Oleh: Indy Hardono
BeritaSimalungun.com, Jakarta-Tidak ada media sosial pada masanya yang siap merekayasa "kemasan"
seseorang menjadi tokoh "siap saji" ke masyarakat. Tak ada program
televisi yang siap memberi panggung kepadanya untuk dielu-elukan dan
kemudian dianugerahkan gelar "Bapak anti-korupsi".
Ya, tidak ada podium tempatnya berteriak mengais-ngais pengakuan dan pencitraan. Semua berjalan naluriah, tanpa panggung.
Itulah
Mar'ie Muhammad. Dia tidak membangun monumen kejujuran dengan berbagai
gerakan "anti-ini" atau "anti-itu". Mobil Peugeot bututnya yang dipakai
pada saat menjabat sebagai Dirjen Pajak sering diusir satpam masuk ke
rumah pejabat, dan itulah monumen kesederhanaannya.
Bukan sekadar slogan
Pada masa ketika demokrasi masih sebatas angan, tanpa perlu
berkoar-koar tentang kepentingan rakyat, Mar'ie sudah sangat sadar
dengan arti demos dan kratos.
Rakyatlah yang ada di
nuraninya saat merestukturisasi birokrasi pajak, yaitu pada saat
mereduksi anggaran negara dan "bersih-bersih" di kementerian yang
dianggap paling "basah" di negeri ini.
Semua dilakoninya dalam kesehariannya, bukan sekadar slogan.
Penerapan tata kelola pemerintahan, khususnya di bidang keuangan, juga
bukan sekadar gerakan atau wacana, melainkan langsung diterapkannya
tanpa perlu gembar-gembor di sana dan sini.
Baginya, kemewahan adalah bersarung dan berkaus oblong di rumah
sambil minum teh seraya menyalurkan hobinya menonton tayangan
pertandingan sepak bola dan kemudian dapat tidur pulas tanpa beban.
Menentang arus
Pada masa otoritas dapat dikalahkan oleh kekuasaan, dia tidak hirau
dan terbebani dengan tekanan politik dan kepentingan. Baginya, rakyatlah
sang majikan sesungguhnya.
Menjadi penentu berbagai kebijakan keuangan di masa nepotisme masih
dianggap sebagai suatu kelumrahan, Mar'ie tetap dapat bertahan dengan
integritasnya, walaupun kadang harus berseberangan dengan sesama
koleganya di kabinet saat itu.
Tidak terbayangkan cara seseorang yang hanya berbekal ijazah sarjana
(S-1) dari perguruan tinggi lokal, yang merintis karier sebagai birokrat
dari tingkat terbawah, mampu melawan derasnya arus "pro-kekuasaan" saat
itu.
Ayam kampung dari Ampel
Mar'ie enggan tampil di forum diskusi para pakar. Dia juga tergolong
pelit memberi komentar kepada media. Dia kerap berkata, "Saya ini hanya
ayam kampung dari Ampel, tak pantas bersanding dengan para doktor
lulusan Harvard."
Ia kerap kikuk berteriak di podium, apalagi jika harus tampil dalam
acara debat politisi seperti yang sekarang marak di media elektronik.
Mungkin, satu-satunya teriakan yang ia lakukan adalah saat gemas
menonton tim nasional sepak bola di layar kaca gagal memasukkan bola ke
gawang lawan.
Tak ada massa berikat kepala yang dikerahkannya untuk
berteriak-teriak menyatakan takut dan gemetarnya dia kepada Sang Maha
Pencipta. Namun, lantunan ayat yang dia lafalkan dengan bergetar dan
kadang diselingi tangisnya saat menjadi imam shalat berjemaah itulah
saksi kepada siapa ia benar-benar "accountable".
Pun, mungkin, satu-satunya "massa" yang dia miliki adalah orang-orang
yang rajin menyapanya pada saat joging di Senayan setiap sore sehingga
dia dikenal sebagai "Lurah Senayan".
Khotbah dan jubah
Khotbahnya bukan hujatan, makian, apalagi berisi kata-kata kasar. Bukan pula umbaran kata jihad.
Mar'ie berkhotbah dengan teladannya, dengan integritas dan
kesederhanaannya. Jihadnya adalah perjuangan menegakkan kebenaran di
tengah tirani kolusi, korupsi, dan nepotisme.
Jubah kebesarannya bukanlah rumah mewah, gelar bergengsi, tanda jasa
berderet, atau banyaknya pengikut di akun media sosial. Jubah
kebesarannya adalah lurusnya niat dan tangisnya pada saat menyebut nama
Sang Khalik.
Jubah kebesarannya terlihat kembali pada tanggal 11 Desember 2016,
saat berpuluh tokoh besar, para kolega sesama menteri masa Orde Baru,
bahkan ada yang memaksakan diri datang dengan kursi rodanya, serta para
tokoh lintas golongan dan generasi mendatangi rumah duka yang relatif
sangat sederhana untuk seorang mantan pejabat.
Selamat jalan "Mr Clean"! Selamat jalan Mar'ie Muhammad. Insya Allah hasil audit di "sana" adalah "wajar tanpa pengecualian".(*)
Sumber: Kompas.com
0 Comments