Info Terkini

10/recent/ticker-posts

Ramlo R Hutabarat: Kenapa Saya Menulis di Media Sosial

BERITASIMALUNGUN.COM-Pada mulanya, saya gemar menulis di media cetak, surat kabar atau majalah. Itu saya mulai sejak kelas II SMP di Lampahan, Kabupaten Bener Meriah (dulu Kabupaten Aceh Tengah) Mula-mula di surat kabar SEULAWAH dan MIMBAR SWADAYA terbitan Banda Aceh. Lantas, di surat kabar POS UTARA terbitan Medan. 

Mula-mula, saya hanya menulis puisi dan cerpen. Sesekali berbentuk reportase dari sekitar lingkungan saya di Kecamatan Timang Gajah, Aceh Tengah (waktu itu, sekarang Kabupaten Benar Meriah).

Lantas, cerpen saya pertama muncul di Harian SIB terbitan Medan, 1975 waktu saya kelas II STM di STM Negeri Tarutung, Tapanuli Utara. Dari sana saya merangkak perlahan menulis di beberapa media cetak lainnya. 

Yang saya ingat antara lain, surat kabar TARUNA BARU yang saat itu dipimpin almarhum M Soeyub Lubis, Surat kabar MANDALA terbitan Bandung, Majalah DUNIA WANITA milik keluarga besar almarhum Mohammad Said, Majalah MISTERI dan Majalah DETEKTIF & SPIONASE milik Ibrahim Sinik big bosnya surat kabar SINAR PEMBANGUNAN yang belakangan berubah nama menjadi MEDAN POS.

Selanjutnya, saya juga pernah menulis di Harian Angkatan Bersenjata yang diterbitkan Kowilhan I Sumatera - Kalimantan Barat, Harian MIMBAR UMUM yang waktu itu pimpinannya Elman Saragih sampai dengan almarhum Sabirin Thamrin. 

Juga di Majalah HORAS INDONESIA terbitan Jakarta yang dipimpin Ch Robin Simanullang, Majalah TEMPO yang dipimpin Gunawan Mohammad, Surat kabar GENTA terbitan Pekanbaru yang dipimpin almarhum Muslim Kawi yang pernah menjadi Ketua PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Riau, Majalah TABE yang dipimpin Pardosi Pardosi Pardosi (Antoni Antra) dimana saya pun duduk sebagai Wakil Pemimpin Redaksi.

Saya juga pernah menulis di surat kabar SIMALUNGUN POS, SUARA SIMALUNGUN yang dipimpin Hentung Purba, WARTA KITA, Tabloid Konstruktif, Surat kabar KONSTRUKTIF, SIANTAR METROPOLIS, surat kabar BONA PASOGIT terbitan Tarutung yang dipimpin Martua Situmorang, dan banyak lagi dan banyak lagi yang sekarang tak saya ingat lagi satu persatu. Wajar saya lupa, karena sudah banyak sekali dan berlangsung puluhan tahun. 

Oh ya, saya juga pernah menulis di Bulletin Suara Methodist Indonesia yang waktu itu dipimpin almarhum Pdt Jonathan Napiun tapi sekarang dipimpin Drs. Naurat Silalahi. Meski pun, saya tak pernah menulis di Buletin PARBARITA yang diterbitkan Keuskupan Agung Medan atau Buletin IMMANUEL yang diterbitkan HKBP.

Kenapa saya menulis, jawabnya sederhana sekali : karena saya suka menulis. Tak lebih dan tidak kurang. Dengan menulis dan menulis, saya pun harus membaca dan membaca. Juga bergaul dengan kalangan apa saja mulai dari lonte sampai pimpinan sinode Gereja. 

Bisa saja pagi-pagi saya bercengkerama dengan calo penumpang di terminal, siang ngobrol dengan politisi atau pejabat pemerintah atau pengusaha tenar, sorenya bergaul bebas dengan pedagang kaki lima atau tukang beca dan pengangguran, dan malamnya nongkrong dengan banyak lonte di kompleks pelacuran yang disebut orang lokalisasi.

Bentuk dan jenis tulisan saya apa saja. Bisa dalam bentuk berita, reportase, opini, features, kritik dan entah apa lagi. Bagi saya, semua itu tak penting. Yang penting, saya menulis. 

Termasuk, saya tak merasa penting apakah tulisan saya dibaca atau tidak dibaca orang. Yang penting bagi saya, saya menulis dan orang-orang menyebut saya sebagai Penulis. Saya senang dan bahagia karena diberi Tuhan kesempatan dan peluang untuk menulis. 

Sama dengan anggota parlemen kan harus berbicara. Mau didengar atau tidak didengar siapa saja, tak urusannya. Urusan seorang anggota parlemen adalah berbicara. Maka, berbicaralah dia. Jangan bungkam alias tutup mulut terhadap sesuatu yang terjadi di tengah masyarakat.

Saya menikmati kehidupan saya sebagai seorang Penulis. Saya senang dan bahagia berlakon sebagai penulis yang saya anggap sebagai suatu profesi. Saya beruntung memiliki istri yang sangat memahami saya sebagai seorang penulis. 

Juga, saya beruntung karena putra-putri saya termasuk para menantu saya bisa memahami ayahnya yang seorang Penulis. Karena itulah menulis sampai sekarang tetap saya lakoni, dan saya sehat wal’afiat dengan kepenulisan saya. 

Dan saya, akan tetap menulis sampai denyut terakhir nadi saya. Sampai detak terakhir jantung saya. Sampai jemari saya kaku dan membeku.

Menurut keyakinan saya, saya menulis bukan karena saya seorang pengangguran apalagi untuk mendapatkan uang. Tokh saya meninggalkan posisi saya di Kantor Pusat GMI (Gereja Methodist Indonesia) dan bekerja secara penuh di Harian SIB Medan. 

Termasuk, sayonara pun saya ucapkan untuk status saya sebagai PNS (Pegawai Negeri Sipil) di Departemen Pendidikan (sekarang Kementerian Pendidikan) yang waktu itu dipimpin almahum Nugroho Noto Soesanto sebagai Menteri.

Tapi meski pun tidak ada niat saya untuk mendapatkan uang, dalam perjalanan panjang kehidupan saya, saya justru mendapatkan uang yang cukup untuk membiayai kehidupan saya serta keluarga besar saya. 

Buktinya, semua putra-putri saya bisa mengikuti pendidikan sampai di perguruan tinggi dan saya memiliki rumah yang permanen setara dengan rumah seorang pejabat pemerintah yang menduduki jabatan Eselon II. 

Saya juga memiliki asset untuk investasi masa depan saya berupa sebidang tanah pertapakan di Siantar Estate, Kecamatan Siantar, Kabupaten Simalungun. Pendek kata, saya bukan orang susah apalagi melarat. 

Saya senang dengan profesi saya sebagai seorang penulis, saya bahagia. Sekali lagi, apa yang menyebabkan saya menjadi Penulis karena saya suka menulis.

Dalam kurun waktu perjalanan saya sebagai Penulis, banyak orang yang sesungguhnya mempengaruhi kekinian saya. 

Sudah barang tentu yang pertama adalah Ibunda saya, almarhum St Porman Boru Sihombing (Ompu Marto Hutabarat Boru) Lantas, adalah almarhum Bishop Hermanus Sitorus orang tuanya R O Coky Strs, yang pernah menjadi Pimpinan Pusat GMI. Dan, seorang yang tidak akan saya lupakan hingga akhir hayat saya, hingga akhir menutup mata adalag almarhum Dr GM Panggabean, yang pernah memimpin Harian SIB lama sekali.

Tapi pun, tak layak saya lupakan juga termasuk beberapa pekerja pers senior saya yang menjadikan saya sebagai adik, sahabat dan murid. 

Mereka antara lain almarhum Arsul Tumenggung, almarhum Nazar Effendi Erde, almarhum Ds Marganda Tobing, almarhum Arifin Siregar, almarhum M Soeyeob Lubis, almarhum Manapar Manullang, almarhum Sabirin Thamrin, almarhum Mikhael Pasaribu, almarhum Monaris Simangunsong, Abanganda M Zaki Abdullah yang pernah menjadi Ketua PWI Sumatera Utara, Abanganda H Bambang Eka Wijaya yang sekarang Pemimpin Umum LAMPUNG POS, Abanganda Rida K Liamsi yang sekarang petinggi di Grup JAWA POS, almarhum H Rifyan Gani, almarhum Esmin Erde Putra, almarhum Jhon Tafbu Ritonga yang pernah menjadi Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara, Saut Sinaga alias DR Lupina Sinaga alias Pak Delta, Lukman Alpayana, Ch Robin Simanullang, dan banyak lagi, banyak lagi.

Secara khusus kekinian saya sebagai penulis sangat dipengaruhi oleh Maha Guru almarhum Dr GM Panggabean. Dari dia, di masa hidupnya saya mendapat ajaran bahwa Penulis tidak boleh berpihak. 

Tapi, katanya, kalau harus berpihak, berpihaklah kepada orang-orang miskin, orang-orang tertindas, orang-orang yang dipinggirkan, orang-orang lemah dan papa. Orang-orang yang dizolimi, orang-orang yang berteriak memohon keadilan. 

Itulah yang saya lakoni hingga saat ini, dan akhirnya menjadi panggilan jiwa saya. Itu jugalah yang menyebabkan secara umum saya tidak pernah disukai mereka yang berkuasa, meski pun sesungguhnya saya disebut sebagai seorang yang dibenci tapi sekaligus juga dirindukan.

Tapi belakangan, saya tidak mendapatkan (lagi) perusahaan pers yang memiliki idealisme seperti yang diajarkan Maha Guru almarhum Dr GM Panggabean, sehingga tulisan-tulisan saya tidak laku (lagi) untuk disiarkan atau diterbitkan pada banyak perusahaan penerbitan pers. 

Kata kawan saya Sulben Siagian, itu disebabkan belakangan perusahaan pers sudah menjadi alat pemiliknya demi untuk keuntungan pribadinya, kelompoknya dan golongannya. Dulu, demikian Sulben Siagian, pers adalah milik publik sehingga harus memiliki idealisme untuk kepentingan publik. Dan sedihnya, dalam keadaan begitu pun publik itu sendiri tidak (pernah) merasa kehilangan.

Saya pikir kawan dan senior saya Sulben bisa benar. Tapi itu tidak membuat saya berhenti menulis. Seperti sudah saya katakan, saya akan terus menulis dan menulis terus sampai denyut terakhir nadi saya, sampai detak terakhir jantung saya. 

Menulis bagi saya sudah merupakan sebuah kewajiban bahkan ibadah. Karena itulah saya harus menulis dan menulis dan tidak penting bagi saya dibaca atau tidak dibaca orang. Itu memang bukan urusan saya. Yang menjadi urusan saya adalah menulis dan menulis. Titik.

Maka beruntunglah saya kepada pendiri media sosial FB yang saya lupa namanya. Dalam kondisi banyaknya perusahaan pers yang tidak lagi menjadi milik publik, saya masih bisa menulis, menuangkan apa saja yang saya lihat dan cermati bahkan mencurahkan kegelisahan saya sebagai anak bangsa. Sekali lagi, mau dibaca siapa saja atau bagaimana, tak menjadi urusan saya. Saya hanya ingin menulis dan menulis sebab dengan menulis saya merasa senang dan bahagia.

Saya akan terus menulis dan menulis terus sampai denyut terakhir nadi saya. Sampai detak terakhir jantung saya. Sampai jemari tangan saya kelu, kaku bagai kayu dan membeku. (Siantar Estate, 21 Januari 2016-Ramlo R Hutabarat)

Berita Lainnya

Post a Comment

0 Comments