Oleh : Ramlo R Hutabarat
BeritaSimalungun.com-Kalau boleh berbicara bebas dan lepas, saya mau katakan ada satu kelemahan Orang Simalungun. Apa ? Mereka engan untuk membesarkan sesamanya Orang Simalungun. Kebalikan dari Orang Samosir, Toba, Humbang dan Silindung. Karena itu, banyak Orang Besar Simalungun yang tak dikenal. Padahal seseorang itu pernah berjasa besar bagi Orang Simalungun itu sendiri.
Jaulung Saragih misalnya, atau Pdt Jaulung Wismar Saragih. Betapa sesungguhnya almarhum merupakan Putra Simalungun yang perkasa. Betul, secara khusus bagi Jemaat GKPS (Gereja Kristen Protestan Simalungun) di digelar sebagai Bapak Gereja, Rasul Simalungun. Bahkan sesungguhnya bagi Simalungun secara luas, dia patut dan pantas digelar sebagai Bapak Simalungun.
Betapa tidak. Sejarah mencatat kalau tidak karena Jaulung, tidak akan ada Orang Simalungun sekaliber almarhum Radjamin Purba, almarhum Djariaman Damanik, almarhum Pdt Dr Armencius Munthe.
Bahkan, orang sekaliber almarhum Djariaman Damanik, almarhum Djabanten Damanik. Bahkan Orang Simalungun sekelas Dr Sarmedi Purba, Dr Darwan M Purba serta Syamsudin Manan Sinaga yang pernah menjadi Sekjen Departemen Hukum dan HAM itu, dan banyak lainnya.
Fakta sejarah mencatat, sepanjang hidupnya Jaulung sudah mengabdikan dirinya untuk memajukan Simalungun, baik sebagai etnis mau pun sebagai suatu daerah. Dialah Orang Simalungun pertama yang membawa pendidikan dan pengajaran ke Simalungun.
Dia pula Orang Simalungun pertama yang membawa Injil Keselamatan ke Bumi Habonaron do Bona ini. Dan untuk itu, dia meninggalkan jabatannya di pemerintahan (Belanda) sebagai Pangulu Balai. Sebuah jabatan ambtenar yang cukup terhormat di zaman itu.
Ayahanda Jaulung, Jalam Saragih Sumbayak keturunan Bona ni Gorang, sebenarnya merupakan seorang yang cukup terpandang di tanah leluhur mereka di Raya. Sang ayah merupakan kesayangan sekaligus kepercayaan Raja Raya, ayah Tuan Kapoltakan.
Tapi ayahandanya terbilang cepat dipanggil Tuhan. Sedang Jaulung lahir di masa krisis pemerintahan melanda Kerajaan Raya. Masa kecilnya diwarnai dengan perang saudara. Hal itu terjadi saat Tuan Rondahaim Saragih, Raja Raya wafat.
Ketika Raja Rondahaim wafat, Tuan Dologmaraya dan Tuan Doloqsaribu melakukan pemberontakan. Kampung Jaulung, Sinondang, diserang dan diobrak-abrik. Dengan terpaksa Jaulung bersama abang dan kakaknya dibawa mengungsi ke Simandamei di seberang Bah Magor. Sebuah dusun yang terletak antara Raya dan Sinondang.
Menyusul saat masih terbilang kanak-kanak, Jaulung sudah harus bekerja keras. Ke ladang misalnya atau melakukan pekerjaan apa saja, menyadap enau, membuat peralatan rumah tangga dari bambu dan rotan. Juga membuat ‘tapongan’ (keranjang yang dianyam ‘suruy’ (sisir), ‘garpei’ (tempat periuk) ‘tumba’ (sukatan beras) dan macam-macam lagi.
Semua dilewatinya dengan tekun, setia dan taat, sampai akhirnya dia bisa mengikuti pendidikan di Narumonda, dekat Porsea sana, lewat perjuangan berat. Dan begitu menyelesaikan pendidikannya di Sekolah Guru di Narumonda, dia pun segera diangkat sebagai Guru di tanah kelahirannya, Simalungun. Dan itu terjadi pada Oktober 1915.
Kondisi dan keadaan Simalungun waktu itu, jauh sekali perbedaannya dengan masa sekarang. Hampir semua orang tidak tahu tulis baca huruf Latin.
Itu karena sekolah belum ada, kecuali yang diselenggarakan oleh Zending Gereja dari Jerman. Cuma satu dua orang saja Anak Simalungun yang bisa sekolah disana. Guru-gurunya pun, masih didatangkan dari Tapanuli (Silindung) seperti Guru Willem Hutabarat Ompungnya Rodolf Hutabarat mantan Anggota DPRD Kota Pematangsiantar.
Didorong oleh kecintaannya kepada Simalungun, tanah tumpah darahnya, Jaulung kemudian mengikuti Sekolah Pendeta ke Simanarium Sipoholon di dekat Tarutung sana. Jabatan sebagai Pangulu Balei pun ditinggalkan dengan pasti demi cita-cita untuk menjadi pendeta dan memberitakan Injil Keselamatan kepada Orang Simalungun. Dia memulai Sekolah Pendeta pada Januari 1927, justru ketika dia sudah menikah. Karena itu, Jaulung pun membawa serta istrinya dan putra-putrinya ke Sipoholon.
Tiga tahun mengikuti Pendidikan Pendeta, Jaulung pun dinyatakan lulus menjadi Pendeta. Persis 15 Desember 1929 dia ditahbiskan sebagai Pendeta oleh almarhum Ephorus Dr Warneck asal Jerman di Gereja Simanungkalit. Dan Simalungun terhempang menjadi daerah pelayanannya.
Menjadi Pendeta, Jaulung yang kemudian lebh dikenal sebai Pdt Wismar Saragih tidak saja bekerja di Gereja. Tetapi juga secara umum demi memajukan Simalungun, dari ketertinggalannya.
Dia berusaha keras agar Bahasa Simalungun digunakan pada Kebaktian-kebaktian Gereja, melalui Komite Na Ra Marpodah. Kalau tidak upaya itu dilakukannya, barangkali saja Bahasa Simalungun sekarang sudah punah.
Dia berpikir, tidak hanya Bahasa Simalungun yang perlu dilestarikan. Tapi juga Adat dan Budaya Simalungun. Itulah sebabnya dia menggagasi pendirian Museum Simalungun pada 30 April 1940 yang sekarang terletak di Jalan Sudirman Pematangsiantar, di samping Mapolres Kota Pematangsiantar.
Di museum inilah disimpan buku-buku hasil karya atau buah tangan Pdt Wismar. Di antaranya, ‘Ruhut Manurathon Basa Simalungun’, ‘Partingkian ni Hata Simalungun’ sebuah Kamus Bahasa Simalungun serta buku “Buku Pituah Banggal Portama ni Halak Simalungun na Dob Marhajabuan’ Juga buku-buku pendidikan seks yang diperuntukkan bagi yang sudah berkeluarga.
Pdt Wismar juga mengajarkan tata cara bercocok tanam kepada anak negeri Simalungun. Sebagai Pendeta, dia tidak cuma mengembangkan Injil Keselamatan. Cita-cita awalnya menjadi Guru untuk membangun tanah tumpah darahnya, semakin ditingkatkannya. Meningkatkan kesejahteraan rakyat dalam arti luas.
Sebagai Pendeta, Wismar juga mempelopori pengenaan pakaian adat untuk berkebaktian di Gereja. Dia menganjurkan agar Orang Simalungun misalnya, mengenakan tutup kepala ke Gereja.
Juga termasuk , mengenakan pakaian Adat Simalungun saat dilakukan pemberkatan pernikahan di Gereja. Dia memulai sendiri cara itu ketika menikahkan anak-anaknya Japorman, Jawamen, Alina dan Pasti.
Termasuk, Pdt Wismar mengembangkan lagu-lagu rohani berirama Simalungun. Gereja, menurutnya haruslah menjadi perpaduan sekaligus untuk memelihara Adat dan Budaya Simalungun. Warga Jemaat pun akhirnya tidak merasa asing lagi ‘marbulang/ margotong saat mengikuti Kebaktian di Gereja.
Tapi apa mau dikata. Inilah fakta. Sekaligus duka. Nama almarhum Pdt J Wismar Saragih tidak terlalu dikenal meski pun di Kota Pematangsiantar dan Kabupaten Simalungun sekarang ini. Terutama oleh generasi muda.
Kalau pun pernah mendengar nama itu, tapi mereka tidak tahu siapa dan bagaimana almarhum semasa hidupnya. Itu dikarenakan, Orang Simalungun sendiri tidak berupaya membesarkan nama Pendeta Pertama Orang Simalungun itu.
Seandainya Pemerintah Kabupaten Simalungun dan Pemerintah Kota Pematangsiantar mau bersikap lebih bijak lagi, lakukanlah sesuatu yang lebih arif dan bijaksana. Misalnya, dengan menabalkan nama Pdt J Wismar Saragih pada apa saja.
Misalnya, gedung, lapangan atau tempat-tempat yang besar dan megah. Sebagai peringatan yang layak dan pantas untuk almarhum, agar abadi sepanjang masa, sepanjang zaman. Dan orang-orang akan selalu muncul keingintahuannya, siapa dan bagaimana almarhum Pdt J Wismar Saragih.
Kalau saya Walikota Pematangsiantar, saya akan rubah dan ganti nama Jalan Merdeka di jantung kota ini menjadi Jalan Pdt J Wismar Saragih. Tapi apalah mau dikata. Saya cuma seorang jurnalis abal-abal, meminjam istilah kawan saya Tigor Munthe.
Malah, saya cuma pemukim yang tinggal di pinggiran Simalungun, di perbatasan Kota Pematangsiantar. Apalagi sebagai jurnalis, saya memang kerap sekali dipinggirkan. (Siantar Estate, 4 Pebruari 2017)
0 Comments