BeritaSimalungun-Sebuah Tradisi Mempersembahkan Ayam dalam Tradisi Simalungun - yang kaya akan makna dan petuah.
Sejak Tahun 2016, Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya – Dirjen Kebudayaan Kemendikbud Republik Indonesia telah menetapkan DAYOK BINATUR sebagai WARISAN BUDAYA TAK BENDA (https://kebudayaan.kemdikbud.go.id)
Dayok Binatur adalah Ayam (Dayok) yang dimasak dengan cara (Ruhut-ni) Simalungun, yang biasanya digunakan dalam acara adat tertentu. Cara mempersiapkan sampai mempersembahkan (manurduk) Dayok Binatur ini mengikuti kaidah, etika, aturan tertentu – yang kita di Simalungun menyebutnya dengan Ruhut.
Ada ruhut ketika mempersiapkan atu memilih jenis ayam yang mau dipotong. Ada Ruhut membagi potongan ayam yang disebut manrang-rang dan martok-tok. Ada tata cara untuk menata potongan dari kepala sampai ekor (ulu – ihur). Ruhut manurdukhon atau mempersembahkan ayam yang sudah di batur.
Urah do ganupan lahouan anggo domma nabotoh ruhutni, begitu kata terua kita di Simalungun jaman dahulu. Artinya: semua pekerjaan itu jadi mudah kalau kita sudah tahu kaidah, etika dan tatacaranya.
Dayok Binatur adalah Ayam (Dayok) yang dimasak dengan cara (Ruhut-ni) Simalungun, yang biasanya digunakan dalam acara adat tertentu. Cara mempersiapkan sampai mempersembahkan (manurduk) Dayok Binatur ini mengikuti kaidah, etika, aturan tertentu – yang kita di Simalungun menyebutnya dengan Ruhut.
Ada ruhut ketika mempersiapkan atu memilih jenis ayam yang mau dipotong. Ada Ruhut membagi potongan ayam yang disebut manrang-rang dan martok-tok. Ada tata cara untuk menata potongan dari kepala sampai ekor (ulu – ihur). Ruhut manurdukhon atau mempersembahkan ayam yang sudah di batur.
Urah do ganupan lahouan anggo domma nabotoh ruhutni, begitu kata terua kita di Simalungun jaman dahulu. Artinya: semua pekerjaan itu jadi mudah kalau kita sudah tahu kaidah, etika dan tatacaranya.
Membuat Dayok Binatur pun bukan pekerjaan susah seperti yang dikeluhkan oleh banyak orang – terutama generasi Jaman Now yang lebih mengenal makanan cepat saji atau masakan yang disiapkan rumah makan. Dari dayok binatur kita bisa belajar tentang kebersamaan dan pembagian peran.
Ayam yang sudah dipotong potong sesuai bagiannya (Gori), sesudah dimasak ditata kembali didalam satu wadah berupa Pinggan Pasu atau Sapah.
Ayam yang sudah dipotong potong sesuai bagiannya (Gori), sesudah dimasak ditata kembali didalam satu wadah berupa Pinggan Pasu atau Sapah.
Makna yang terkandung disini: Semua orang mempunyai peran dalam acara/horja adat (tolu saodoran lima sahundulan), dan kesediaan berbagi peran itu juga menentukan keberhasilan suatu acara. Riah do sibahen parsaudni horja. Hasadaon ni riah dilambangkan dengan ayam yang diatur (atur manggoluh) diatas wadah yang bulat.
Didalam acara adat Simalungun, Dayok Binatur adalah persembahan yang utama. Jika pun dalam acara itu ada memotong Babi, Kebau atau Kambing – itu dianggap sebagai pengiring (pangiring).
Didalam acara adat Simalungun, Dayok Binatur adalah persembahan yang utama. Jika pun dalam acara itu ada memotong Babi, Kebau atau Kambing – itu dianggap sebagai pengiring (pangiring).
Ketika seseorang “disurduki” dengan Dayok Binatur, harapan utamanya agar orang yang disurduk itu hidupnya teratur, bahagia dan sejahtera. Semakin bersemangat dalam menjalani hidup, itu juga makna terkandung dalam pemberian Bunga Raya dan potongan jahe dan cabe diatas Dayok Binatur.
Memilih dan Mempersiapkan Ayam yang di Potong.
Orang Simalungun memberi makna pada setiap warna ayam yang hendak dipotong. Ada dayok Si Mirah, Si Lopak, Si Jarum Bosi, Si Sabur Bintang dan lain lain. Ayam yang hendak di potong dipilihlah yang sehat (ulang na bunrungon). Barimbing (Jengger)nya harus bagus dan tegak keatas (Ayam Bangkok tidak memenuhi kualifikasi untuk dijadikan Dayok Binatur).
Ada beberapa pendapat mengenai “Berean” atau kepada siapa Dayok Binatur itu hendak ditujukan (i surdukhon). Ayam Si Mirah ditujukan kepada Sibiak Tondong. Ayam Jarum Bosi untuk sibiak Sanina (sebagian menggunakannya untuk orang yang baru naik jabatan) dan Ayam Siputih untuk sibiak Boru.
Memilih dan Mempersiapkan Ayam yang di Potong.
Orang Simalungun memberi makna pada setiap warna ayam yang hendak dipotong. Ada dayok Si Mirah, Si Lopak, Si Jarum Bosi, Si Sabur Bintang dan lain lain. Ayam yang hendak di potong dipilihlah yang sehat (ulang na bunrungon). Barimbing (Jengger)nya harus bagus dan tegak keatas (Ayam Bangkok tidak memenuhi kualifikasi untuk dijadikan Dayok Binatur).
Ada beberapa pendapat mengenai “Berean” atau kepada siapa Dayok Binatur itu hendak ditujukan (i surdukhon). Ayam Si Mirah ditujukan kepada Sibiak Tondong. Ayam Jarum Bosi untuk sibiak Sanina (sebagian menggunakannya untuk orang yang baru naik jabatan) dan Ayam Siputih untuk sibiak Boru.
Ada juga warna Dayok yang mau disurdukhon itu berdasarkan “sir ni uhur”, keinginan hati yang dalam. Tapi penentuan warna dayok "Berean" ini juga tidak baku, dibeberapa daerah Simalungun ada juga perbedaannya.
Ada juga yang membagi warna ayam dari persfektif spiritual Simalungun jaman dahulu (Habotohan Sapari):
Ada juga yang membagi warna ayam dari persfektif spiritual Simalungun jaman dahulu (Habotohan Sapari):
1. Dayok Sijarum Bosi itu dulu ditujukan sebagai galangan atau pesembahan kepada Bhatara Guru (Anggo dong ayok namar anting-anting lebih dear).
2. Dayok Silopak (Putih) kepada orang yang dianggap suci, Namarpambotoh, Datu atau Ompung Na Ilobei (leluhur)
3. Dayok Simirah (Merah; orang Simalungun juga membagi beberapa varian warna ayam merah) biasanya ditujukan kepada Pemimpin (Partongah), Panglima (Goraha) atau orang yang dituakan.
4. Dayok Sabur Bintang biasanya disurdukhon kepada orang yang mau belajar, anak yang mau mencari nafkah atau memulai usaha baru supaya murah rejeki, hidupnya terhormat dan sukses dalam kehidupan. Dan sekali lagi, tiap daerah ini bisa berbeda. Dan setiap perbedaan itu memperkaya khasanah budaya Simalungun.
Ruhutni Mamungkah Manayat Dayok (Kaidah memotong Ayam)
Kalau Ompung kami dulu di Rayamas, menasihatkan agar ayam yang hendak dipotong itu harus diberi makan dulu (ibere mamagut). Temboloknya harus penuh (gok isini biruruni). Jangan sekali kali memotong ayam yang sedang kelaparan. Konon itu harapan agar orang yang hendak disurduki Dayok Bintur hidupnya berkecukupan dan sejahtera.
Jika ayamnya sudah kenyang, maka kaki (kais kais) dan paruh (Pamagut) ayamnya dibersihkan/dicuci dengan air. Ompung kami mempunyai kebiasaan membawa ayam yang sudah dibersihkan itu ke kamarnya untuk di doakan. Didalam kamar itu harapan, doa dan permohonan disampaikan kepada Yang Maha Kuasa.
Sebelum ayam dipotong, pastikan bahwa kaki ayam tidak ada tali yang melilit, dimana maknanya supaya hidup orang yang disurduki Dayok Binatur terbebas dari lilitan masalah. Sesudah itu lidah ayam dikeluarkan dan kemudian dijepitkan pada paruhnya, supaya ayamnya tidak bersuara ketika dipotong. Lalu bulu ayam disekitar leher yang mau disayat dicabuti (kalau bisa jangan sampai jatuh ke tempat penampungan darah ayamnya).
Pisau yang digunakan untuk memotong ayam juga harus bersih dan tajam (marot / ulang tajol). Konon itu simbol kebersihan hati (paruhuran), kejernihan dan ketajaman pikiran. Sebelum ayam dipotong, hembus dulu bagian pantat ayam supaya fesesnya tidak keluar saat dipotong (pesak).
Yang pertamakali digunakan maneses/menyayat leher ayam adalah bagian punggung (bagian yang tumpul); dengan cara pisaunya digesekkan keatas dan kebawah sekali saja. Baru selanjutnya menggunakan bagian mata pisau untuk maneses. Darah ayam yang menetes dari leher melalui ujung pisau juga mempunyai makna. Untuk menginterpretasinya butuh keahlian khusus.
Ketika memotong ayam, usahakan ayamnya tidak mati ditangan kita. Jadi sebelum ayamnya menghabiskan nafas lehernya dilipat (ipulos) kedalam sayapnya. Kalau sudah benar benar mati baru disiram pakai air mendidih (jangan terlalu lama) dan dicabuti bulunya. Tips supaya tidak kepanasan memegang ayam yang baru disiram air adalah: cabut sebuah bulu bagian sayap yang paling panjang, kemudian tusukkan kelobang hidung ayam dan bulu itu dijadikan pegangan.
Hatani / sahapni atau Perlambang yang terdapat pada Ayam yang dipotong
Bagi orang yang berkeahlian khusus, kejadian saat memotong ayam itu menyampaikan pesan atau makna (sekarang sudah langka orang yang mempunyai pengetahuan ini). Pesan dan makna ini yang disebut “hata atau sahapni dayok”.
Bagaimana cara ayam meronta ketika dipotong dan hendak menghabiskan nafasnya? Bagaimana cara menetes atau muncratnya darah dari leher? Bagaimana kondisi organ dalam yang dipotong. Dari sini bisa dibaca bagaimana kehidupan dan kondisi kesehatan orang yang hendak disurduki Dayok Binatur. Bahkan ketika ayam sudah disurduk kepada kita, bagian mana yang pertama kita ambil (jomput), konon itu bisa menggambarkan sifat dan kehidupan kita.
Ruhut Manrang-rang dan martok-tok Dayok (Kaidah memotong bagian Ayam)
Biasanya ayam yang sudah dicabuti bulunya selanjutnya dibakar diatas nyala api untuk membersihkan bulu bulu halus yang masih tersisa. Kulit ari yang terdapat pada kaki juga semakin mudah dilepaskan ketika dipanaskan dengan api. Kemudian dicuci bersih, terutama bagian dalam mulut ayam. Kulit bagian tembolok juga dikoyak untuk memisahkannya dengan bagian dada kemudian dicuci juga.
Biasanya yang terlebih dahulu dipotong atau dirang-rang adalah bagian sayap dan kaki ayam. Memotong bagian ayam pada tahapan ini tidak melukai tulang ayam atau dipotong mengikuti buku/ruas tulang ayam. Sedikit daging dari bagian pangkal sayap disayat untuk dijadikan toktok. Tulang bagian tengah ruas sayap (antara pangkal dan ujung sayap) dikeluarkan tapi jangan sampai dagingnya putus atau terpisah.
Kaki ayam dipisahkan dari bagian tubuh ayam. Kaki ayam ini dibagi tiga potongan mengikuti ruasnya. Tapi sebelum dipotong sebagian daging dari pangkal paha (tulan bona) sampai ke paha (tulan ganjang) disayat sedikit untuk dijadikan tambahan toktok.
Langkah selanjutnya adalah memisahkan bagian punggung dan dada ayam. Kuncinya adalah memotong tulang belikat ayam yang terdapat di dekat tembolok atau pangkal leher dan kemudian memberi sayatan tipis pada bagian sisi kiri dan kanan dada ayam. Selanjutnya tinggal menarik dengan tangan supaya kedua bagian itu terpisah.
Daging yang terdapat pada bagian dada biasanya dijadikan toktok (daging yang dicincang kecil). Kalau ayamnya dimasak gulai, tulang ayam yang terdapat pada dada ayam (garap garap) dicincang sangat-sangat halus bersama sedikit bumbu, kemudian dibentuk bulatan (polur polur) dan selanjutnya ikut dimasak juga.
Bagian kepala yang menyatu dengan dengan punggung ayam (tanggoruh) selanjutnya dipisah. Sebelum dipisah keluarkan dulu tenggorokan (dalan hosah) dengan cara menarik melalui tembolok, lanjut terus menarik bagian usus, hati dan ampla sampai ke lubang bagian pantat dipisah dari ekor. Potongan yang masuk bilangan gori dari bagian ini adalah: kepala, sebagian potongan leher, sebagian potongan punggung (bagian yang ada dua bulatan seperti ginjal pada ayam) dan potongan ekor (imput).
Langkah selanjutnya adalah membersihkan bagian dalam ayam. Sebagian orang membuang usus mulai dari usus buntu sampai ke bagian tembolok dan tenggorokan. Ada sebagian pendapat yang mengatakan selaput halus yang menyatukan usus ayam tidak robek ketika dibersihkan. Cara membersihkannya dengan membelah usus itu hati hati dan mengeluarkan kotorannya.
Sebagian lagi berpendapat ususnya boleh diurai dan dengan tehnik tertentu: bagian dalam usus itu dibalik menjadi bagian luar kemudian dibersihkan. Kemudian usus itu “idandan” (dijalin mirip kepang rambut wanita). Persamaannya usus tidak lepas dari hati dan ampla (bilalang).
Selanjutnya ampla dibelah dan isinya dibuang. Satu lapisan bagian dalam ampla yang berwarna kuning atau orange harus dibuang juga. Pada saat membersihkan bagian ini, usahakan jangan sampai empedunya pecah. Saat cucian terakhir boleh dicuci dengann menambahkan sedikit garam pada saat membilas - untuk menghilangkan bau amis.
Kalau dayok binaturnya mau dimasak panggang, bagian dalam ini direbus sampai matang dan terakhir “ilulus” (dibakar sebentar).
Ruhut / Cara memasak dan Menyajikan Dayok Binatur
Ada tiga cara utama memasak dayok binatur:
1. I padar / Ipanggang.
2. I lompah / masak kuah / di gulai
3. I Lomang (dimasukkan kedalam potongan bambu setengah tua atau buluh poso kemudian dipanggang bersama bambunya).
Biasanya Ayam yang berwarna putih tidak dipanggang, tapi di lompah atau di lomang. Kalau Ayamnya dimasak degan kedua cara diatas, bagian toktok tadi dimasak bersama degan potongan Gori tadi.
Kalau ayamya dimasak dengan cara dipanggang (ipadar) bagian toktok tadi dijadikan Hinasumba atau Nahinasumba. Ini adalah satu makanan khas Simalungun. Jadi, sebelum bagian itu dicincang halus terlebih dahulu dipanggang atau direbus setengah matang baru kemudian dicincang (itok-toki). Kalau sudah di toktoki halus, kemudian air yang terdapat pada daging diperas.
OOT dikit: Bagi orang yang pernah belajar tehnik afirmasi, saat yang paling pas untuk menyampaikan afirmasi adalah ketika menahan nafas (manguntong). Dan pada saat manguntong inilah doa, tabas dan harapan disampaikan kedalam makanan. Hal senada juga pernah disampaikan seorang tetua di Simalungun yang juga seorang maestro dihar (pencak silat) yang sudah mendahului kita.
Sesudah toktoknya diperas baru diaduk (sambil meremas) dengan bumbu. Selanjutnya adalah mencampur toktok tadi dengan perasan air dari kulit atau akar pohom Singkam. Ini juga sebagai proses pematangan daging tadi.
Ciri khas bumbu untuk hinasumba adalah ‘igatgati” (dicincang dengan pisau) bukan digiling (kecuali menghaluskan lada hitam dan garam). Bumbu utama Nahinasumba adalah: Serai (sange sangge), Lengkuas (Halawas), Cabe (Lassina), Bawang yang dibakar, Jahe merah yang dibakar, Kelapa parut yang digongseng (Halambir sinaok), Lada Hitam dan Boras Sinanggar (beras yang digongseng dan kemudian dihaluskan/disaring/diayak). Konon urutan mencampur bumbu dengan daging mempengaruhi cita rasa Nahinasumba.
Kemudian daging dan bumbu tadi juga dicampur dengan sebagian darah yang mentah tadi. Darah itu akan dimatangkan oleh getah singkam. Bagi orang yang tidak mengkonsumsi darah, diganti dengan santan kelapa murni. Pada tahapan ini Nahinasumbanya sudah selesai.
Pada jaman dahulu, ketika seseorang mengolah hinasumba – apalagi untuk Sir Ni Uhur, tidak boleh mencicipi olahan tersebut sebelum di surdukhon atau dipersembahkan. Untuk mengetahui rasa masakan cukup ditempelkan pada kuku jari jempol (mungkin tidak banyak lagi yang menguasai tehnik ini). Upah/bagian untuk orang yang mengerjakan disebut ‘turturni sangkalan”.
Potongan ayam yang disebut gori tadi juga diolesi dengan darah ayam atau santan kelapa yang dimatangkan oleh getah singkam. Darah ini diaduk tersendiri di luar bagian Hinasumba tadi.
Mambatur Dayok (Atur Manggoluh): Menata ayam yang sudah dimasak.
Ayam yang sudah dimasak tadi, kemudian ditata dalam sebuah wadah bulat. Wadahnya bisa Sapah (Kayu yang diukir melengkung menyerupai piring tapi ada kakinya), Pinggan Pasu (semacam keramik) atau Piring kaca.
Potongan ayam dan toktok ditata diatas wadah meniru ayam itu semasa hidup. Jangan sampai ada Gori atau potongan yang hilang. Di sebagian tempat Gori ayam tadi ditata diatas nasi. Sebagian lagi menata Gori itu diatas Toktok Nahinasumba. Dayok Binatur ini kemudian ditutupi dengan Bulung Tinapak (daun pisang yang dibentuk bulat, biasanya memakai daun pisang Kepok atau Sitabar)
Dalam menata susunan Dayok Binatur ada istilah Tungkol Osang. Potongan leher ayam yang melengkung dipakai untuk menyangga kepala ayam saat ditata (mambatur). Di sebagian tempat Dayok Binatur namartungkol osang ini hanya dipakai pada acara kematian (pusokni uhur) dan tungkol osang tidak dipakai pada acara sukacita atau malasni uhur. Di sebagian tempat menggunakan Tungkol Osang ini dipakai untuk acara suka cita maupun dukacita.
Ruhut Manurdukhon / Menyampaikan / Mempersembahkan Dayok Binatur
Biasanya dalam acara adat Simalungun, yang manurduk adalah kaum wanita / Nasi Puang. Sambil manurduk biasanya ada kata kata berupa doa, harapan dan permohonan. Kalau kata kata ini disampaikan oleh kaum perempuan boleh ditambahi kaum Bapak / Dalahi. Atau bisa dengan cara: Nasi Puang yang manurdukhon – kaum Bapak yang menyampaikan kata kata.
Dalam acara khusus, semisal untuk sirni uhur, biasanya yang mau disurduk itu duduk diatas tikar yang baru (apey nabayu) dan memakai kain abit. Ada juga yang Maranggir dengan Jeruk Purut (Untey Mungkur) terlebih dahulu. Dan biasanya acara ini dilaksanakan sebelum “Panorang Madiris Matani Ari” (sebelum lewat tengah hari).
Sesudah Dayok Binatur (dan atau dengan Pangiringnya) di Surdukhon, biasanya dilanjutkan dengan doa bersama. Kemudian orang/pihak yang disurduk itu ‘manjomput’ (mengambil sejemput) tok-tok dan sepotong gori – kemudian berdoa/afirmasi/make a wish – selanjutnya memakannya sampai habis.
Sesudah pihak yang disurduk sudah merasa cukup, kemudian Dayok Binatur itu dibagi (ipadalan) dimana semua sibiak tutur atau yang hadir kebagian giliran manjomput semua (ris dapotan).
Disini ada nilai yang hendak disampaikan; ULANG ANGKARU MANGGOMAK – RIS DAPOTANLAH HAGANUP AI DO SIDEARAN (maknanya jangan serakah dalam hidup, harus bisa berbagi dengan yang lain).
Susudah acara manurduk dan makan bersama selesai, biasanya dilanjutkan dengan acara Parsahapan atau Mambere Podah. Bisa juga sebelumnya manurduk demban salpu mangan. Pesan yang tersirat disini adalah: JANGAN MENASEHATI ORANG LAIN KETIKA ORANG TERSEBUT SEDANG KELAPARAN.
Demikian sedikit tulisan yang bisa saya baturkan. Tulisan ini berdasarkan pengalaman pribadi dan juga hasil mengikuti Workshop Ruhut Padear Dayok Binatur yang diselenggarakan di Sanggar Tortor Elakelak Simalungun yang beralamat dihuta Sirpang Daligraya.
Masukan dan koreksi dari pembaca yang budiman sangat kami harapkan demi penyempurnaan Pengetahuan kita bersama tentang Budaya Simalungun yang satu ini.
Bersama ini, sekaligus juga saya marsantabi kepada pemilik tulisan, saya sertakan tautan yang membahas tentang Dayok Binatur, yaitu tulisan Tulang Jordi Purba ttps://www.facebook.com/jordi.purb…/posts/10211126428298886 dan abang Rikanson J Purba. https://www.facebook.com/jutamardi/posts/10209505365724156.
** Tulisan ini boleh di share jika dianggap bermaanfaat tanpa ijin khusus penulis. (FB-Budaya dan Sejarah Simalungun)
Disini ada nilai yang hendak disampaikan; ULANG ANGKARU MANGGOMAK – RIS DAPOTANLAH HAGANUP AI DO SIDEARAN (maknanya jangan serakah dalam hidup, harus bisa berbagi dengan yang lain).
Susudah acara manurduk dan makan bersama selesai, biasanya dilanjutkan dengan acara Parsahapan atau Mambere Podah. Bisa juga sebelumnya manurduk demban salpu mangan. Pesan yang tersirat disini adalah: JANGAN MENASEHATI ORANG LAIN KETIKA ORANG TERSEBUT SEDANG KELAPARAN.
Demikian sedikit tulisan yang bisa saya baturkan. Tulisan ini berdasarkan pengalaman pribadi dan juga hasil mengikuti Workshop Ruhut Padear Dayok Binatur yang diselenggarakan di Sanggar Tortor Elakelak Simalungun yang beralamat dihuta Sirpang Daligraya.
Masukan dan koreksi dari pembaca yang budiman sangat kami harapkan demi penyempurnaan Pengetahuan kita bersama tentang Budaya Simalungun yang satu ini.
Bersama ini, sekaligus juga saya marsantabi kepada pemilik tulisan, saya sertakan tautan yang membahas tentang Dayok Binatur, yaitu tulisan Tulang Jordi Purba ttps://www.facebook.com/jordi.purb…/posts/10211126428298886 dan abang Rikanson J Purba. https://www.facebook.com/jutamardi/posts/10209505365724156.
** Tulisan ini boleh di share jika dianggap bermaanfaat tanpa ijin khusus penulis. (FB-Budaya dan Sejarah Simalungun)
0 Comments