Petani Bawang Merah di Haranggaol. |
BERITASIMALUNGUN.com, Haranggaol-Tidak
hanya Rikson Saragih, petani ikan KJA lainnya di Kelurahan Haranggaol
seperti Herton Nababan juga mengakui, KJA yang dikelola masyarakat jauh
lebih banyak dibanding yang dikelola perusahaan perikanan.
Meski saat ini, jumlah KJA yang ada di Haranggaol mulai
berkurang. Itu karena, KJA menurut Nababan mulai tidak lagi menjanjikan.
"Yang bertahan saat ini adalah pemodal-pemodal besar. Itupun, ada juga
yang sudah menutup KJA nya," kata Nababan.
Herton sendiri mengaku
sudah menutup KJA nya yang tadinya ada sekitar 20 petak. Maraknya
pencurian dengan doton (alat tangkap ikan lepas atau perangkap ikan)
yang dimasukkan ke dalam KJA membuat petani banyak yang gulung tikar
alias bangkrut. Itu juga kata dia, diperparah dengan adanya penyakit
ikan yang kerap menghantui petani KJA.
Begitupun, lanjut Nababan,
KJA sangat berperan besar dalam meningkatkan ekonomi masyarakat
Haranggaol baik yang mempunyai KJA maupun yang tidak. Banyak tenaga
kerja masyarakat sekitar yang diberdayakan.
Hal itu juga diakui
Sahat Sinaga, petani KJA yang memiliki 22 petak KJA. "KJA andalan
masyarakat Haranggaol saat ini. Pertanian tidak lagi bisa diandalkan.
Begitu juga dengan pariwisata," kata Sahat.
Disituasi seperti ini
tambah Nababan, pemerintah dan elemen masyarakat jangan ngotot untuk
meminta KJA ditutup. "Khusus di Haranggaol, pencarian utamanya dari KJA
ini," tegas Nababan dan Sahat Sinaga.
Sejauh ini kata Nababan,
perananan pemerintah dalam pembinaan terhadap petani KJA sangat minim.
Seperti pengadaan benih ikan nila berkualitas tidak pernah disediakan.
Petani mencari sendiri sumber benih ikan nila yang akan dikembangkannya.
Sementara, TPI (tempat pelelangan ikan) dibangun dengan biaya miliaran
rupiah tetapi tidak berfungsi secara maksimal.
Bahkan, ada
statemen pemerintah daerah yang menginginkan KJA ditutup. Kalaupun harus
tetap ada jumlahnya dibatasi hanya dibolehkan empat petak saja per KK.
"Itu sama saja dengan menyiksa masyarakat KJA. Dari mana lagi masyarakat
memperoleh pendapatan kalau hanya empat petak yang diizinkan. Sementara
pertanian tidak bisa lagi diandalkan," kata Nababan.
Memang kata
dia, saat ini pertanian terutama komoditas bawang merah mulai
dikembangkan lagi. Pemerintah mulai menyosialisasikan pengembangan
bawang merah berikut teknologinya.
"Namun, apakah itu sudah bisa
andalkan untuk menutupi kebutuhan hidup masyarakat sekitar dengan
kepemilikan lahan yang sangat minim," kata Nababan.
Menurut Rikson
Saragih, pengembangan bawang merah di Haranggaol mulai dikembangkan
kembali akhir tahun 2013 dalam skala kecil dan tahap coba-coba.
Kemudian,
pertengahan tahun 2014 datang pihak Bank Indonesia (BI) Cabang Siantar
bekerjasama dengan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumut
melakukan pilot project pengembangan bawang merah seluas lima rante yang
dikembangkan KT Wanita Andalan.
Saat itu, ada empat varietas
yang dikembangkan yakni varietas maja, bima dan tiron yang berasal dari
Jawa serta varietas lokal. Dari demplot yang dibuat itu, ternyata
varietas maja jauh lebih unggul dari segi produktivitas dibanding tiga
varietas lainnya.
"Sampai saat ini ada tujuh kelompok tani yang
difasilitasi BI Cabang Siantar bersama BPTP Sumut di Haranggaol ini
termasuk KT Sapanria," jelas Rikson.
Hasil panen saat ini yang
mereka peroleh ternyata jauh lebih tinggi dibanding produktivitas petani
bawang di Jawa. "Produktivitas yang kami hasilkan mencapai 22 ton per
hektare sementara di Jawa hanya berkisar 18 ton per hektare," jelasnya.
Terhadap
harga jual bawang merah, saat ini menurut mereka berkisar Rp 12.000 -
Rp 15.000 per kg. "Kami sangat berharap BI dan pemerintah bisa mengatur
harga jual bawang merah di tingkat petani paling rendah berkisar Rp
10.000 per kg.
Sebab, biaya produksi petani saja berkisar Rp
7.000 per kg. Kalau itu bisa diatur saya yakin petani tidak akan kecewa
dan akan mengembangkan bawang merah ini," kata Hendry Purba, anggota KT
Sapanria dan diamni petani bawang lainnya. (Junita Sianturi)
0 Comments