Oleh: Pdt Defri Judika Purba STh
(Suatu Analisa Sederhana Terhadap Makna Panggilan Melayani)
BeritaSimalungun.com-Dua minggu yang lewat, saya menerima
surat dari Kantor Pusat GKPS, kantor dimana saya melayani. Isinya cukup membuat
saya terkejut. Isinya tentang pemutasian tugas ke tempat yang baru. Terkejut
bukan karena tempat baru yang dituju, tapi terkejut karena tidak menyangka saya
mutasi di akhir tahun ini. Setelah membaca dan mengerti maksudnya, saya
kemudian menyimpan surat tersebut.
Setelah peristiwa tersebut, pikiran dan hatiku dipenuhi
dengan berbagai perasaan yang silih berganti. Dan perasaan inilah yang akan
saya tulis dalam tulisan ini. Untuk menulisnya saya menunggu waktu sekitar dua
minggu, dan setelah jadi, masih saya endapkan, belum dipublish.
Saya ingin tulisan ini benar-benar objektif sesuai dengan
perasaanku. Tidak menghakimi, tidak tendensius, dan tidak sentimentil. Berusaha
jujur, sejujur-jujurnya dan akhirnya semoga tulisan ini menjadi berkat bagi
yang membacanya.
SEDIH
Inilah perasaan yang dominan muncul setelah saya menerima
surat mutasi. Sedih bukan karena tempat yang dituju, tapi sedih karena kami
akan meninggalkan tempat dimana saya telah menghabiskan waktu terbaik saya
sebagai seorang pelayan di tempat ini (Resort Horisan Tambun Raya).
Hampir enam tahun saya melayani di tempat ini dan waktu
enam tahun bukanlah waktu yang singkat untuk sebuah perjalanan hidup. Dalam
lintasan waktu tersebut begitu banyak yang telah terjadi.
Seorang anak SD akan menamatkan pendidikannya dalam rentang
waktu tersebut. Seorang mahasiswa akan tamat dalam hitungan waktu tersebut. Seorang
petani akan menanam dan menuai berulang kali dalam lintasan waktu tersebut.
Saya masih mengingat dengan jelas, awal ketika pertama
sekali menginjakkan kaki di resort ini. Saat itu saya masih lajang, berhubung
inilah penempatan saya sebagai pendeta setelah ditahbiskan.
Perasaan saya penuh dengan rasa gamang saat itu ditambah
rasa was-was. Apakah saya sanggup menjadi pendeta di tempat ini? Apakah saya
akan bisa memimpin resort ini? Bagaimana nanti saya menghadapi dan memutuskan
kalau ada persoalan genting?
Begitu banyak perasaan muncul saat itu. Tapi setelah
perjalanan waktu akhirnya semua ketakutan dan rasa was-was itu terjawab sudah.
Waktu dan situasilah yang ternyata mengajar saya untuk bisa bersikap layaknya
sebagai seorang pelayan. Saya semakin dekat dengan majelis dan jemaat.
Saya mengetahui apa pergumulan mereka. Saya lebih bisa
mendengar dan memimpin. Saya merasakan pertumbuhan dalam karakter begitu juga
kepemimpinan di tempat ini.
Ibarat jalan, waktu ini adalah waktu atau saat-saat terakhir saya di tempat ini.
Saya telah tiba di ujung pelayanan di tempat ini. Akhir Januari
tahun depan (2017), kami akan melayani di tempat yang baru. Kami akan
meninggalkan seluruh majelis dan jemaat yang kami sayangi.
Kami akan meninggalkan semua kenangan baik dan buruk di
tempat ini. Kenangan baik yang saya maksud adalah saat dimana kami berjuang
bersama untuk membangun fisik gereja begitu juga iman jemaat.
Ada dukungan dan topangan saat itu. Kenangan buruk, ketika
tidak semua majelis dan jemaat bisa saya layani dengan baik, yang akhirnya
membawa konflik pribadi sampai saat ini. Secara tugas tidak ada masalah yang
membebani saya, yang menekan sampai saat ini.
Saya menjalaninya semua dengan bersemangat. Waktu hampir
enam tahun, seperti masih kemarin sore saja. Tapi tidak dapat saya pungkiri ada
jemaat yang betul-betul membenci dan tidak menyukai saya.
Ada beberapa orang yang benar-benar militan memusuhi saya.
Kalau berpapasan di jalan, tidak lagi menegur seperti dulu. Mereka sakit hati,
karena saya tidak bertindak sesuai harapan mereka. Tapi saya bersyukur,
hubungan saya dengan salah satu dari mereka sudah dipulihkan.
Beliau sudah ramah kembali. Jumpa di jalan sudah senyum dan
membunyikan klakson. Yang lain masih memasang muka cemberut dan permusuhan.
Hal lain yang membuat saya sedih adalah begitu banyaknya
pengalaman yang tidak terduga saya terima di tempat ini. Kalau dulu pernah
seorang sahabat, menyelutuk bersyukur tidak ditempatkan disini, karena
“kering”, ternyata itu tidak benar.
Di tempat inilah kami kami banyak menerima berkat, yang
tentu tidak selamanya berkaitan dengan materi. Di tempat inilah saya menyunting
Nofika Frisliani
Sinaga menjadi istriku. Di pesta pernikahanku, jemaat banyak yang datang
bersukacita.
Ada yang naik mobil dan naik kereta (motor). Setelah
menikah kami diberi berkat dengan kehadiran anak kami Remiel. Waktu
kelahirannya, jemaatku juga datang. Ada yang bawa beras, kelapa, ikan dll.
Di tempat ini juga istriku pertama sekali naik pesawat dan
menginjakkan kaki ke Kota Jakarta, dalam rangka pengumpulan dana pembangunan
rumah yang kami tempati. Di tempat ini pula, saya banyak mengenal orang-orang
rantau yang banyak memberi perhatian kepada pelayanan di gereja.
Setiap akhir tahun atau mereka pulang kampung, mereka
selalu ingat kepada kami. Selama di tempat ini, kami selalu sehat melayani,
begitu juga istri dan anakku, sehat selalu, tidak pernah masuk ke rumah sakit.
Masih banyak lagi berkat yang kami terima. Terakhir yang perlu saya tulis, di
tempat inilah, bakat menulisku mulai ada dan yang saya kembangkan sampai saat
ini.
Kesedihanku yang lain, sumber inspirasiku saat menulis
tidak ada lagi. Danau Toba dengan segala pesona keindahannya akan kami
tinggalakan. Tidak ada lagi saya lihat, lembayung senja melewati pohon pinus di
Desa Huta Mula dan pebukitan Tanjung Unta.
Para pencari ikan (pardaoton) di Danau Toba. Kisah
kehidupan yang unik dan menyentuh dari jemaatnya. Duduk dan berdiri di
pebukitan Batu Lihi, di malam natal, menghirup udara berhembus, seraya
menajamkan telinga mendengar alunan lagu-lagu natal dari Pulau Samosir.
Yah...semua itu akan kami tinggalkan. Sedih, sangat menyedihkan.
BERSYUKUR/SEMANGAT
Perasaan kedua yang dominan setelah sedih adalah rasa
syukur. Bersyukur karena saya akhirnya bisa menyelesaikan tugas dengan baik di
tempat ini. Ide-ide dan gagasan yang ada di benakku sudah terlaksana semua.
Sudah ada kader di setiap jemaat yang bisa mengerti jalan
berpikirku. Saya tidak kwatir lagi apa yang telah kami mulai dan bicarakan akan
hilang seiring dengan kepergianku dari tempat ini.
Ada kebiasaan-kebiasaan baru yang akan tetap dijalankan
walau saya tidak lagi bersama mereka.
Waktu saya masih tiga tahun di tempat ini, pernah saya memohon agar kiranya jangan dulu dimutasikan, walau tempat ini dikategorikan daerah terpencil dalam peta pelayanan GKPS.
Resort ini adalah salah satu dari beberapa resort yang
diberi subsidi khusus melalu tunjangan tahunan dari Kantor Pusat GKPS.
Disubsidi karena lokasinya yang terpencil, jauh dari ibu kota kecamatan /
kabupaten dan keterbatasan transportasi.
Saya memohon jangan dimutasi, karena segala ide dan gagasan
saya masih belum terlaksana semua. Masih ada yang belum terealisasi. Waktu
belum cukup. Sekarang, setelah hampir enam tahun, semua ide dan gagasanku sudah
terealisasi semua. Bathinku sudah damai meninggalkan tempat ini.
Faktor lain yang membuat saya bersemangat adalah, doaku
dikabulkan olehNya. Saya dulu pernah berdoa dan berharap, seandainya saya
dimutasi, kalau boleh saya menjadi pendeta Resort lagi.
Menjadi pendeta resort artinya, kita menjadi pemimpin di
resort tersebut. Dan posisi ini adalah posisi yang baik untuk bertumbuh secara
kepemimpinan dan karakter. Hampir enam tahun di tempat ini (GKPS Resort Horisan
Tambun Raya), saya merasa pertumbuhan karakter dan kepemimpinanku sudah mulai
ada.
Saya rasakan itu secara pribadi. Sesuatu yang tidak bisa di
dapatkan dari bangku perkuliahan formal. Hanya dapat diperoleh dari pengalaman
yang langsung bersentuhan dengan kondisi real manusia dan permasalahannya.
Terimakasih untukNya yang telah berkenan mendengar doaku.
Saat ini saya pun berdoa, andai Dia berkehendak, setelah
nanti saya siap melayani di resort yang baru, semoga ada pintu dan jalan untuk
melanjutkan pelayanan kembali dengan terlebih dahulu melanjutkan pendidikan
formal.
Saya sudah siap untuk bertemu dengan jemaat dekat Pegunungan
Simbolon tempat dimana saya ditugaskan. Secara fasilitas dan akses sudah lebih
baik dari tempat ini (Resort Horisan Tambun Raya).
Dekat ke ibu kota kabupaten, Indomaret sudah banyak,
kuliner tinggal memilih, transportasi sudah banyak dan beragam, pekan pun sudah
dekat. Kami akan bertemu jemaat baru, pengalaman baru dan keluarga baru disana.
KECEWA
Ini adalah perasaan ketiga yang muncul. Tidak terlalu
dominan. Tidak sampai di hati. Hanya bermain di pikiran. Saya sedikit kecewa
dengan mutasi di akhir tahun ini. Pertanyaan yang muncul adalah, kenapa harus
mutasi di akhir tahun?
Apakah tidak bijaksana, menunggu waktu yang tepat?
Dimanakah waktu yang tepat itu? Waktunya adalah pertengahan tahun, ketika tahun
ajaran baru dimulai dan ketika sinode resort sudah selesai.
Hanya dua alasan itu saja. Mutasi di akhir tahun, akan
membuat sekolah anak-anak terganggu. Dan ini sudah banyak terjadi, dimana
seorang pelayan meninggalkan sementara keluarganya di tempat yang lama,
sementara dia menuju tempat yang baru, menunggu anak-anaknya tamat atau naik
kelas. Situasi ini tentu mempengaruhi ritme dan semangat melayani. SK adalah
kehidupan. SK adalah keluarga.
Selain itu, mutasi di akhir tahun, akan mengakibatkan
perjalanan roda organisasi tidak berjalan semestinya. Yang saya maksud adalah,
kita akan melaporkan pekerjaan yang tidak kita kerjakan dalam sinode resort,
yang biasanya dilakukan pada bulan Maret.
Bisa saja, berkilah, masih ada pengurus Resort yang lain. Bagiku
itu adalah jawaban yang semborono. Asal ngomong. Tidak bertanggung jawab. Tidak
memahami dan menjiwai pekerjaan. Asal jadi.
Saya juga melihat tidak ada kegentingan yang memaksa,
sehingga mutasi harus dilaksanakan di akhir tahun. Tidak ada sama sekali. Tapi
kalau ada di luar itu, wallahuallam.
Bunyi surat mutasi juga kadang tidak seiiring dengan
maksudnya. Salah satu point pertimbangan mutasi adalah dalam rangka penyegaran.
Itu dapat dimaklumi. Semua dapat memahami dan mengerti itu. Penyegaran disini
maksudnya perpindahan tempat dan jabatan.
Tempat (dari desa ke kota, dari kota ke desa, atau dari
desa ke desa, kota ke kota (yang penting sudah beda tempat). Penyegaran
mengenai jabatan. Dulu pendeta resort, sekarang menempati kepala departemen. Dulu
praeses sekarang pendeta resort dll. Kalau semua berjalan dalam koridor dan
sistem yang demikian, maka semua yang terlibat di dalamnya dapat menerima.
Tapi yang terjadi adalah, mutasi dilaksanakan tidak dalam
rangka penyegaran. Bagaimana bisa dikatakan penyegaran, kalau dia ditempatkan
kembali ke jemaat yang pernah dia layani. Setelah beberapa tahun tempat itu
ditinggalkan, dia kembali lagi ke tempat itu.
Itu bukan penyegaran, tapi yang membuat SK tidak melihat
database pegawai. (Itu pun kalau ada). Ada lagi pelayan yang menempati jabatan
yang sama setelah jabatan itu ditinggalkan. Itu artinya SDM hanya itu-itu saja.
Ada lagi jabatan yang ditempati lebih dua periode,
memanfaatkan celah tidak ada aturan yang mengaturnya. Itu namanya tidak
bijaksana. Membuat organisasi lemah dalam pengkaderan pemimpin. Ada lagi SK
mutasi diterima seorang pelayan, hanya beberapa bulan berselang di tempat itu.
Itu namanya tidak ada perencanaan. Bahasa organisasinya “ tidak atur dan tidak
banjei”. Sepertinya ada anak emas dalam sebuah sistem.
Dari situasi inilah, saya kembali menarik sebuah pelajaran.
Sistem yang baik, tanpa orang baik, akan merusak sistem tersebut. Orang yang
baik, tanpa sistem yang baik akan merusak orang tersebut. Dan efeknya sangat
besar. Apa efeknya? Efeknya seperti peribahasa: guru kencing berdiri, murid
kencing berlari.
Ketiga Perasaan itulah yang campur aduk dalam hatiku.
Disaat saya sudah tiba di penghujung pelayanan di tempat ini, saya menyadari
bahwa masih banyak hal yang belum saya lakukan. Waktu ternyata berlalu begitu
cepat.
Tidak dapat ditahan lagi. Dan saya pun mencoba mengerti
kata orang bijaksana: Segala sesuatu mengalir, tidak ada yang tetap (Phanta
Rhei Oinun Menei) dan kata penulis Yohannes: Barang siapa melayani Aku, ia
harus mengikut Aku dan dimana Aku berada, disitu juga pelayanKu akan berada.
(Yoh.12:26). Syukur BagiMu. (Tambun Raya, 17 Desember 2016).
0 Comments