KJA Ikan Mati Haranggaol-Foto Darma Purba |
Oleh: Prof. Dr. Ir. Hasan Sitorus, MS.
Ribuan
ton ikan mati mendadak di perairan Danau Toba, khususnya di zona Bandar
Saribu dan Zona Rappa, Kelurahan Haranggaol, Kecamatan Haranggaol
Horison, dengan kerugian diperkirakan mencapai Rp 41 miliar (Analisa,
7/5/2016). Kejadian kematian ikan secara massal di perairan Danau Toba
sudah terjadi berulangkali, sebagaimana terjadi di beberapa danau atau
waduk di berbagai wilayah di tanah air.
Tentu timbul pertanyaan, apa kemungkinan faktor penyebab terjadinya
kematian ikan secara massal di suatu perairan ? Berdasarkan aspek
ekobiologi ikan, terdapat 3 (tiga) faktor penyebab terjadinya kematian
populasi ikan di suatu perairan, yakni : 1) Kehabisan oksigen terlarut
(Dissolved Oxygen/DO) dalam air, 2) Timbulnya senyawa beracun dalam air,
dan 3) Serangan penyakit akibat bakteri dan virus.
Terjadinya deplesi kandungan oksigen terlarut dalam air disebabkan
beberapa hal, yakni : a) oksigen terlarut habis digunakan mikroba air
untuk menguraikan bahan organik sisa pakan yang terlarut dan tersuspensi
dalam air, sehingga ikan tidak kebagian oksigen lagi dan bisa
menimbulkan kematian mendadak akibat kadar DO sudah mencapai titik
kritis untuk kehidupan ikan yakni < 3 mg/liter. b) senyawa hara hasil
degradasi bahan organik sisa pakan tersebut menyebabkan penyuburan yang
berlebihan (eutrofikasi) yang merangsang terjadinya ledakan populasi
plankton/algae (blooming algae) dalam air.
Pada siang hari fitoplankton melakukan asimilasi (fotosintesis) dan
menghasilkan oksigen ke dalam air sehingga kondisi aman, tetapi malam
hari fitoplankton melakukan respirasi sehingga dengan kepadatan yang
tinggi menyebabkan oksigen terlarut habis dalam air, dan ikan akan mati
secara massal terutama setelah waktu dini hari.
Terbentuknya senyawa beracun dalam air adalah hasil dekomposisi atau
penguraian senyawa organik sisa pakan atau bahan pencemar organik limbah
domestik dalam air secara anaerobik (tanpa oksigen) terutama di bagian
dasar perairan, yang menghasilkan senyawa-senyawa beracun seperti amonia
(NH3), methan (CH4) dan asam sulfida (H2S).
Dari ketiga senyawa racun ini, gas amonia bebas yang paling mematikan
biota air terutama dalam kondisi pH (tingkat keasaman) air tinggi.
Gas-gas beracun ini bisa naik dari lapisan air bagian dasar ke lapisan
air permukaan akibat terjadinya perubahan cuaca dari musim kemarau
menjadi musim hujan.
Pada cuaca berhujan, suhu permukaan air lebih rendah daripada lapisan di bawah, sehingga massa air dari lapisan atas tenggelam (sinking water) ke bawah dan lapisan air dari bawah yang mengandung senyawa beracun naik ke lapisan permukaan air (upwelling), sehingga secara mendadak dapat mematikan ikan budidaya.
Di sisi lain, kematian ikan secara mendadak dan bersifat massal juga
dapat disebabkan serangan mikroba patogen seperti bakteri dan virus.
Banyak hasil riset memperlihatkan bahwa ada korelasi yang kuat antara
kualitas air yang buruk dengan berkembangnya penyakit ikan budidaya.
Bila ikan telah terserang virus maka tidak ada lagi obatnya, harus
dipanen segera, yang bisa diobati bila ikan terserang bakteri patogen
dengan menggunakan obat antibiotik. Oleh sebab itu, kualitas air
perairan sangat berperan penting dalam menentukan keberhasilan budidaya
ikan.
Pada kondisi padat tebar ikan yang tinggi dengan pemberian pakan
buatan (pellet) yang intensif, maka dapat dipastikan akan menghasilkan
limbah sisa pakan yang tinggi dan akan memasuki perairan.
Dari hasil
penelitian diketahui, sebanyak 20 % dari pakan yang diberikan dalam
proses budidaya akan menjadi limbah, dan 55 % terlarut dalam air sebagai
bahan organik dan 45 % mengendap di dasar perairan. Oleh sebab itu
dapat kita bayangkan berapa banyak limbah budidaya yang memasuki suatu
perairan danau bila pakan yang digunakan berupa pelet dengan jumlah
ratusan ton per bulannya.
Lokasi perairan yang secara terus menerus dimanfaatkan untuk kegiatan
budidaya ikan dengan teknologi intensif, kondisi itu akan memberikan
peluang terjadinya kematian ikan mendadak.
Dengan perkataan lain, bila
daya dukung perairan telah terlampaui oleh suatu aktivitas manusia, maka
perairan itu tidak mampu lagi membersihkan dirinya sendiri secara cepat
(self purification) dalam kondisi natural, terlebih-lebih bila arus
perairan lambat dan waktu tinggal (residence time) bahan limbah relatif
lama dalam perairan, maka ekosistem perairan akan menjadi rusak dan
membutuhkan waktu lama dan biaya besar untuk memulihkannya. ***
Penulis Guru Besar Ilmu Perikanan dan Kelautan di Universitas Nommensen Medan
(Sumber: http://harian.analisadaily.com)
0 Comments