Info Terkini

10/recent/ticker-posts

(Sejarah Reformasi) 21 Mei 1998 Pukul 09.00, Soeharto Resmi "Lengser Keprabon"

Presiden Soeharto saat mengumumkan mundur dari jabatannya di Istana Merdeka, pada 21 Mei 1998.via commons.wikimedia.org
BeritaSimalungun.com-Terpilihnya Soeharto untuk ketujuh kalinya sebagai Presiden RI pada Maret 1998 membuat situasi dalam negeri semakin bergejolak. Penolakan secara terang-terangan akan keterpilihan kembali penguasa Orde Baru kian terasa.


Puncaknya pada bulan Mei 1998 di mana terjadi penembakan empat mahasiswa Universitas Trisakti yang kemudian dijuluki sebagai "martir reformasi". Kejadian ini menyulut protes rakyat dalam skala massif yang dimotori oleh mahasiswa.

Mereka mulai meninggalkan metode mimbar bebas di kampus-kampus dan mulai turun ke jalan. Hingga pada 18 Mei 1998, ribuan mahasiswa berhasil menduduki gedung DPR/MPR, salah satu simbol perpanjangan tangan kuasa Soeharto ketika itu.


Meski mendapat protes hebat, Soeharto bergeming. Di tengah hiruk-pikuk itu dia masih berupaya menyusun kabinet barunya yakni Kabinet Reformasi, sebagai upaya untuk memperoleh kembali kepercayaan rakyat.

Namun, alih-alih mendapat dukungan, sebanyak 14 menteri Kabinet Pembangunan VII yang kembali masuk dalam Kabinet Reformasi tiba-tiba saja mengundurkan diri pada 20 Mei 1998 pukul 20.00.


Dikutip dari Presiden (daripada) Soeharto, sebuah surat dilayangkan para menteri itu kepada Yusril Ihza Mahendra selaku staf ahli Presiden. Isinya, mereka secara implisit menyarankan Soeharto mengambil langkah cepat untuk memenuhi keinginan masyarakat yang memintanya mundur.

Keempat belas menteri yang mengundurkan diri itu adalah Akbar Tandjung, AM Hendropriyono, Ginanjar Kartasasmita, Giri Suseno Hadihardjono, Haryanto Dhanutirt, Justika S. Baharsjah, Kuntoro Mangkusubroto, Rachmadi Bambang Sumadhijo, Rahadi Ramelan, Subiakto Tjakrawedaya, Sanyoto Sastrowardoyo, Sumahadi, Theo L. Sambuaga, dan Tanri Abeng.


Tak lama setelah surat itu sampai ke Soeharto, pria yang dijuluki "The Smiling General" ini pun menyatakan niatnya untuk mundur. Yusril kemudian yang menyusun naskah pidato pengunduran diri sang penguasa selama 32 tahun itu.

Pada saat naskah itu diserahkan, Soeharto sempat menuliskan tambahan pidatonya sendiri di lembar kosong.


Pada Kamis, 21 Mei 1998 sekitar pukul 09.00, Soeharto sudah mengenakan safari warna gelap dan berpeci. Dengan langkah tenang, dia meninggalkan Ruang Jepara yang ada di Istana Negara menuju Ruang Credentials.

Dia kemudian berdiri di depan mikrofon. Dengan nada suara yang datar, tanpa emosi. Presiden tua itu mengucapkan:

Assalamual’aikum warahmatullahi wabarakatuh

Sejak beberapa waktu terakhir, saya mengikuti dengan cermat perkembangan situasi nasional kita, terutama aspirasi rakyat untuk mengadakan reformasi di segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara.

Atas dasar pemahaman saya yang mendalam terhadap aspirasi tersebut, dan terdorong oleh keyakinan bahwa reformasi tersebut perlu dilaksanakan secara tertib, damai dan konstitusional demi terpeliharanya persatuan dan kesatuan bangsa serta kelangsungan pembangunan nasional, saya telah menyatakan rencana pembentukan Komite Reformasi dan mengubah susunan Kabinet Pembangunan VII.

Namun demikian, kenyataan hingga hari ini menunjukkan Komite Reformasi tersebut tidak dapat terwujud karena tidak adanya tanggapan yang memadai terhadap rencana pembentukan komite tersebut.

Dalam keinginan untuk melaksanakan reformasi dengan cara yang sebaik-baiknya tadi, saya menilai bahwa dengan tidak dapat diwujudkannya Komite Reformasi maka perubahan susunan Kabinet Pembangunan VII menjadi tidak diperlukan lagi.

Dengan memperhatikan keadaan di atas, saya berpendapat sangat sulit bagi saya untuk dapat menjalankan tugas pemerintahan negara dan pembangunan dengan baik.

Oleh karena itu dengan memperhatikan ketentuan Pasal 8 UUD 1945, dan setelah dengan sungguh-sungguh memperhatikan pandangan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dan pimpinan fraksi-fraksi yang ada di dalamnya, saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden Republik Indonesia, terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini pada hari ini, kamis 21 Mei 1998.

Pernyataan saya berhenti dari jabatan sebagai Presiden Republik Indonesia, saya sampaikan di hadapan Saudara-saudara pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang juga adalah pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat.



(selanjutnya pidato Soeharto membacakan tulisan tangannya) 

Sesuai dengan Pasal 8 UUD ’45, maka Wakil Presiden Republik Indonesia Prof. H. BJ Habibie yang akan melanjutkan sisa waktu jabatan Presiden Mandataris MPR 1998-2003.

Atas bantuan dan dukungan rakyat selama saya memimpin negara dan bangsa Indonesia ini, saya ucapkan terima kasih dan minta maaf bila ada kesalahan dan kekurangannya. Semoga Bangsa Indonesia tetap jaya dengan Pancasila dan UUD 45-nya. 

Mulai ini hari Kabinet Pembangunan ke VII demisioner dan pada para menteri saya ucapkan terima kasih.

Oleh karena keadaan tidak memungkinkan untuk menyelenggarakan pengucapan sumpah di hadapan Dewan Perwakilan Rakyat, maka untuk menghindari kekosongan pimpinan dalam menyelenggarakan pemerintahan negara, kiranya Saudara Wakil Presiden sekarang juga agar melaksanakan pengucapan sumpah jabatan presiden di hadapan Mahkamah Agung Republik Indonesia.



Pidato hanya berlangsung selama 10 menit. Tak ada sesi tanya jawab yang dilakukan. Soeharto menandatangni naskah usai BJ Habibie diangkat sumpah oleh Mahkamah Agung. Dia lalu menyalami anak emasnya yang kini jadi penguasa itu.


Tanpa ada satu kata pun disampaikan kepada Habibie, Soeharto langsung meninggalkan ruang Credentials. Ditemani putrinya, Mbak Tutut, Soeharto menemui piminan DPR.MPR yang menunggu cema di Ruang Jepara tanpa tahu apa yang terjadi selama 10 menit lalu itu.

Ketika sampai di ruangan itu, Soeharto menyampaikan dia sudah menyatakan pengunduran dirinya sekaligus serah-terima jabatan presiden kepada BJ Habibie. Sesudah menyampaikan itu, Soeharto keluar dari istana menuruni anak tangga di Istana Merdeka.




Dia menaiki mobil yang sudah menunggunya dan meluncur ke kediamannya di Jalan Cendana No. 8-10. Inilah akhir perjalanan panjang Soeharto yang resmi lengser keprabon (turun tahta), tepat 18 tahun silam.

Dinamika "Ring 1", dan Kegelisahan Kabinet

Presiden Soeharto menyatakan mundur dari jabatannya pada 21 Mei 1998, yang juga menjadi penanda berakhirnya kekuasaan Orde Baru.


Mundurnya Soeharto memang dilakukan setelah desakan masyarakat yang semakin besar, terutama setelah Tragedi Trisakti yang menewaskan empat mahasiswa Universitas Trisakti pada 12 Mei 1998.

Kerusuhan besar pada 13-14 Mei 1998 juga menjadikan situasi politik Tanah Air semakin tidak stabil.

Setelah menyatakan mundur, Soeharto menyerahkan jabatan presiden kepada Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie. Transisi kekuasaan itu ternyata berjalan dinamis, bahkan tanpa sepengetahuan Habibie hingga beberapa jam sebelumnya.

Dinamika pada Rabu malam, 20 Mei 1998, itu diceritakan Habibie dalam buku Detik-detik yang Menegangkan. Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi (2006).

Habibie menilai krisis ekonomi menjadi faktor utama berakhirnya kekuasaan Soeharto. Krisis itu mulai terasa sejak Agustus 1997, dan berkembang menjadi krisis multidimensional, termasuk di bidang politik.

Semakin besarnya aksi demonstrasi yang dilakukan mahasiswa juga menjadikan krisis kepemimpinan semakin terlihat. Saat itu, mahasiswa sudah menduduki Gedung DPR/MPR sejak 18 Mei 1998.

Tidak hanya itu, krisis politik semakin berkembang saat Ketua DPR/MPR Harmoko yang disertai pimpinan DPR/MPR meminta Presiden Soeharto untuk mundur pada 18 Mei 1998.

Kegelisahan di Internal Kabinet

Krisis kepemimpinan pada Mei 1998 berdampak terhadap internal kabinet. Apalagi, pada 17 Mei 1998 Menteri Pariwisawata, Seni, dan Budaya Abdul Latief sudah menyatakan diri mundur dari kabinet.

Habibie kemudian mengungkap ada kegelisahan yang dirasakan sejumlah menteri. Kegelisahan itu disampaikan Menteri Koordinator bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri Ginandjar Kartasasmita pada 20 Mei 1998.

Sekitar pukul 17.00 WIB, Ginandjar menelpon Habibie. Dia menyampaikan bahwa 14 menteri menyatakan tak bersedia untuk duduk dalam Kabinet Reformasi. Namun, 14 menteri itu tetap akan melanjutkan tugasnya di Kabinet Pembangunan VII.

Mengutip arsip Harian Kompas, 14 menteri yang menandatangani "Deklarasi Bappenas" itu secara berurutan adalah Akbar Tandjung, AM Hendropriyono, Ginandjar Kartasasmita, Giri Suseno Hadihardjono, Haryanto Dhanutirto, Justika S Baharsjah, Kuntoro Mangkusubroto, Rachmadi Bambang Sumadhijo, Rahardi Ramelan, Subiakto Tjakrawerdaya, Sanyoto Sastrowardoyo, Sumahadi, Theo L Sambuaga, dan Tanri Abeng.


Pernyataan Ginandjar itu membuat Soeharto terpukul. Soeharto sendiri menerima surat pernyataan itu, menurut Harian Kompas, pukul 20.00 WIB pada 20 Mei 1998. Soeharto benar-benar terpukul. Ia merasa ditinggalkan.

Habibie kemudian bercerita bahwa informasi di internal kabinet memang simpang-siur. Dalam bukunya, Habibie menyatakan bahwa pada pukul 17.45 WIB Menteri Keuangan Fuad Bawazier menelpon. Fuad bertanya seputar isu mundurnya Habibie sebagai wapres.

"Saya jawab, 'Isu tersebut tidak benar. Presiden yang sedang menghadapi masalah yang multikompleks, tidak mungkin saya tinggalkan. Saya bukan pengecut!'," jawab Habibie kepada Fuad.

Habibie kemudian bertanya balik kepada Fuad mengenai rapat 14 menteri di Bappenas. Namun, Fuad saat itu tidak hadir. Sehingga Habibie meminta Fuad bertanya kepada Ginandjar Kartasasmita.

Berdiskusi dengan Soeharto

Malam harinya, Habibie kemudian bertemu Presiden Soeharto sekitar pukul 19.30 WIB di Jalan Cendana, Jakarta Pusat.

Habibie baru bertemu Soeharto beberapa saat kemudian, sebab sebelumnya Soeharto bertemu dengan Soedharmono. Menurut Habibie, pembicaraan dengan Soeharto saat itu terkait nama-nama yang akan ditempatkan dalam Kabinet Reformasi.

"Karena ada perbedaan pandangan menyangkut beberapa nama, maka terjadilah perdebatan yang cukup hangat," tulis Habibie.

Karena tidak ada titik temu, Habibie menyerahkannya kepada Soeharto. Setelah itu, Soeharto segera meminta Menteri Sekretaris Negara Saadilah Mursyid untuk membuat keputusan presiden terkait pembentukan kabinet yang diharapkan jadi solusi terhadap krisis politik saat itu.

Rencananya, pada 21 Mei 1998 Soeharto mengumumkan kabinet itu dan melantiknya pada 22 Mei 1998. Pembicaraan dengan pimpinan DPR/MPR yang meminta Soeharto mundur akan dilakukan pada 23 Mei 1998.

Habibie berpikir bahwa Soeharto akan mundur setelah Kabinet Reformasi terbentuk. Dia ingin bertanya kepada Soeharto, tapi enggan.

Habibie kemudian bertanya mengenai posisinya sebagai wakil presiden. Jawaban Soeharto cukup mengejutkan. "Terserah nanti. Bisa hari Sabtu, hari Senin, atau sebulan kemudian, Habibie akan melanjutkan tugas sebagai presiden," ucap Soeharto, seperti disampaikan Habibie.

Habibie juga bertanya masalah terkait 14 menteri. Ketika itu, Soeharto meminta Habibie berbicara dengan Ginandjar secara baik-baik.

Habibie Memanggil Menteri


Setelah bertemu Soeharto, Habibie pun memanggil sejumlah menteri ke kediamannya di Kuningan, Jakarta Selatan. Ada 4 menko dan 14 menteri saat itu.

Kepada para menteri, Habibie menceritakan hasil pertemuannya dengan Soeharto. Selain itu, dia juga meminta sejumlah menteri yang menyatakan mundur untuk membatalkan niatnya.

Ada sejumlah kesepakatan dalam pertemuan yang berakhir pada 22.45 WIB itu. Pertama, mereka memahami Kabinet Reformasi sebagai kenyatan.

Selain itu, pertemuan juga menyepakati keppres tentang pembentukan kabinet ditandatangani Soeharto. Adapun pelantikan kabinet akan dilakukan oleh Habibie.

Setelah pertemuan, Habibie berusaha menelpon Soeharto. Akan tetapi Soeharto tidak berkenan menerima. Ketika itu, Soeharto menugaskan Mensesneg Saadilah Mursyid untuk menyampaikan bahwa Soeharto akan mundur pada pukul 10.00 WIB.

Habibie menceritakan itu kepada para menteri yang masih berkumpul di pendopo. "Semua terkejut mendengar berita tersebut," ungkap Habibie.

Dikutip dari Harian Kompas, pada pukul 23.00 WIB Soeharto memerintahkan ajudan untuk memanggil Yusril Ihza Mahendra, Mensesneg Saadillah Mursjid, dan Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto. Soeharto sudah berbulat hati menyerahkan kekuasaan kepada Wapres BJ Habibie.

Wiranto sampai tiga kali bolak-balik Cendana-Kantor Menhankam untuk menyikapi keputusan Soeharto.

Wiranto perlu berbicara dengan para Kepala Staf Angkatan mengenai sikap yang akan diputuskan ABRI dalam menanggapi keputusan Soeharto untuk mundur. Setelah mencapai kesepakatan dengan Wiranto, Soeharto kemudian memanggil Habibie.

Pukul 23.20 WIB, Yusril Ihza Mahendra bertemu dengan Amien Rais. Dalam pertemuan itu, Yusril menyampaikan bahwa Soeharto bersedia mundur dari jabatannya.

Yusril juga menginformasikan bahwa pengumumannya akan dilakukan Soeharto 21 Mei 1998 pukul 09.00 WIB. Dalam bahasa Amien, kata-kata yang disampaikan oleh Yusril itu, "The old man most probably has resigned".


Cerita Wiranto soal Inpres Soeharto yang Tak Dipakai untuk Kudeta

Minggu-minggu terakhir menjelang Soeharto berhenti sebagai Presiden RI, situasi sangat menegangkan dan penuh ketidakpastian.

Dinamika di lapangan bergulir cepat. Bahkan, intelijen sehebat apa pun tidak dapat mengantisipasinya.

Tuntutan masyarakat terus meningkat tak terkejar oleh respons pemerintah yang kelihatan selalu terlambat.

Begitulah situasi Indonesia jelang jatuhnya rezim Orde Baru, 21 Mei 1998, yang digambarkan oleh Wiranto dalam bukunya, Bersaksi di Tengah Badai. Saat itu, Wiranto menjabat Menhankam/Panglima ABRI.

Dalam kondisi seperti itu, isu dan desas-desus sangat mudah berkembang, dan akhirnya sering kali diterima masyarakat sebagai kebenaran.

Akibatnya, situasi yang sudah panas menjadi makin panas. Ketegangan meningkat, dan keadaan semakin sulit dikendalikan.

Isu-isu seputar kapan Soeharto berhenti sebagai Presiden, perombakan kabinet, bahkan kudeta ABRI berkembang di tengah masyarakat pada pertengahan Mei 1998 itu.

TRIBUNNEWS/DANY PERMANA Ketua Umum Partai Hanura Wiranto
Tap MPR dipakai

Wiranto bercerita, setelah kembali ke Tanah Air seusai kunjungan ke Mesir pada 15 Mei, Soeharto memanggil para menteri.

Momen itu dihadiri Menko Polhukam Feisal Tanjung, Mendagri R Hartono, Mensesneg Saadillah Mursjid, Menteri Kehakiman Muladi, Menteri Penerangan Alwi Dahlan, Kepala Bakin Moetojib, Jaksa Agung Soedtjono C Atmonegoro, dan WirantoDalam pertemuan itu, Soeharto meminta laporan perkembangan terakhir, terutama selama dirinya di luar negeri.

Wiranto mengatakan, saat itu ada hal yang tidak tersiar ke publik, yakni keinginan Soeharto menggunakan Tap MPR No V/1998. Pasalnya, situasi nasional memburuk.

Tap MPR itu tentang pemberian kewenangan khusus kepada presiden mandataris untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan demi kesinambungan pembangunan nasional.

Soeharto berencana membentuk badan baru semacam Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban.

Soeharto ketika itu mengatakan, komando badan itu tidak akan dipimpin Menhankam/Panglima ABRI karena sudah banyak tugas yang harus diemban oleh WirantoNamun, saat itu Soeharto tidak memberikan penjelasan lanjutan, dan pertemuan selesai.

Inpres Soeharto untuk Wiranto


Pada 18 Mei 1998, Soeharto menandatangani surat perintah instruksi presiden dengan nomor 16/1998. Isinya adalah mengangkat Menhankam/Panglima ABRI sebagai Panglima Komando Operasi Kewaspadaan dan Keselamatan Nasional. Wakilnya, Kepala Staf TNI AD.

Ada beberapa hal krusial sebagai tambahan kewenangan yang dimiliki Wiranto sebagai Panglima TNI dan Komando Operasi.
Pertama, kewenangan menentukan kebijakan tingkat nasional untuk menghadapi krisis yang sedang atau akan dihadapi.

Kedua, kewenangan mengambil langkah untuk mencegah dan meniadakan sumber penyebab atau mengatasi peristiwa yang mengakibatkan gangguan keamanan dan ketertiban.

Ketiga, para menteri dan pimpinan lembaga pemerintah dan daerah membantu pelaksanaan tugas dan fungsi Komando Operasi tersebut.

Wiranto mengaku terkejut ketika inpres tersebut diserahkan Soeharto kepadanya pada tanggal 20 Mei malam.

"Surat ini akan digunakan atau tidak, terserah kepada kamu," ucap Soeharto kepada Wiranto ketika itu.

"Saya agak tersentak mendengar kata-kata Presiden. Benar-benar tidak seperti biasanya.... Pada saat itu, saya langsung menjawab, 'Baik, Pak, akan saya pelajari," kata Wiranto.

Wiranto merasa, pernyataan Soeharto tidak lazim saat menyerahkan inpres tersebut. Pasalnya, dalam kemiliteran, atasan lazimnya mengatakan, 'Ini saya kasih perintah, laksanakan!' Bawahan akan menjawab, "Siap, laksanakan!"

Berdasarkan pernyataan itu, Wiranto merasa, Soeharto ingin dirinya mempertimbangkan, bukan langsung menjalankan perintah.

"Itu pemahaman saya. Kalau saya gunakan, risikonya bagaimana. Kalau tidak saya gunakan, bagaimana kira-kira jalan keluar untuk mengatasi masalah negeri ini," kata Wiranto dalam acara Kick Andy.

Dalam perjalanan dari Cendana ke Mabes ABRI di Jalan Merdeka Barat, Wiranto mempelajari dan menganalisis dalam waktu singkat untuk mengambil sikap atas surat inpres yang mirip dengan Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) tersebut.

Tak pilih kudeta

Saat itu, Wiranto mengaku, tidak pernah terlintas di benaknya, ide untuk mengambil alih kekuasaan. Wiranto mengaku, dirinya sejak awal berpendirian, jika dua dari tiga unsur negara, yakni pemerintah dan rakyat saling berhadapan, bahkan menyerang, maka posisi ABRI bakal sangat sulit. Pasalnya, dua unsur itu harus dibela ABRI.

Atas inpres tersebut, Wiranto memiliki dua alternatif. Pertama, mempertahankan pemerintah, mengumumkan darurat militer, dan melakukan tindakan represif total.

Dengan cara itu, kata Wiranto, barangkali pemerintahan Orde Baru bisa bertahan untuk sementara waktu. Alternatif itu tidak menuntaskan masalah, bahkan akan memakan korban yang cukup besar di masyarakat.


Wiranto mengaku sempat bertanya kepada stafnya, berapa perkiraan korban jika ABRI mengosongkan gedung DPR/MPR dari kelompok demonstran. Jawaban yang diterima Wiranto saat itu, 200-250 orang akan mati.

Alternatif kedua, proses pergantian kepemimpinan dilakukan dengan cara damai. Jika alternatif ini diambil, Wiranto yakin, peristiwa jatuhnya korban dapat dihindari.

"Dengan analisis cepat ini, akhirnya sebelum sampai di Mabes ABRI, saya telah mempunyai keputusan. Pada saat Kassospol Letjen SB Yudhoyono mendengar kabar ini, ia kemudian bertanya kepada saya, 'Apakah Panglima akan mengambil alih?'" cerita Wiranto.

"Dengan tegas saya jawab, 'Tidak. Kami akan antarkan proses pergantian pemerintah secara konstitusional.' Dengan jawaban saya itu, secara spontan, saya disalami oleh para perwira di Mabes ABRI," kata Wiranto.

Setelah mengambil keputusan itu, pada malam harinya, Wiranto dibantu staf di Mabes ABRI untuk menyusun pidato. Pidato itu akan disampaikan Wiranto jika ada pergantian kekuasaan nantinya.
Pada 21 Mei pagi, Wiranto sempat menunjukkan inpres tersebut kepada Wakil Presiden BJ Habibie yang juga menjadi calon presiden ketika itu. Wiranto merasa perlu menginformasikan hal tersebut kepada Habibie.

"Kalau tidak, nanti bisa terjadi kesalahpahaman atau katakanlah kekeliruan informasi yang bisa membahayakan situasi saat itu. Saya tunjukkan bahwa saya mendapat instruksi presiden dari Presiden Soeharto. Namun, saya tidak akan menggunakannya dengan banyak pertimbangan," cerita Wiranto dalam acara Kick Andy.

Pada Kamis, 21 Mei, sekitar pukul 09.00 WIB, di ruang Credentials Room di Istana Merdeka, Soeharto mengumumkan, ia berhenti sebagai Presiden RI. 

Bertahun-tahun pascaperistiwa itu, Wiranto sering menerima masukan dan pertanyaan dalam seminar atau diskusi soal inpres tersebut. Sebagian masyarakat menilai, jika Wiranto mengambil alih kepemimpinan Soeharto, maka barangkali keadaan Indonesia tidak seperti sekarang.

"Secara spontan, saya menjawab, 'Ya, benar sekali, barangkali keadaan tidak seperti sekarang, tetapi justru bisa lebih buruk lagi daripada sekarang," kata Wiranto. (*)

Sumber: Kompas.com

Berita Lainnya

Post a Comment

0 Comments