Info Terkini

10/recent/ticker-posts

MARI SELAMATKAN LINGKUNGAN

Penggundulan Hutan di Jambi. DOK
Oleh: Jhon Rivel Purba

Belakangan ini terjadi kerusakan lingkungan yang semakin parah. Salah satu penyebabnya adalah akibat penebangan pohon secara masif. Hutan dibabat dan dibakar demi kepentingan ekonomi sesaat. Itu pun hanya demi kepentingan segelintir orang khususnya pemilik modal. Sebab, alih fungsi hutan menjadi areal perkebunan dan pertambangan ternyata tidak memberikan kesejahteraan bagi masyarakat luas. Justru mendatangkan musibah baik secara ekonomi, ekologi, sosial, dan budaya.

Terjadinya pemanasan global, bencana alam (banjir, erosi, dan longsor), dan konflik lahan yang semakin mengkhawatirkan akhir-akhir ini tidak terlepas dari perusakan hutan. Dampak turunan dari bencana ini adalah kesenjangan sosial, kemiskinan, krisis pangan, dan munculnya berbagai penyakit. Jika ini tetap dibiarkan, maka hari esok tak akan lebih baik dari sekarang. Ini menjadi bom waktu kehancuran bumi.

Mengubah Perilaku dan Budaya Konsumtif

Jika dikaji lebih dalam, maraknya perusakan hutan itu tidak terlepas dari dua hal, yakni: perilaku keserakahan manusia dan menjalarnya budaya konsumtif. Perilaku manusia yang mengedepankan keuntungan ekonomi, mengeksploitasi alam (hutan) secara berlebihan tanpa melihat dampak buruknya bagi lingkungan. Manusia juga tidak pernah puas dengan apa yang dimiliki dan dikonsumsinya. Meningkatnya kebutuhan umat manusia akibat pertumbuhan penduduk dan budaya konsumsi yang tinggi, pada gilirannya sejalan dengan peningkatan eksploitasi alam. Dengan demikian, perilaku serakah dan pola hidup konsumtif adalah awal dari kerusakan lingkungan.

Di sisi lain, mengubah perilaku dan pola hidup konsumtif bukanlah hal yang mudah, karena menyangkut kebiasaan (gaya) hidup masyarakat. Bahkan dalam kehidupan bermasyarakat, seringkali status sosial ditentukan oleh apa yang dimiliki dan dikonsumsi seseorang. Misalnya kepemilikan akan perabot rumah tangga dan barang berharga seperti logam mulia. Padahal, perabot rumah tangga dan logam mulia tersebut dihasilkan dengan merusak hutan.

Jika perilaku dan pola hidup konsumtif ini terus berkembang di tengah-tengah keterbatasan sumber daya alam, maka pasti menjadi malapetaka bagi kehidupan. Oleh sebab itu, harus ada langkah-langkah strategis dan kreatif dalam mengubah perilaku dan budaya konsumtif tersebut. Hal pertama dan terutama adalah membentuk kesadaran lingkungan. Kesadaran itu pada gilirannya melahirkan perilaku dan pola konsumsi yang bersahabat dengan lingkungan. Proses pembentukan kesadaran ini sebaiknya dilakukan sejak dini. Bisa dilakukan melalui pendidikan formal maupun informal, diskusi, seminar, dan melalui media.

Kesadaran itu juga nantinya menjadi dasar dalam menggalakkan penanaman pohon (reboisasi). Memang, penanaman pohon bukan hal baru kita dengar. Sejak duduk di bangku sekolah dasar, kata “reboisasi” sudah akrab terdengar. Hanya saja, belum menjadi gerakan dan budaya masyarakat kita. Terkadang reboisasi hanyalah proyek atau pun pencitraan dari sebuah instansi maupun pejabat publik. Banyak program-program penanaman hutan yang gagal, karena dilakukan bukan atas kesadaran lingkungan. Pohon yang ditanam tidak dirawat, dan pada akhirnya layu terus mati.

Manusia harus bersahabat dengan pohon. Maksudnya adalah menanam dan merawat pohon sebagaimana merawat diri sendiri. Bersahabat dengan pohon bisa dilakukan di mana saja, baik di desa maupun di kota. Bisa dilakukan oleh siapa saja, mulai dari yang muda hingga yang tua. Pohon adalah sahabat dan juga penyangga kehidupan. Jika kita menanam pohon dan merawatnya, maka kita akan menuai banyak manfaat bagi kehidupan.

Di perkotaan, perlu dibangun taman-taman secara kreatif. Selain demi kepentingan ekologi, pengelolaan taman yang kreatif dapat menguntungkan secara ekonomi baik bagi pihak pengelola maupun masyarakat sekitar. Indonesia perlu mengembangkan taman-taman daerah/kota yang dikelola secara kreatif dan mengedepankan kearifan lokal. Di taman tersebut misalnya bisa dilakukan pertunjukan seni budaya sehingga memikat para pengunjung. Era otonomi daerah sangat memungkinkan melakukannya.

Pembangunan dan perlindungan taman/hutan kota ini perlu diseriusi apalagi jika melihat perkembangan kota belakangan ini di mana terjadi alih fungsi lahan menjadi pemukiman penduduk dan pendirian gedung-gedung mewah demi kepentingan ekonomi. Pertumbuhan penduduk semakin meningkat tetapi pada saat bersamaan jumlah pohon semakin menurun. Padahal pohon-pohon itulah penyangga kehidupan.

Menghentikan Perusakan Hutan

Maraknya perusakan lingkungan khususnya penebangan hutan tidak bisa dilepaskan dari lemahnya penegakan hukum. Lebih parahnya, tidak sedikit aparat hukum yang terlibat (secara langsung maupun tidak langsung) dalam perambahan hutan. Hukum hanya tajam pada pelaku-pelaku kecil, tetapi tumpul ketika berhadapan dengan bos-bos besar. Justru hukum bisa dibeli untuk mempermulus kepentingan pemodal besar. Tanpa ada penegakan hukum, akan sulit melakukan upaya pelestarian lingkungan.

Perambahan hutan harus dihentikan karena merugikan semua pihak dan melanggar hak azasi bumi. Pemerintah (pusat dan daerah) beserta pihak-pihak terkait tidak boleh melakukan pembiaran atau lebih parahnya ikut terlibat dengan memfasilitasi pemilik modal untuk memperkosa hutan. Pemberian izin pengusahaan lahan jangan hanya dilihat dari aspek ekonomi, tetapi harus melihat aspek ekologi, sosial, dan budaya masyarakat sekitar.

Di sisi lain, masyarakat juga khususnya pemuda/mahasiswa sebagai agen perubahan, tidak boleh berdiam diri atau sebagai penonton atas praktik-praktik perusakan hutan. Pemuda/mahasiswa harus punya sikap dan bergerak membela kepentingan rakyat serta ekologi.

Selama ini sebagian pemuda/mahasiwa memang sudah mempunyai sikap dan aksi atas ketidakadilan terhadap rakyat. Tetapi masih jarang membawa isu lingkungan hidup. Karena itu, aksi-aksi perlu dilakukan secara kreatif dan berwawasan lingkungan.

Upaya penyelamatan lingkungan ini harus melibatkan semua pihak. Mulai dari pembentukan kesadaran, penegakan hukum, penanaman pohon, dan aksi-aksi kreatif lainnya. Pemerintah, organisasi kemasyarakatan (ormas), lembaga swadaya masyarakat (LSM), tokoh masyarakat, tokoh agama, akademisi, pers, dan pemuda/mahasiswa harus bekerja sama dalam menjalankan aksi-aksi tersebut. Meskipun demikian, pemerintah adalah pemegang kuncinya. Bukan negara-negara asing.(Ant)

Berita Lainnya

Post a Comment

0 Comments