Gubernur Maluku, Said Assagaff (kiri) menerima Bingkai Logo HPN 2017 dari Ketua PWI Pusat Margiono.IST |
Oleh: War Djamil
BeritaSimalungun.com-TANGGAL
9 Februari menjadi Hari Pers Nasional, disingkat HPN di Indonesia. Berawal saat
lahirnya organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dengan Ketua terpilih Mr
Soemanang pada 9 Februari 1946 di Surakarta, melalui konferensi Wartawan
Pejuang Kemerdekaan Indonesia.
Kini, tiap tahun insan pers di Tanah Air
menyelenggarakan HPN. Bukan hanya organisasi dan anggota PWI saja, melainkan
pula organisasi kewartawanan, organisasi grafika, periklanan, insan radio dan
televisi serta organisasi terkait pers lainnya seumpama Serikat Perusahaan Pers
(SPS, dulu bernama Serikat Penerbit Suratkabar) juga ambil bagian. Biasanya,
puncak acara HPN dihadiri Presiden RI.
Kota/daerah yang menjadi tuan rumah HPN, bergantian. Meski
ada yang lebih dua kali atau lebih, seperti Jakarta. Kali ini, HPN 2017
diadakan di kota Ambon, Maluku, dengan tema “Bangkit dari Laut”.
Artinya,
potensi kelautan menjadi fokus dalam pembangunan daerah di kawasan setempat.
Dan, potensi itu erat hubungan dengan aktivitas bersala nasional sebagai
negara kepulauan bahkan internasional. Jadi, tepat sekali pilihan tema
tersebut.
Dari sisi lain, bagi publik tetap ingin tahu bagaimana fungsi dan
peran pers saat ini. Hiruk pikuk kemajuan internet yang tidak terlepas dengan
aktivitas pers, memberi makna khusus langsung atau tidak langsung. Untuk itu,
sangat pantas kalau publik berhak tahu seberapa jauh dampak positif sajian
media bagi pembangunan nasional saat ini.
Ketika masih terdengar keluhan publik atas pemberitaan
tanpa konfirmasi sehingga ada pihak yang merasa dirugikan. Saat berita
disiarkan, ternyata tidak berimbang. Membaca info yang tidak informatif, tidak
edukatif serta sepihak dan tidak akurat.
Ketika publik menilai sajian
menjelang pemilu dan pilkada ternyata satu-dua media massa bagai “terompet”
pihak-pihak tertentu. Kini, dalam merayakan HPN, publik bertanya : Di mana
posisi Pers Nasional? Sungguh, jika insan pers berkenan sejenak berada dalam
pusaran grassroot (kalangan akar rumput) tentu keluhan publik itu dapat
didengar dengan gamblang dan sekaligus dapat merekam harapan publik pada pers
nasional.
Sekarang, insan pers nasional mari menggarisbawahi
harapan publik itu, agar slogan “pers kuat, rakyat sehat” atau kalimat lain:
“Pers nasional milik rakyat”, atau ungkapan “pers hanya berpihak pada kebenaran
dan rakyat kecil”, kiranya tak cuma tertera di atas kertas, tetapi menjadi
kenyataan.
Tidak kontradiktif. Suatu hal yang pasti, pers nasional selama ini
secara umum telah melaksanakan fungsi dan perannya dengan maksimal. Fungsi sebagai
media informasi, jelas dirasakan publik. Sebagai media pendidikan, terbukti
sajian media sangat banyak mengandung unsur edukasi.
Sebagai media hiburan,
wow...sajian hiburan cukup mengisi waktu luang publik dengan aneka content.
Dan, sebagai media yang melakukan kontrol sosial, kritik dari media massa yang
tajam (keras) sampai yang halus (lembut) sudah diakui publik. Meski, tentu saja
masih ada harapan lain yang lebih besar atas fungsi pers nasional. Sangat
wajar harapan itu.
Kalau begitu, secara sederhana harapan publik kini (secara
klasik) yakni adanya sajian media massa yaitu berita, tulisan dan foto yang
dipublish,hendaknya infomatif, edukatif dan berguna. Sehingga, sajian pers
nasional memberi kepada publik informasi yang benar, bermutu, akurat serta
bermanfaat.
Itu bermakna, sajian yang mengandungnews-value atau nilai berita
yang tinggi. Dari sisi lain, dengan variasi sajian. Misalnya, publik
mendapatkan tambahan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), tentang
kesehatan, terkait ilmu pertanian, etika berpolitik dan berorganisasi dan
sebagainya.
Tak lupa, kritik setajam apapun yang diutarakan hendaknya
didasari pada data dan fakta. Jika pendapat atau komentar, dengan solusi yang
rasional. Artinya, bukan kritik atau pendapat yang “asal-asalan belaka” serta
bukan cuma “cuap-cuap” hanya untuk popularitas.
Dalam konteks itulah, akhirnya di sini sikap insan pers
sebagai pelakunya. Dibutuhkan kemampuan untuk menyaring segala sajian sebelum
disiarkan.
Untuk topik atau fokus tertentu, jika menghadirkan komentator agar
pihak yang memiliki kompetensi yang pas, bukan asal comot figur. Jika kini,
pers nasional sedang menerapkan sertifikasi melalui Standar Kompetensi
Wartawan (SKW) sehingga insan pers yang terkait langsung dengan isi media
patut memiliki sertifikat itu, melalui Uji Kompetensi Wartawan (UKW), hal
ini sangatlah positif. Ide bagus.
Pelaksanaannya harus ketat, agar yang lulus
UKW benar-benar pantas lulus, sudah kompeten. Begitu juga verifikasi atas
media yang dilakukan Dewan Pers, supaya media yang hadir tidak musiman karena
misalnya untuk pilkada atau pemilu, lalu bubar.
Kehendak publik yang diakomodir Dewan Pers untuk kehadiran
media massa yang berkualitas dan taat pada UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik
serta aturan lainnya, sungguh sebuah harapan yang dinantikan.
Bisakah? Itulah
yang kini kita tunggu. Kita lihat dalam kenyataan, bukan cuma konsep. Dan, tiga
hari lagi, insan pers di Tanah Air akan merayakan acara puncak di kota Ambon.
Publik titip pesan, agar harapan terhadap penjabaran fungsi dan peran pers
nasional diwujudkan. Bersamaan dengan itu, tiada berlebihan jika pers juga
berharap pada publik untuk bersama mengawal pelaksanaan kemerdekaan pers
dalam arti yang luas, untuk kepentingan kita semua. Dirgahayu HPN 2017. (*)
Sumber: Harian
Analisa, 7 Pebruari 2017
0 Comments