta ambil bagian dan unggul dalam persaingan global.

Dalam skala yang diturunkan, perlu dianalisis dimana posisi Indonesia dalam percaturan dunia atau paling tidak MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN), dimana posisi Provinsi Sumatera dibandingkan 33 provinsi lainnya,  dan bagaimana kondisi dan dimana posisi Kota Pematangsiantar di antara kabupaten/kota yang ada di Sumatera Utara ini.

Walikota visioner Memang telah kita ketahui bersama bahwa visi-misi balon walikota–demikian juga bupati, gubernur, dan Presiden RI–tentu tidak boleh bertentangan dengan RPJP (Rencana Pembangunan Jangka Panjang) nasional dua puluh lima tahunan yang telah ditetapkan beserta turunan-turunannya.

Keduanya harus berjalan seiring ke arah tujuan yang sama. Berdasarkan pengenalan dan pemahaman mendalam terhadap kota ini, balon walikota mestinya sudah mampu melihat jauh ke depan akan seperti apa kota ini dalam lima, dua puluh lima, dan bahkan puluhan tahun ke depan.

Melalui analisis TOWS, balon walikota harus tahu persis bagaimana mencapai visinya itu. Teringat akan sebait copywriting (bahasa iklan), dimana sejenis minuman ringan dilabeli ungkapan “kutahu yang kumau” .
Tapi selanjutnya–tentu–harus tahu persis bagaimana mewujudkannya. Singkat kata, dibutuhkan walikota Pematangsiantar yang visioner, berpandangan jauh ke depan. Idealnya, pemikiran atau ide/gagasannya haruslah melampaui zamannya.
Analisis TOWS secara terus-menerus tentu akan“membumikan” ide/gagasan pada pemenuhan kebutuhan paling hakiki rakyat itu sendiri yakni sejahtera, cerdas, aman, damai, dan adil, sesuai tujuan Negara Indonesia.
Banyak tagline (moto) yang dapat dikarang, tapi hakikatnya tetap “secada” (SEjahtera-Cerdas-Aman-Damai-Adil) itu. Kadang-kadang ada yang memoles inisial namanya sebagai moto sekaligus pemasaran politik untuk meraih popularitas.

Contohnya Penulis sendiri, inisial namanya adalah “RJP” yang dapat dengan mudah diaplikasikan pada moto sosialisasi/kampanye sebagai “Rekreatif, Jaya, dan Produktif ”. Tentu letak Pematangsiantar yang strategis, dekat Danau Toba, dikepung perkebunan dan pertanian, bersuhu udara sejuk, budaya masyarakatnya beragam (multikultural), serta infrastrukturnya yang tidak jelek-jelek amat, membuat kota ini sangat mungkin menjadi kota rekreasi/wisata atau –paling tidak – penyangga wisata.

Apalagi hingga saat ini, penyumbang kedua terbesar dalam PDRB (Pendapatan Domestik Regional Bruto)-nya adalah sector perdagangan, hotel, dan restoran (kontribusi 2010 sebesar 22,77 persen); setelah industry besar dan sedang (kontribusi 2010 sebesar 38,18 persen).

Karakter masyarakat Pematangsiantar yang lebih dikenal sebagai “Siantar man” adalah terbuka, lugas (tak suka basa-basi), ngotot (bahasa lain atau eufimisme dari jugul ), dan ingin selalu nomor satu, merupakan modal besar untuk menjadi sumber daya manusia unggul/kompetitif.

Inilah bekal untuk meraih kejayaan di tengah persaingan global yang sangat ketat. Selain itu, masyarakatnya yang pekerja keras dan cerdas (mendekati “raja olah”) adalah bekal menjadi sumber daya manusia yang produktif (termasuk di dalamnya kreatif dan inovatif).

Tinggal lagi, bagaimana kelak seorang walikota dapat memanfaatkannya dengan baik untuk akhirnya menjadikan Kota Pematangsiantar yang “RJP (Rekreatif-Jaya-Produktif)”.

Siantar, Cukupkah Dikendalikan dari Kok Tong?

Kebiasaan masyarakat Siantar yang nongkrong di kedai kopi semacam Kok Tong merupakan
Model sosialisasi antaranggota masyarakat yang unik dan mengasyikkan.

Pembicaraan tidak hanya sebatas Siantar-Simalungun, melainkan Sumut, Indonesia, bahkan dunia. Memang ada yang unik: pembicaraan sudah selevel Senayan dan nilai proyek yang didiskusikan sudah bermiliar-miliar rupiah, tapi satu sama lain berharap rekan bicaranyalah yang
Membayar makanan dan minuman.

Bisa juga keluar sesumbar seperti ini: “Jangankan Siantar, Indonesia ini pun bisa kita jual, asal
Cocok harga. “Bah..!

Di kedai seputaran jalan Cipto, banyak ditemui ahli (atau seolah-olah ahli) strategi. Strategi main
bola, strategi proyek, strategi bisnis, strategi memenangkan bakal calon (balon) walikota, strategi
olah-mengolah, dll.

Itu sebabnya di sana dapat dengan mudah ditemui “raja olah” . Apalagi pimpinan dan anggota DPRD kota ini, pihak eksekutif (kepala SKPD), tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat, pegiat LSM, pentolan ormas, awak media, panokoh (“raja olah”itu), dan masyarakat biasa, campur-baur menikmati suasana ngopi di pagi hari.

Forum semacam ini sangat cocok untuk membahas kondisi terkini Negara atau kota kita. Baik juga digunakan untuk menyoliasasikan pemikiran/gagasan, strategi, program kerja (secara umum), dll  Yang bertujuan membangun Siantar.

Karena di sana banyak “ ahli strategi” , kedai kopi –kedai kopi cocok juga dijadikan tempat meng-exercise (menguji) strategi kita sendiri. Ada beberapa strategi/kebijakan untuk mencapai visi-misi “Siantar,Kota RJP (Rekreatif-Jaya-Produktif)” yang bisa diajukan.

Pertama, strategi sumber daya manusia (SDM). Kedua, strategi manajemen pemerintahan. Ketiga , strategi pelayanan dan komunikasi dengan masyarakat. Keempat, strategi/kebijakan fiscal (anggaran/keuangan).

Kelima, strategi pembangunan berkelanjutan. Keenam, strategi pengembangan infrastuktur. Perkembangan pesat teknologi informasi dan komunikasi (TIK) membuat kita harus menyusun strategi baru sumber daya manusia (SDM).

Banyak sekali pekerjaan manual birokrasi yang bisa diambil alih oleh TIK. Pendataan dan pengolahan data, kirim-mengirim surat cukup dengan e-mail, rapat tatap muka dihemat dengan menggunakan video conference (menggunakan Skype), dll.

Itu adalah contoh-contoh kecil. Yang justru perlu dilakukan adalah peningkatan kapasitas birokrasi melalui seminar, pelatihan, workshop, dan sejenisnya, setelah diawali reassessment untuk mendapatkan peta kompetensi yang pada akhirnya bisa mendapatkan orang yang tepat di tempat yang tepat.

Kengototan Ahok (Basuki Tjahaja Purnama, Gubernur DKI Jaya) menerapkan e-Budgeting yang mencegah tersusupkannya anggaran siluman 12,1 triliun rupiah dalam RAPBD 2015 mendapat perlawanan keras dari DPRD-nya.

e-Budgeting adalah satu di antara sekian instrument e-Government yang diterapkan untuk mencapai good governance. Bisa saja seperti Di DKI itu, DPRD-nya Belum siapatau tidak mau menerapkannya  karena mengganggu kenyamanan pribadi (baca:sumber rezeki tambahan selama ini), tapi apapun cerita, good governance harus diterapkan demi kesejahteraan rakyat.

Jika good governance ini dilaksanakan, persoalan opini BPK atas LKPD (Laporan Keuangan Pemerintah Daerah) Kota Pematangsiantar yang masih WDP (Wajar dengan Pengecualian) itu, dapat dengan mudah meningkat menjadi WTP (Wajar Tanpa Pengecualian).

Sebenarnya rakyat membutuhkan pemerintah yang mau mendengar aspirasinya. Sulit sekali berhadapan dengan pemerintah yang nengel (tuli atau menulikan diri). Istilahnya, ramanangihon hata atau pendapat dan usul rakyat.

Sikap ini akan mendorong transparansi pemerintah. Alhasil, rakyat tahu apa yang diprogramkan pemerintah, yang dilaksanakan, bagaimana melaksanakannya, berapa anggarannya, dan bagaimana pertanggungjawabannya.

Apalagi hal ini sudah diamanatkan Undang- undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Rakyatlah objek yang harus dilayani pemerintah sekaligus subjek dalam pembangunan.

Selama ini, RAPBD seolah dipahami hanya sekadar rencana anggaran pendapatan dan belanja daerah an sich. Sederhananya, kira-kira berapa dan dari mana pendapatan daerah ini diperoleh serta berapa dan bagaimana membelanjakannya.

Karena fungsi budgeting DPRD belum berjalan maksimal, yang terjadi dalam pengesahan RAPBD menjadi APBD yang kemudian di-Perda-kan, justru lebih bersifat negosiatif dan transaksional daripada pengujian kesesuaian anggaran dengan visi-misi pemerintah yang merupakan turunan RPJMD dan di atasnya yakni RPJP Nasional.

Baik eksekutif maupun legislative masih kurang peduli dengan postur anggaran yang menyejahterakan rakyat dan keduanya tidak serius menetapkan politik anggaran untuk itu. Ketika DPRD lemah, seyogianya pemerintahlah yang lebih dulu mengajukan RAPBD yang pro-rakyat.

Ungkapan yang mengatakan bahwa “bumi ini bukanlah warisan nenek moyang, melainkan pinjaman dari anak-cucu kita ” perlu ada dalam benak pemerintah, sehingga kebijakan dan program pembangunan yang diambil senantiasa mempertimbangkan keberlanjutannya di masa yang akan datang.

Contoh: pembiaran perusakan daerah aliran sungai Bah Bolon akan merusak sungai itu sendiri. Jika permukiman di DAS Bah Bolon tidak ditata, yang terjadi adalah pencemaran sungai itu dan
Akhirnya kerusakan ekosistem sungai. Kalaupun belum banjir, beberapa titik di kota Pematangsiantar ini sudah sering tergenang ketika hujan turun.

Konversi lahan pertanian menjadi permukiman dan industry juga perlu dikontrol. Pemerintah perlu meningkatkan infrastuktur kota ini, terutama pengembangan kota ke arah Tanjung Pinggir sesuai RTRW yang sudah ditetapkan. Segitiga Sutomo-Sudirman-Merdeka sudah mulai macet, demikian juga jalan Adam Malik dan jalan Brigjen Radjamin Purba (Kartini).


Di Tanjung Pinggir sudah ada terminal modern yang dibiarkan menganggur, memboroskan uang
rakyat. Mengapa tidak ada upaya serius dan gigih untuk memanfaatkannya? Soal lain, pembuatan trotoar segitiga Sutomo- Sudirman-Merdeka sebenarnya belum urgen dan anggarannya tadinya lebih baik untuk pemeliharaan dan peningkatan lain yang lebih penting.

Hampir tiap hari, Ketua DPRD Kota Pematangsiantar ada di kedai kopi Kok Tong di jalan Cipto. Strategi dan kebijakan pembangunan kota ini tidak cukup dikendalikan secara santai-santai sambil minum kopi. Apalagi walikotanya hamper tidak pernah berdialog secara langsung dengan
masyarakat.

Exercising ide/gagasan yang ada  di sana hendaknya diseriusi oleh DPRD dan di gedung Dewan yang katanya terhormat itu. Kalau tidak, mau jadi apa dan dibawa ke mana kota kita ini?

Rekreatif


Merriam-Webster mendefinisikan rekreasi sebagai kegiatan untuk bersantai atau bersenang-senang: kegiatan yang dilakukan untuk kesenangan. Letak Pematangsiantar yang strategis, dekat Danau Toba, dikepung perkebunan dan pertanian, bersuhu udara sejuk, budaya masyarakatnya beragam, serta infrastrukturnya tidak jelek-jelek amat, membuat kota ini sangat mungkin menjadi kota rekreasi/wisata atau – paling tidak – penyangga wisata. Sektor pariwisata dapat diandalkan untuk menggerakkan ekonomi.

Siantar Butuh Terobosan

Kota Pematangsiantar kini membutuhkan terebosan, baik pemimpinnya–dan juga masyarakatnya –harus mulai melatih diri terhadap sesuatu yang tidak biasa atau berbeda. Data 2010 menyebutkan, ekonomi Siantar ditopang oleh dua sector besar yakni industry besar dan sedang (kontribusinya sebesar 38,18 persen) serta sector perdagangan, hotel, dan restoran (kontribusinya
22,77 persen).

Tapi beleid pemerintah pusat yang menjadikan Sei Mangkei, Kabupaten Simalungun, menjadi kawasan ekonomi khusus (KEK), membuat Siantar perlu mengubah orientasi. Selain itu, ada beberapa tantangan yang perlu dihadapi.

Luas Siantar yang hanya 79,97 km persegi akan menjadi sumpek jika dijejali lagi dengan industry Ibaratnya, Anda berjejal di dalam angkot yang padat penumpang sembari asap knalpotnya masuk ke dalam kabin.

Selain kota rekreatif, Siantar tetap lebih tepat diarahkan menjadi kota perdagangan dan jasa serta kota pendidikan. Ada aspek strategisnya letak Siantar dan aspek historis yang harus dijadikan variable utama membangun kota ini.

Berkembang dari yang ada Supaya tidak tumpang-tindih, istilah rekreasi kita padukan  saja dengan leisure (santai) menjadi wisata. Dalam topic “Siantar Produktif” nantinya, akan tampak hal-hal positif apabila pemerintah dan juga masyarakat Siantar bekerja keras dan cerdas selama lima hari kerja pertama setiap minggu dan berekreasi di hari Sabtu dan Minggu.

Dengan begitu, akan diperoleh masyarakat yang bisa berjuang untuk hidup sekaligus menikmati hidup. Bukankah sudah ada Indeks Kebahagiaan dan Indeks Kenyamanan Kota yang dijadikan sebagai indicator keberhasilan suatu kota?

Wisata spiritual, kultural, historikal, ekowisata dan agrowisata, medical tourism , wisata kuliner, wisata belanja, dll, menjadi potensi besar rekreasi/wisata kota ini. Siantar menjadi pusat beberapa gereja yakni GKPS, GKPI, HKI, dll.

Ada katedral di Desa Bane. Ada mesjid raya di jalan Mesjid, Timbanggalung. Ada pula Kuil Hindu dan Vihara Budha Avalokitesvara lengkap dengan patung Dewi Kwan Im yang terbesar di Asia Tenggara.

Yang belum digarap maksimal adalah wisata kultural. Sebenarnya, Siantar yang multicultural ini dapatlah menyelenggarakan Festival Budaya Siantar secara tahunan menyongsong hari jadi. Bukan seperti selama ini, hanya bersifat seremonial menghabiskan anggaran karena sudah terlanjur tercantum dalam nomenklatur APBD dengan sekadar mendatangkan artis-artis ibukota Jakarta.

Belum pernah diselenggarakan festival/carnival yang meriah dan unik atau khas Siantar, seperti
Festival Jember itu. Museum Simalungun tampak merana, seperti kerakap tumbuh di batu. Stasiun kereta api Siantar dan beberapa bangunan di sekitarnya yang bergaya art deco tidak memeroleh sentuhan yang menarik sebagai objek wisata.

Bahkan, balai kota – tempat walikota berkantor pun – dibiarkan lumutan. Juga Gedung Nasional dan Siantar Hotel. Belum lagi becak BSA yang ikonik itu. Bukankah itu semua peninggalan sejarah yang menarik?

Jika seandainya Pemerintah Kota Siantar jeli, Daerah Aliras Sungai (DAS) DAS dan sungai Bah Bolon –jika ditata ulang – dapat menjadi objek ekowisata yang menarik. Masih ada lagi potensi lain seperti taman bunga, umbul di belakang USI,dll.

Bahkan persawahan Marimbun dan Sabah Dua, kebun sawit Marihat, serta kebun karet Tapian Dolok – meskipun sedikit di luar wilayah administrative Kota Pematangsiantar –sebenarnya bisa dibuat menguntungkan secara ekonomis bagi kota ini.

Sebagaimana Penang, Siantar juga layak mengembangkan medical tourism . Ada paling sedikit enam rumah sakit tipe C-B yang jika kemudian pemerintah membentuk dan mengaktifkan Dewan Kesehatan Kota untuk mengintegrasikan dan mensinergikan layanan rumah sakit dengan layanan wisata, maka dapat diwujudkan medical tourism itu. (Drs Jutamardi Purba)

Berita Lainnya

Post a Comment

0 Comments