PARLUASAN KOTA PEMATANGSIANTAR.FOTO SYAMP BS |
BeritaSimalungun.com-Sesekali, saya masih mengunjungi Simpang Ampat Siantar, di Jalan Gereja. Berbincang ria, ngobrol ngalor ngidul dengan kawan-kawan entah siapa saja. Bisa para jurnalis, aktifis pergerakan, kontraktor atau pelaku dunia usaha secara umum, politisi, birokrat. aparat negara mulai dari jaksa, hakim, polisi atau tentara. Juga pengacara, organisatoris bahkan pareman. Bahkan siapa saja. Termasuk alim ulama, Ustadz atau pendeta dan sintua yang baru dilantik.
Simpang Ampat Siantar memang letaknya strategis. Berada di kawasan jantung kota, arah jalan menuju Tapanuli. Makanya, sesekali ada juga Orang-orang dari kawasan Tapanuli yang mampir di Simpang Ampat, saat menuju ke Medan. Sekadar berbincang ria dengan para Siantar Men yang garang, kritis dan taktis. Termasuk, Bupati Tobasa Darwin Siagian, sesekali mampir disini. Ngopi sambil ngalor ngidul. Meski cuma sekadar say hello.
Penganan di dua tiga kedai kopi disana cuma kopi atau teh serta goreng ubi atau pisang goreng. Selain itu kala pagi masih menyeruput, ada memang nasi ramas ala kadarnya. Lontong, sudah tentu. Cuma, mie gomak seperti yang banyak didapati di Toba, tak ada di Simpang Ampat Siantar. Di bagian lain Simpang Ampat arah ke HKBP Jalan Gereja, ada banyak penjual makanan Cina. Mie pangsit, dan segala macam. Orang-orang dari arah Tapanuli kalau melintasi Siantar, kerap singgah di restoran-restoran Cina disana yang juru masaknya umumnya Orang-orang dari Nias.
Siang tadi saya kembali mengunjungi Simpang Ampat. Di suatu meja saya temui beberapa kawan duduk mengelilinginya. Ada Piliaman Simarmata, Kristian Silitonga, Rudolf Hutabarat, Rindu Erwin Marpaung, Tagor Siahaan, termasuk Pardomuan Nauli Simanjuntak yang belakangan datang. Nama-nama yang tak asing di Siantar - Simalungun. Juga Batara Manurung, Ito kandung kawan saya Jenni Manurung, guru di Kota Pinang, Labuhanbatu. Okh ya, ada juga seorang PuLangit Hasoge Timbul Panjaitan yang saya panggil Tulang.
Segera saja saya menjabat telapak tangan sahabat saya Piliaman Simarmata. Dia baru saja pulang dari Medan, setelah menjalani operasi pembuangan batu karang di tubuhnya. Dia menceritakan pelayanan di RS Columbia Medan yang memuaskan. Peralatannya canggih dan moderen. Dan yang paling penting, para tenaga medisnya ramah dan penuh perhatian.
Berangkat dari pembicaraan itu, kami pun ngobrol soal pelayanan yang didapat pasien BPJS. Kalau mau berobat, tak usah gunakan jasa BPJS. Rumit dan berbelit, kata Piliaman Simarmata. Selain, lamban dan lambat bahkan terkesan dianaktirikan. Rudolf Hutabarat pun membenarkannya. Karena itulah kata Rudolf, waktu berobat tempo hari dia memilih berobat ke Penang saja. Di Penang, cerita Rudolf, pelayanan medis sangat memuaskan dan cespleng. Tak rumit berbelit. Soal pembiayaan, juga tidak terlalu tinggi.
Bukan Simpang Ampat namanya kalau cerita tak panjang. Piliaman Simarmata bilang, di Siantar sebenarnya baik sekali kalau cuma tiga ada rumah sakit. Nggap perlu banyak-banyak. Tapi lengkap segala macam sarana dan prasaranya. Moderen dan canggih. Rumah Sakit Pemerintah, Rumah Sakit Islam dan Rumah Sakit Kristen. Cukup. Kepada rumah-rumah sakit yang cuma bermodalkan gedung doang, pemerintah tak perlu memberi izin operasional, kata mantan Anggota DPRD Simalungun ini.
Kristian Silitonga yang dikenal taktis, kritis dan cerdas itu bilang, BPJS pun ke depan perlu dirubah. Tidak lagi digunakan untuk berobat, tapi hanya untuk chek kesehatan saja. Misalnya, mau periksa kesehatan, gunakan jasa BPJS. Kalau mau berobat kala sakit, gunakan jasa asuransi saja atau bayar langsung. Jadi sifatnya adalah pencegahan. Bukan pengobatan. Dan dana BPJS, juga harus digunakan untuk pembiayaan riset kesehatan.
Kristian bilang, banyak soal yang tak beres dalam BPJS. Persoalannya sangat mendasar. BPJS dirancang oleh orang-orang kaya raya di Jakarta sana. Mereka, selama hidupnya tak pernah mengalami persoalan saat sakit. Uang mereka banyak sekali. Tapi menjadi merencanakan dan mengurusi BPJS, milik masyarakat kebanyakan yang sehari-hari diselimuti kesederhanaan. Karenanya, tak kena dan tak nyambung. Mereka tidak memahami apa yang mereka urusi, kata Kristian.
Namanya saja Simpang Ampat Siantar. Pembicaraan mengarah diskusi selalu muncul begitu saja. Mengalir seperti air. Tak ada arahan, tak ada topik atau thema. Suka-suka. Suka-suka saja. Meski kalau dicemarti, memang enak dan perlu. Ngomong serampangan tak karu-karuan, tapi tetap tertib dan terfokus. Simpang Ampat Siantar.
Entah siapa yang memulai, topik pembicaraan pun beralih kepada soal pemilihan Pangulu di Simalungun yang berlangsung 6 Agustus lalu. Riuh dan gegap gempita. Dan sesungguhnya, pemilihan pangulu merupakan pesta demokrasi yang sesungguhnya. Tak ada calon pangulu yang tidak menggunakan uang untuk dapat terpilih, masih kata Piliaman yang terkadang suka pilih rusuh itu.
Kondisi ini membuat keraguan kelak, para Pangulu (Kepala Desa) akan rentan masuk penjara. Apalagi, mengingat besarnya ADD yang didapat setiap desa di tanah air. Uang yang keluar yang digunakan untuk terpilih menjadi Pangulu diharapkan dikuras nantinya dari ADD. Akibatnya gampang ditebak. Penjara menanti. Lihat misal, begitu banyak kepala daerah di tanah air yang masuk penjara karena menyalahgunakan APBD, kata Kristian.
Saya katakan, sesungguhnya Undang-undang tentang Desa perlu dirubah, direvisi atau malah diganti saja. Tidak mengadopsi Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah yang sifatnya berpusat pada kekuasaan melulu. Kalau Propinsi, Kabupaten atau Kota sudah tak beres, ya biarkan saja tak beres dan memang harus tak beres. Tapi kalau desa, jangan ikut-ikutan kita buat tak beres, kata saya dan segera dibenarkan Piliaman Simarmata.
Desa di tanah air, sesungguhnya tak perlu kita coba-coba untuk tersistem seperti layaknya pemerintahan. Biarkan saja desa menjadi desa dan tetap menjadi desa. Di desa, banyak kearifan lokal yang perlu dipelihara dan dilestarikan. Semua warisan leluhur yang sesungguhnya sangat bijak untuk dipertahankan. Semangat gotong royong dan kebersamaan serta kesatupaduan yang ada di desa, harus dijaga erat. Pada sebuah desa, tak perlu diciptakan semacam kompetisi untuk memperebutkan kekuasaan. Cukup dengan warisan leluhur, musyawarah mufakat.
“Dan yang rasanya penting untuk dipikirkan, ke depan persyaratan menjadi kepala desa tak cukup hanya tamatan SMP. Tapi harus tamatan SMA minimal. Bagaimana seorang tamatan SMP mengelola pemerintahan desa yang mendapatkan ADD sampai ratusan juta”, kata saya.
Entah siapa pula yang memulai, pembicaraan pun beralih kepada kepercayaan terhadap aparat hukum (kita) Ternyata, semua kami sependapat bahwa tak ada lagi kepercayaan terhadap oknum aparat hukum kita. Masing-masing memberi misal.
Mulai dari aparat hukum di pusat sampai di tingkat Kota/ Kabupaten. Termasuk soal setoran-setoran bandar narkoba kepada oknum-oknum tertentu. Termasuk tentang tangkap lepas penjahat narkoba. Ada malah oknum aparat pemkab yang tertangkap karena kasus narkoba tapi dibarter dengan pemberian proyek, kata Piliaman Simarmata.
“Saya tidak percaya pada oknum aparat hukum kita. Tidak percaya ! Tidak percaya”, kata Piliaman jelas dan tegas berulang-ulang dan menambahkan, kalau saja pun oknum aparat hukum itu anaknya kandung, Piliaman tidak percaya kepadanya. Apa boleh buat. Aparat hukum kita sekarang sangat mengecewakan. Para pimpinan mereka tidak mampu mengatur dan mengendalikan anak buahnya. Semua jadi penjahat. Semua, kata Piliaman Simarmata.
Entah bagaimana pula pembicaraan beralih kepada orang-orang per orang kepala-kepala daerah. Kami tertawa-tawa sepuasnya ketika Piliaman Simarmata mengilustrasikan kepala daerah kita belakangan yang bagai orang buta menjadi supir dan rakyat adalah penumpangnya. Siapa yang mau jadi penumpang, ya naik ke dalam bus yang dikendarai sang supir buta itu. Kalau nantinya kendaraan tadi menabrak tembok atau masuk jurang, menjadi soal lain.
Semua kami tak percaya terhadap siapa pun kepala daerah. Setiap kepala daerah, tidak pernah sempat memikirkan rakyat yang dipimpinnya. Kecuali satu dua, antara lain Risma di Surabaya dan Riduan Kamil yang saya lupa dimana menjadi kepala daerag menurut Kristian Silitonga. Tapi, lima puluh tahun ke depan pun, kita tak akan menemukan lagi sosok kepala daerah seperti Risma dan Riduan Kamil. Kami tertawa-tawa.
Ngobrol tak karu-karuan siang tadi di Simpang Ampat Siantar berakhir bersamaan dengan ajakan Pardomuan Nauli Simanjuntak (sebenarnya harus saya cantumkan SH di belakang namanya atas permintaannya) untuk makan siang.
“Beta. Beta ma jolo mangan. Nga male iba. Hamu do na sai manghatai, alai ahu do na gabe male”, katanya sambil berdiri.
Satu-satu kami bangkit. Beranjak ke rumah makan khas Batak tak jauh dari Simpang Ampat Siantar. Simpang Ampat Siantar. Simpang Ampat Siantar. Semua ada disini. Bahkan yang tidak ada.(Patarias Coffeshop, 8 Agustus 2016-Ramlo R Hutabarat)
0 Comments