Drs Rikanson Jutamardi Purba, Ak |
Catatan : Drs Rikanson Jutamardi Purba, Ak
Menyusun visi-misi itu gampang-gampang susah. Menurut Tahir, bos
Mayapada Group, itu, visi bukanlah wahyu (wangsit), melainkan
penglihatan yang jauh ke depan, tetapi senantiasa berangkat dari
realitas serta peluang dan tantangan yang (mungkin) ada.
WALAUPUN sudah tanggal 12 Januari 2016,
Penulis merasa perlu tetap mengucapkan Selamat Tahun Baru...! Sebenarnya
hari-hari itu sama saja semua dan tanggal-bulan-tahun-abad-millenium
akan berputar terus sebagaimana bumi berputar pada sumbunya, sekaligus
mengelilingi matahari.
Hanya saja, kita perlu “menghentikan” sejenak
putaran itu untuk merenung dan berpikir soal bagaimana kita ke depan
ini. Sekarang saatnya “berhenti” untuk mengatur langkah, menyambut tahun
yang baru.
Ada cerita ringan mengawali tahun genap ini. Penulis, dengan bayaran
secukupnya, pernah dimintai tolong oleh seseorang yang berniat
mencalonkan diri menjadi bupati Simalungun periode 2015-2020. Walaupun
akhirnya tidak berhasil, bahkan sekadar menjadi bakal calon sekalipun,
tetapi dokumen visi-misi itu kami buat dengan sangat serius.
Mula-mula, kami mengambil data APBN 2015 untuk membangun
asumsi-asumsi makro dan arah pembangunan oleh pemerintah pusat. Kemudian
mengambil RPJPD (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah) 2000-2025
sebagai haluan/arah dan RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Daerah) 2015-2020 sebagai pegangan untuk menyatakan visi-misi. Data-data
APBD 2011-2015 kami rujuk untuk melihat postur anggaran. Lantas
melakukan “kirka” (istilah yang sering dipakai oleh kalangan militer dan
kepolisian) untuk memperkirakan keadaan. Istilah kerennya: analisis
TOWS (Threats-Opportunities-Weaknesses-Strenghts), alih-alih SWOT.
Punya impian adalah hak asasi, tapi bermimpi bisa kapan saja.
Celakalah orang yang tidak punya impian; sama celakanya dengan orang
yang sengaja tidur, berharap dapat mimpi, agar tafsir mimpinya dibuat
jadi “erek-erek” togel. Oleh karenanya, pertanyaan pertama yang Penulis
ajukan kepada seseorang itu adalah: “Apa impian Anda terhadap
(kabupaten) Simalungun dalam lima atau sepuluh tahun ke depan?”
Ada aksi menarik di akhir 2015 lalu. Ketika putri mereka yakni Max
lahir, hati Mark Zuckerberg (pendiri dan bos facebook) bersama istrinya,
Chan, membuncah. Mereka lantas tergerak mendonasikan 99 persen sahamnya
di facebook untuk keperluan sosial, agar dalam 100 (seratus) tahun ke
depan, kehidupan putrinya bersama warga dunia semakin terhubung, semakin
sejahtera (memeroleh akses kesehatan dan pendidikan secara adil dan
merata), serta hidup generasi-generasi penerus umat manusia semakin
egaliter.
Di negara kita, setelah Presiden Jokowi ber-Natal nasional di NTT,
beliau kemudian tiba di Merauke, Papua, 30 Desember lalu, dan beliau
menuliskan 7 (tujuh) butir “Impian Indonesia 2015-2085” pada kapsul
waktu untuk disimpan di monumen Kapsul Waktu di tanah Papua dan baru
boleh dibuka 70 (tujuh puluh) tahun lagi. Seorang netizen bermarga
Batubara mengusulkan agar warga daerah kita pun menuliskan impiannya
pada secarik kertas, memasukkannya dalam botol, dan melarungnya di danau
Toba. Juga tahun 2085 kelak baru boleh dibuka.
Butir pertama impian Presiden Jokowi itu adalah “Sumber daya manusia
Indonesia yang kecerdasannya mengungguli bangsa-bangsa lain di dunia”.
Kesemua impian yang ditulis beliau benar-benar berangkat dari realitas
Indonesia serta langkah-langkah untuk mewujudkannya telah, sedang, dan
akan dijalankan terus-menerus.
Makanya Penulis sedikit terusik ketika seorang calon walikota
Pematangsiantar punya visi “pro-job” (penciptaan lapangan kerja) dimana
kota ini akan dijadikan sebagai kota industri melalui pembangunan dan
pengembangan industri garmen yang konon menyediakan 15.000 lapangan
kerja. Sudahkah ini melalui “kirka” atau analisis TOWS ataukah cuma
berdasarkan selera dan pengalaman sendiri? Mari kita bedah.
Siantar kota industri?
MEMBANGUN impian bahwa kota Pematangsiantar kelak menjadi sebuah kota
industri sah-sah saja, namun hal itu bakalan menjadi sebuah utopia
(khayalan/bayang-bayang), apalagi menyangkut industri garmen. Ada
beberapa kondisi yang perlu dipahami terlebih dahulu.
Pertama, pasar industri garmen Indonesia telah terdesak oleh garmen
eks China, baik legal maupun ilegal (selundupan). Menurut majalah API
(Asosiasi Pertekstilan Indonesia) 2007, garmen kita didominasi impor
ilegal hingga 50 persen dari total pasar.
Hanya 5 persen impor dari
China yang legal, sehingga yang ilegal dan legal eks China mencakup 55
persen. Sedangkan 45 persen sisa kebutuhan garmen (pakaian jadi)
dipasok oleh industri dalam negeri.
Kedua, 45 persen bahan baku garmen kita masih diimpor dari China.
Termasuk di dalamnya adalah kain (tekstil), kancing, asesoris,
label/merek, dll. China punya bahan baku sendiri, sementara kita tidak,
sehingga harga garmen produksi Indonesia kalah bersaing dengan China.
Ketiga, ketika pasar AS dan Eropa melakukan pembatasan kuota produk
China sejak 2005, yang kemudian terjadi adalah pengusaha garmen kita
mengimpor produk China untuk kemudian dibubuhi label lokal dan
selanjutnya diekspor kembali dengan label/merek (buatan) Indonesia.
Ini
dilakukan melalui proses transhipment, yakni pemindahan barang dari
kapal ke kapal dan setelah berpindah, barang dibubuhi label di atas
kapal penerima dan selanjutnya kapal penerima berangkat ke pelabuhan
tujuan ekspor.
Keempat, seperti artikel Penulis sebelumnya, karakter sumberdaya
manusia daerah Siantar-Simalungun tak cocok (incompatible) untuk
pekerjaan memburuh.
Walau hanya berupa lagu, tapi lirik lagu “Anak
Medan” yang penggalannya “... Horas, biar kambing di kampung sendiri /
Horas, tapi banteng di perantauan” itu dapat kiranya menggambarkan
sedikit-banyak karakter asli “Siantar Men”.
Kalau harus memburuh,
biarlah di Pekanbaru, Jambi, Batam, atau KBN (Kawasan Berikat Nusantara)
Cakung, tapi bukan di Siantar-Simalungun ini, di depan mata keluarga
dan famili. Coba kita cek, berapa persen “Siantar Men” memburuh di STTC
(rokok), Bumi Sari Prima (tapioka), dll?
Kelima, kalaupun tadinya yang hendak diandalkan adalah upah buruh
murah sebagai dasar untuk menerima relokasi industri garmen, tapi data
menunjukkan bahwa komponen upah buruh dalam struktur harga pokok garmen
hanya 12 persen. Sebesar 67-70 persennya adalah untuk bahan baku dan
peralatan; sedangkan untuk pajak, pungutan, dan biaya-biaya “di bawah
meja” (undertable) jauh di atas upah buruh itu (Akatiga-FES, Laporan
Akhir “Industri Tekstil dan Garmen Indonesia Pasca-ATC: Di Mana Kita
Berada?”, Des 2007).
Keenam, ini soal pilihan industri. Di Sei Mangkei, Kabupaten
Simalungun, sebagai sebuah hinterland Kota Pematangsiantar, telah
dibangun KEK (Kawasan Ekonomi Khusus) dalam rangka MP3EI. Industri yang
telah dan akan dibangun di sana adalah yang berbasis agroindustri
(khususnya CPO dan derivat-derivatnya).
Darmin Nasution (Menko
Perekonomian) baru saja meresmikan pabrik Unilever yang nilai
investasinya mencapai Rp 1 triliun lebih. Bukankah –kalau toh harus
membangun industri di Siantar– lebih tepat membangun agroindustri
ketimbang industri garmen? Alasannya, bahan baku yang tersedia di sini
adalah bahan baku agroindustri.
Ketujuh, struktur PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) Kota
Pematangsiantar memang didominasi oleh sektor industri sedang – besar.
Tapi yang namanya industri di kota ini hanya terutama dan terpusat pada
STTC, BSP, dan sejumlah kecil industri sedang saja.
Justru penyumbang
PDRB nomor dua adalah sektor perdagangan dan jasa yang lebih cocok untuk
kota ini, karena letaknya yang strategis (perlintasan) dan dikelilingi
oleh beberapa hinterland (kabupaten/kota) serta melibatkan lebih banyak
pelaku.
Kedelapan, selain sektor perdagangan dan jasa, yang perlu
dikembangkan justru industri pariwisata dan industri kreatif.
Pembentukan Badan Otorita Pariwisata Danau Toba oleh pemerintah pusat
(dalam hal ini Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Sumberdaya) perlu
disikapi oleh calon walikota Pematangsiantar.
Juga tentunya kerjasama
dengan Badan Ekonomi Kreatif (BEKraf) dalam rangka pengembangan industri
kreatif (kriya/kerajinan: tenun hiou/ulos, batik motif pinar/gorga,
miniatur gonrang/gondang, miniatur rumah adat, dll.; kuliner: kacang
tumbuk Asli, kacang Sihobuk, sarikaya, roti Ganda, roti ketawa Sambo,
kopi Kok Tong/Massa, teh Bah Butong, dll.; atau percetakan/perbukuan
sejumlah gereja yang memang berkantor pusat di kota ini).
Kesembilan, tata ruang kota Pematangsiantar semula tidak dirancang
untuk kota industri. Jika pun industri akan dibangun, tentu lokasinya di
perluasan kota (misalnya di wilayah Tanjung Pinggir yang ternyata
hingga saat ini status lahannya belum tuntas).
Sembilan kondisi yang menjadi dasar argumen bagaimana tidak tepatnya
pengembangan industri garmen di kota ini tentunya didasarkan pada
–setidaknya– pengamatan secara makro, sehingga pengambilan keputusan
yang berbasis pengalaman mikro (dengan contoh KBN Cakung) sungguhlah
tidak memadai.
Adalah tugas stakeholders (para pemangku kepentingan)
kota ini untuk memberikan masukan kepada calon walikota dan sang calon
walikota sendiri harus membuka hati dan pikiran untuk menerima
masukan-masukan, sehingga akan terhindar dari pembangunan berdasarkan
selera pribadi atau pandangan yang sangat mikroskopik dan kurang
komprehensif.
Sebagai bandingan, di Bandung ada Sekolah Tinggi Tekstil yang memang
punya korelasi langsung dengan industri tekstil yang banyak tersebar di
sebelah selatannya atau Kabupaten Bandung, Bandung barat (Cibeureum
hingga Kota Cimahi), dan Bandung timur (Cicaheum).
Di sana industri
tekstil dan garmen cocok. Sementara di Pematangsiantar ada Universitas
Simalungun (USI) yang punya Fakultas Pertanian dan Fakultas Teknik yang
seyogianya bisa disinergikan untuk mengembangkan agroindustri dan
agroteknologi.
Bukankah sinergi antara industri yang telah ada atau yang akan
dikembangkan dengan perguruan tinggi (PT) akan menguntungkan
kedua-duanya? Agroindustri akan mudah mendapatkan tenaga kerja lulusan
PT setempat dan PT bisa mempunyai kekhususan atau keunggulan di
bidang-bidang tertentu karena link-and-match dengan dunia industri
setempat pula.
Tidak ada perguruan tinggi yang hebat dalam semua bidang atau program
studi, tetapi dengan penerapan konsep link-and-match, perguruan tinggi
di daerah ini bisa mempunyai keunggulan atau andalan.
Oleh karenanya,
penegerian universitas yang didengung-dengungkan di sini atau pendirian
universitas negeri bukanlah prioritas. Mungkin yang perlu dilakukan
adalah revitalisasi atau peningkatan kualitas pendidikan di semua
jenjang.
Di hinterland Kota Pematangsiantar sudah ada PPKS (Pusat Penelitian
Kelapa Sawit) Marihat, di Serbelawan ada industri ban, di Bukit Maraja
ada industri CPO (pabrik kelapa sawit), serta di Bah Butong dan
Sidamanik ada pabrik teh. Bahkan di Kota Pematangsiantar sendiri ada
pabrik rokok dan pabrik tapioka. Selama ini, kesemuanya tak terkait
langsung dengan pengembangan perguruan tinggi di daerah ini.
Hal-hal seperti inilah yang kiranya perlu dipertimbangkan oleh calon
walikota ke depan dalam penetapan visi-misi-strategi-programnya.
Visi-misi seluruh pasangan calon walikota/wakil walikota 2015-2020 telah
dibuat, disampaikan kepada KPUD Kota Pematangsiantar, dan
diuji/dipertanggungjawabkan dalam debat kandidat.
Sayangnya dokumen
tersebut terkesan dibuat untuk sekadar memenuhi persyaratan
administratif dan masyarakat umum hampir tak mengetahui atau hampir tak
dilibatkan untuk membahasnya.
Berdasarkan tupoksi, tentunya DPRD Kota Pematangsiantar-lah yang
nantinya ikut dalam penganggaran, pembuatan regulasi (perda), serta
pengawasan pembangunan dengan haluan/arah RPJPD 2000-2025 dan pegangan
RPJMD 2015-2020.
Tapi dalam euforia pilkada serentak yang akhirnya
bahkan tertunda itu, tak seorang pun anggota DPRD Kota Pematangsiantar
yang mengomentari visi-misi calon walikota secara terbuka untuk membantu
masyarakat pemilih celik matanya.
Alhasil masyarakat membuat penilaian dan kesimpulan sendiri atas
visi-misi calon dan penilaian yang umumnya sangat subjektif itulah
nantinya menjadi dasar pribadi untuk memilih calon kepala daerah.
Penulis sendiri tidak akan memilih calon walikota yang akan
mengembangkan industri garmen di Pematangsiantar, tentu berdasarkan
sembilan argumen tersebut di atas. (Penulis Adalah Pengamat Publik dan Kebijakan Pemerintah di Siantar).(Penggagas KoRaSS (Koalisi Rakyat untuk Siantar-Simalungun Sejahtera).
0 Comments