Info Terkini

10/recent/ticker-posts

JRS Ku Sayang, JRS Ku "Tendang"

PARA CALON BUPATI SIMALUNGUN
BERITASIMALUNGUN.COM-Sejak dilantik sebagai Bupati Simalungun empat tahun yang lalu, tepatnya 28 Oktober 2010 lalu, ekspektasi rakyat cukup tinggi kepada sosok Jofinus Ramli (JR) Saragih untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, memperbaiki infrastruktur di “Bumi Habonaron Do Bona”. Isu kampanye yang diusungpun tak jauh dari pembangunan infrastruktur  jalan dan jembatan hingga ke desa-desa. Namun apa daya, hingga akhir masa jabatan Oktober 2015, janji itu hanya bulus belaka.

Bahkan selama kepemimpinan JR Saragih pembangunan fisik yang siknifikan hanya terfokus di Pematang Raya (Ibukota Kabupaten Simalungun). Pembangunan investasi di sana juga disinyalir milik pribadi JR Saragih atas nama PT Efarina Etaham. Multi bisnis milik JR Saragih berkembang pesat di Kabupaten Simalungun.

Bahkan saat ini satu sekolah SMA/SMK Plus Efarina berdiri kokoh di kaki Gunung Singgalang Saribudolok, Simalungun. Perkembangan investasi di Kabupaten Simalungun tak daya guna karena bisnis tersebut adalah milik "penguasa" Bupati Simalungun JR Saragih. 

Kini dengan kasat mata kita banyak melihat begitu banyaknya jalan-jalan desa yang juga sebagai sentra pertanian Simalungun, kondisinya memprihatinkan. Janji JR Saragih saat kampanye 2010 silam untuk membangun jalan-jalan sentra pertanian di Simalungun hanya janji manis semata.

Awalnya masyarakat di Kabupaten Simalungun berharap kepada JR Saragih saat dilantik menjadi Bupati Simalungun 28 Oktober 2010 lalu, membawa perubahan ke arah yang lebih baik. Namun gaya kepemimpinan "ala Militer" membuat SKPD di Kabupaten Simalungun juga tidak nyaman dalam bekerja.  

Harapan masyarakat Simalungun itu bukan tak beralasan. Pasalnya, pada masa kampanye, janji perubahan selalu didengungkan. Sebanyak 830.986 Jiwa (Simalungun Dalam Angka 2013) menggantungkan harapannya kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Simalungun (Bupati dan DPRD).

Harapan itu sederhana, Kedua lembaga ini diharapkan, bekerja dengan baik dan benar sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing,untuk mewujudkan visi pembangunan yang tertuang di Perda Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Tahun 2010-2015 yaitu “Terwujudnya Masyarakat dan Daerah Kabupaten Simalungun yang Makmur Perekonomian, Adil, Nyaman, Taqwa, Aman dan Berbudaya”(MANTAB).

Sebagai penanggungjawab atas seluruh pelaksanaan program kegiatan dan anggaran, keberhasilan ataupun kegagalan seorang Bupati, dapat dinilai dari laporan kinerja dan laporan keuangan serta prioritas pelaksanaan RPJMD yang dikemas dalam Rencana Kerja Pemerinatah Daerah (RKPD) yang wajib dbuat setiap tahunnya.

Pedoman lainnya yang juga dapat dijadikan acuan dan sesuai ketentuan dan perundang-undangan yang berlaku adalah,laporan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK-RI) yang memuat laporan keuangan pemerintah daerah (LKPD),sistim pengendalian intern (SPI) dan kepatuhan terhadap peraturan dan perundang undangan.

Salah satu bentuk kebijakan pemerintah daerah dalam rangka melaksanakan pembangunan yang merata dan berkeadilan adalah melalui penyusunan APBD yang efektif, akuntabel dan transparan.
Sebagai “Jantung” pembangunan, APBD kabupaten simalungun pada empat tahun terakhir belum menunjukkan keberpihakannya kepada masyarakat miskin, atau dengan kata lain, anggaran masih pro birokrasi.

Sebagai salah satu contoh, total realisasi belanja pegawai tahun anggaran 2013 sebesar Rp.985 Milyar. Jumlahnya sangat fantastis bila dibandingkan dengan total pendapatan daerah yang hanya Rp.1,4 trilliun dan realisasi belanja modal (untuk rakyat) hanya Rp.234 Milyar, serta belanja barang dan jasa (ATK, listrik, telepon, perjalanan dinas, makan minum, perawatan mobil atau sepeda motor, penggandaan, pakain dinas dll) sebanyak Rp.146 Milyar.

Sesuai dengan dokumen Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Bupati, setiap tahunnya masih ditemukan permasalahan yang sama, bahkan rekomendasi BPK RI untuk segera melakukan perbaikan tata kelola keuangan, dianggap hanya lip service semata.

Alih-alih melakukan perbaikan pengelolaan keuangan daerah khususnya perencanaan APBD, neraca (asset daerah) dan catatan atas laporan keuangan (Calk) belum menggambarkan kondisi yang sebenarnya.

Salah satu penyebabnya, dalam merencanakan anggaran, Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) tidak mempedomani berdasarkan fakta-fakta, pendapatan yang akan diterima, dan program kegiatan yang digagas melalui musrenbang, hanya sebatas kelengkapan administrasi, semuanya tlah ada di pikiran pemerintah.

Alhasil, tak sedikit program yang ditetapkan mengalami kegagalan. Kegagalan dalam membuat rencana berarti merencanakan sebuah kegagalan.

Kegagalan dalam perencanaan APBD sama dengan merencanakan kegagalan daerah tersebut untuk mewujudkan kewajibannya, yaitu peningkatan kesejahteraan rakyat di wilayahnya.

Ragam cara dilakukan dengan terang benderang, pertama; anggaran belanja cenderung ditetapkan lebih tinggi. Mengapa penilaian kewajaran belanja harus dilakukan? Salah satu alasannya adalah karena usulan belanja kegiatan cenderung dimark-up, dibesarkan atau ditinggikan di atas perkiraan yang sewajarnya (sebenarnya).

Bila usulan belanja selalu wajar dan sesuai dengan kebutuhan yang sebenarnya, maka urgensi dan relevansi analisis standar belanja menjadi rendah. Kedua, Anggaran pendapatan cenderung ditetapkan lebih rendah. Bila usulan belanja cenderung dimark-up, sebaliknya usulan pendapatan/penerimaan cenderung dimark-down; ditetapkan lebih rendah dari target sebenarnya.

Ketiga, Kurangnya keterpaduan, konsistensi dan sinkronisasi perencanaan dengan penganggaran. Secara normatif, perencanaan dan penganggaran harus terpadu, konsisten dan sinkron satu sama lain. Hal ini sedemikian karena penganggaran adalah media untuk mewujudkan target-target kinerja yang direncanakan.

Tanpa perencanaan, SKPD cenderung tidak fokus serta cenderung bersifat reaktif yang pada akhirnya bermuara pada inefisiensi dan inefektivitas. Keempat, Kurangnya keterpaduan, konsistensi dan sinkronisasi perencanaan antar SKPD. Keterpaduan, konsistensi dan sinkronisasi tidak hanya antara aspek perencanaan dengan penganggaran, tetapi juga antar SKPD.

Hal ini perlu diperhatikan karena target capaian program dan atau target hasil (outcome) sebuah kegiatan dan atau visi daerah dapat dicapai melalui sinergi program dan kegiatan antar SKPD.

Kelima, Relevansi program kegiatan kurang responsif dengan permasalahan atau kurang relevan dengan peluang yang dihadapi. Peningkatan relevansi dan responsifitas program adalah agenda utama perencanaan. Rendahnya relevansi ini terutama karena rendahnya kemampuan perencanaan program dan kegiatan serta keterbatasan ketersediaan data dan informasi.

Keenam. Pertanggungjawaban kinerja kegiatan masih tetap cenderung fokus pada pelaporan penggunaan dana. Hal ini terjadi terutama karena belum jelasnya aturan dan mekanisme pertanggungjawaban kinerja kegiatan.

Pertanggungjawaban kinerja merupakan kunci dari sistem penganggaran berbasis kinerja. Tanpa pertanggungjawaban tersebut, perbaikan kinerja SKPD tidak dapat berlanjut secara berkesinambungan.

Pada titik ekstrimnya, tanpa pertanggungjawaban kinerja, pola penganggaran pada dasarnya masih belum berubah kecuali istilah dan nomenklatur semata. Ketujuh, Spesifikasi indikator kinerja dan target kinerja masih relatif lemah. Pada beberapa kasus, penetapan besar belanja tidak didasarkan pada target kinerja keluaran (output) atau hasil (outcome).

Volume output diubah, tetapi total belanja tidak berubah. Selain itu, Indikator kinerja untuk Belanja Administrasi Umum (dahulu disebut sebagai Belanja Rutin) masih tetap belum jelas.  Kedelapan, adalah rendahnya inovasi pendanaan kesejahteraan rakyat.

Lalu, bagaimanakah cara terbaik untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat? jawaban pertanyaan ini sangat tergantung konteks, potensi dan permasalahan di masing-masing daerah. Hingga saat ini, inovasi pendanaan kesejahteraan rakyat masih relatif rendah.

Keberhasilan manajemen keuangan publik dapat diketahui dari adanya manajemen pendapatan, manajemen belanja dan manajemen pembiayaan. Soal rendahnya pendapatan asli daerah disebabkan belum adanya konstruksi manajemen penerimaan daerah yang mencakup perluasan basis penerimaan, pengendalian atas kebocoran pendapatan, peningkatan efesiensi administrasi pajak serta tranparansi dan akuntabilitas.

Tingginya jumlah angka kebocoran PAD, dapat diatasi dengan memperbaiki sistim akuntansi penerimaan daerah, melakukan audit secara berkala maupun incidental, memberikan reward da punishment bagi objek pajak, memperbaiki moralitas pegawai yang mengurusi pajak, serta mendesak adanya good will dari kepala daerah.

Upaya lain meningkatkan pendapatan daerah  dengan mengurangi biaya pemungutan (insentif pajak dan retribusi daerah), memperbaiki mekanisme administrasi pajak dan retribusi daerah yang mudah dan sederhana dan menjalin kerjasama dengan lembaga-lembaga yag kredibel, dan yang paling terpenting mempersiapkan iformasi teknologi (IT).

DPRD, Pemkab Dan Perilaku Korup

Sehebat apapun sumberdaya dalam penganggaran yang dipersiapkan, ketika politisi berperilaku korup, akan senantiasa mengalami distorsi. Perilaku korup ini terkait dengan peluang untuk mendapatkan keuntungan pribadi pada proyek-proyek yang akan dibiayai dengan anggaran, yakni pengalokasian akan lebih banyak untuk proyek-proyek yang mudah dikorupsi dan memberikan keuntungan politis bagi politisi. Kemudian, korupsi dan rent-seeking activities di pemerintahan berpengaruh terhadap jumlah dan komposisi pengeluaran pemerintah.

Korupsi dapat terjadi pada semua level dalam penganggaran, sejak perencanaan sampai pada pembayaran dana-dana publik. Korupsi secara politis (political corruption) terjadi pada fase penyusunan anggaran di saat mana keputusan politik sangat dominan, dengan cara mengalihkan alokasi sumberdaya publik.

Sementara korupsi yang terjadi dalam pelaksanaan anggaran disebut korupsi administratif (administrative corruption) karena keputusan administrasi lebih dominan. Pada akhirnya korupsi politik akan menyebabkan korupsi administratif.


Sebagian warga menyimpulkan, wajar saja laporan keuangan pemerintah daerah menyandang status “berdarah-darah”alias disclaimer. Realisasi PAD yang bersumber dari pajak dan retribusi TA 2013 mengalami kecobocoran yang jumlahnya sangat fantastis, serta jumlah asset yang tidak menggambarkan kondisi yang sebenarnya. Potret buruknya pengelolaan anggaran publik, menjadikan masyarakat kabupaten simalungun jadi ‘malungun’(sedih). Dan, akhirnya masyarakat akan bilang, JRS Ku Sayang, JRS Ku Malang. (Berbagai Sumber/ Asenk Lee).

Berita Lainnya

Post a Comment

0 Comments