Penggundulan Hutan di Jambi. DOK |
Oleh: Jhon Rivel Purba
Belakangan ini terjadi kerusakan lingkungan yang
semakin parah. Salah satu penyebabnya adalah akibat penebangan pohon secara
masif. Hutan dibabat dan dibakar demi kepentingan ekonomi sesaat. Itu pun hanya
demi kepentingan segelintir orang khususnya pemilik modal. Sebab, alih fungsi
hutan menjadi areal perkebunan dan pertambangan ternyata tidak memberikan
kesejahteraan bagi masyarakat luas. Justru mendatangkan musibah baik secara
ekonomi, ekologi, sosial, dan budaya.
Terjadinya
pemanasan global, bencana alam (banjir, erosi, dan longsor), dan konflik lahan
yang semakin mengkhawatirkan akhir-akhir ini tidak terlepas dari perusakan
hutan. Dampak turunan dari bencana ini adalah kesenjangan sosial, kemiskinan,
krisis pangan, dan munculnya berbagai penyakit. Jika ini tetap dibiarkan, maka
hari esok tak akan lebih baik dari sekarang. Ini menjadi bom waktu kehancuran
bumi.
Mengubah
Perilaku dan Budaya Konsumtif
Jika dikaji lebih dalam, maraknya perusakan hutan
itu tidak terlepas dari dua hal, yakni: perilaku keserakahan manusia dan
menjalarnya budaya konsumtif. Perilaku manusia yang mengedepankan keuntungan
ekonomi, mengeksploitasi alam (hutan) secara berlebihan tanpa melihat dampak
buruknya bagi lingkungan. Manusia juga tidak pernah puas dengan apa yang
dimiliki dan dikonsumsinya. Meningkatnya kebutuhan umat manusia akibat
pertumbuhan penduduk dan budaya konsumsi yang tinggi, pada gilirannya sejalan
dengan peningkatan eksploitasi alam. Dengan demikian, perilaku serakah dan pola
hidup konsumtif adalah awal dari kerusakan lingkungan.
Di sisi lain,
mengubah perilaku dan pola hidup konsumtif bukanlah hal yang mudah, karena
menyangkut kebiasaan (gaya) hidup masyarakat. Bahkan dalam kehidupan
bermasyarakat, seringkali status sosial ditentukan oleh apa yang dimiliki dan
dikonsumsi seseorang. Misalnya kepemilikan akan perabot rumah tangga dan barang
berharga seperti logam mulia. Padahal, perabot rumah tangga dan logam mulia
tersebut dihasilkan dengan merusak hutan.
Jika perilaku
dan pola hidup konsumtif ini terus berkembang di tengah-tengah keterbatasan
sumber daya alam, maka pasti menjadi malapetaka bagi kehidupan. Oleh sebab itu,
harus ada langkah-langkah strategis dan kreatif dalam mengubah perilaku dan
budaya konsumtif tersebut. Hal pertama dan terutama adalah membentuk kesadaran
lingkungan. Kesadaran itu pada gilirannya melahirkan perilaku dan pola konsumsi
yang bersahabat dengan lingkungan. Proses pembentukan kesadaran ini sebaiknya
dilakukan sejak dini. Bisa dilakukan melalui pendidikan formal maupun informal,
diskusi, seminar, dan melalui media.
Kesadaran itu
juga nantinya menjadi dasar dalam menggalakkan penanaman pohon (reboisasi).
Memang, penanaman pohon bukan hal baru kita dengar. Sejak duduk di bangku
sekolah dasar, kata “reboisasi” sudah akrab terdengar. Hanya saja, belum
menjadi gerakan dan budaya masyarakat kita. Terkadang reboisasi hanyalah proyek
atau pun pencitraan dari sebuah instansi maupun pejabat publik. Banyak
program-program penanaman hutan yang gagal, karena dilakukan bukan atas
kesadaran lingkungan. Pohon yang ditanam tidak dirawat, dan pada akhirnya layu
terus mati.
Manusia harus
bersahabat dengan pohon. Maksudnya adalah menanam dan merawat pohon sebagaimana
merawat diri sendiri. Bersahabat dengan pohon bisa dilakukan di mana saja, baik
di desa maupun di kota. Bisa dilakukan oleh siapa saja, mulai dari yang muda
hingga yang tua. Pohon adalah sahabat dan juga penyangga kehidupan. Jika kita
menanam pohon dan merawatnya, maka kita akan menuai banyak manfaat bagi
kehidupan.
Di perkotaan,
perlu dibangun taman-taman secara kreatif. Selain demi kepentingan ekologi,
pengelolaan taman yang kreatif dapat menguntungkan secara ekonomi baik bagi
pihak pengelola maupun masyarakat sekitar. Indonesia perlu mengembangkan
taman-taman daerah/kota yang dikelola secara kreatif dan mengedepankan kearifan
lokal. Di taman tersebut misalnya bisa dilakukan pertunjukan seni budaya
sehingga memikat para pengunjung. Era otonomi daerah sangat memungkinkan
melakukannya.
Pembangunan dan
perlindungan taman/hutan kota ini perlu diseriusi apalagi jika melihat
perkembangan kota belakangan ini di mana terjadi alih fungsi lahan menjadi
pemukiman penduduk dan pendirian gedung-gedung mewah demi kepentingan ekonomi.
Pertumbuhan penduduk semakin meningkat tetapi pada saat bersamaan jumlah pohon
semakin menurun. Padahal pohon-pohon itulah penyangga kehidupan.
Menghentikan
Perusakan Hutan
Maraknya perusakan lingkungan khususnya penebangan
hutan tidak bisa dilepaskan dari lemahnya penegakan hukum. Lebih parahnya,
tidak sedikit aparat hukum yang terlibat (secara langsung maupun tidak
langsung) dalam perambahan hutan. Hukum hanya tajam pada pelaku-pelaku kecil,
tetapi tumpul ketika berhadapan dengan bos-bos besar. Justru hukum bisa dibeli
untuk mempermulus kepentingan pemodal besar. Tanpa ada penegakan hukum, akan
sulit melakukan upaya pelestarian lingkungan.
Perambahan hutan
harus dihentikan karena merugikan semua pihak dan melanggar hak azasi bumi.
Pemerintah (pusat dan daerah) beserta pihak-pihak terkait tidak boleh melakukan
pembiaran atau lebih parahnya ikut terlibat dengan memfasilitasi pemilik modal
untuk memperkosa hutan. Pemberian izin pengusahaan lahan jangan hanya dilihat
dari aspek ekonomi, tetapi harus melihat aspek ekologi, sosial, dan budaya
masyarakat sekitar.
Di sisi lain,
masyarakat juga khususnya pemuda/mahasiswa sebagai agen perubahan, tidak boleh
berdiam diri atau sebagai penonton atas praktik-praktik perusakan hutan.
Pemuda/mahasiswa harus punya sikap dan bergerak membela kepentingan rakyat
serta ekologi.
Selama ini
sebagian pemuda/mahasiwa memang sudah mempunyai sikap dan aksi atas
ketidakadilan terhadap rakyat. Tetapi masih jarang membawa isu lingkungan
hidup. Karena itu, aksi-aksi perlu dilakukan secara kreatif dan berwawasan
lingkungan.
Upaya
penyelamatan lingkungan ini harus melibatkan semua pihak. Mulai dari
pembentukan kesadaran, penegakan hukum, penanaman pohon, dan aksi-aksi kreatif
lainnya. Pemerintah, organisasi kemasyarakatan (ormas), lembaga swadaya
masyarakat (LSM), tokoh masyarakat, tokoh agama, akademisi, pers, dan
pemuda/mahasiswa harus bekerja sama dalam menjalankan aksi-aksi tersebut.
Meskipun demikian, pemerintah adalah pemegang kuncinya. Bukan negara-negara
asing.(Ant)
0 Comments