Info Terkini

10/recent/ticker-posts

Demokratisasi Penyusunan Anggaran

Oleh : Irjen Pol (P) Drs M. Wagner Damanik, M.AP

Beritasimalungun-Kericuhan Penyusunan Anggaran DKI Jakarta yang mencuat belakangan ini sangat menarik untuk disimak. Terasa sangat tradisionil, karena pada saat yang sama negara-negara lain sudah mengesahkan Undang-undang Penambangan di Luar Angkasa (Jerman dan AS), sedangkan kita masih berdebat hebat terkait penyusunan RAPBD. Rasanya kita masih butuh waktu ratusan tahun untuk mengejar ketertinggalan ini.

Penulis meyakini berbagai kejanggalan maupun permasalahan dalam penyusunan RAPBD tidak hanya terjadi di DKI Jakarta. Bisa jadi hal yang sama juga terjadi di banyak provinsi, kabupaten atau kotamadya lainnya. Hanya daerah lain tidak muncul kepermukaan karena tidak ada yang memicu. Bisa juga karena eksekutif dan legislatifnya sudah sama-sama “mengerti”, sehingga sepakat untuk tidak saling meributkan.

Belajar dari kekisruhan DKI Jakarta maka kita bisa amati bahwa permasalahannya terletak pada anggaran-anggaran yang menurut publik tidak masuk akal, seperti pengadaan Lem Aibon, pembelian pulpen dan lain-lain yang anggarannya mencapai ratusan miliar rupiah. Publik mendebat kebenaran dari anggaran tersebut, bukan saja dari jumlahnya yang fantastis, melainkan juga dari segi urgensi kebutuhannya, apakah yang dianggarkan tersebut benar-benar sangat dibutuhkan.

Partisipasi Publik Dalam Penyusunan Anggaran

Penulis menganalisa setidaknya ada dua hal yang menyebabkan terjadinya permasalahan dalam penyusunan RAPBD suatu daerah, yaitu : kurangnya partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan dan atau tingkat kejujuran pemimpin dalam menyusun anggaran. Sedangkan dari segi sumber daya manusia maupun teknologi, seharusnya bukan lagi jadi masalah sekarang ini, karena semuanya sudah tersedia.

Partisipasi publik dalam penyusunan anggaran menjadi sangat penting karena tujuan dari pelaksanaan anggaran tersebut memang untuk rakyat. Oleh karena itu efektifitas suatu mata anggaran, haruslah berorientasi terhadap kebutuhan masyarakat. Yang terjadi selama ini penyusunan anggaran cenderung dimonopoli oleh pemerintah dengan cara menyusun RAPBD sesuai dengan pemikiran atau kepentingan mereka sendiri, bukan berdasarkan kebutuhan riil masyarakat. 

Makanya tidak heran di Sekolah atau Rumah Sakit maupun tempat lainnya banyak sekali barang-barang yang diadakan dengan nilai yang sangat besar, sedangkan barang-barang tersebut belum menjadi kebutuhan prioritas. Anggaran tersebut dikeluarkan karena adanya “Politisasi anggaran alias Anggaran titipan”.

Sekalipun mekanisme penganggarannya sudah bottom-up dengan melakukan Musrenbang bersama masyarakat secara berjenjang, peranan Lurah/Kepala Desa dan Camat menjadi sangat penting untuk menampung dan mengusulkan program tersebut. Otoritas terendah inilah yang mengawal dan menyalurkannya kepada pemerintah. Hal seperti inilah yang disebut dengan penyusunan anggaran secara partisipatif (Participatory Budget Project).

Penyusunan anggaran partisipatif ini merupakan wujud dari demokrasi dengan mengedepankan kebutuhan dan kepentingan masyarakat, bukan pada kepentingan diluar mereka. Tugas pemerintah dalam hal ini lebih kepada merancang proses penyusunan anggaran partisipatif, sehingga sebisa mungkin mencakup dan menampung semua hal yang dibutuhkan.

Baru-baru ini Global Partnership for Social Accountability, suatu organisasi yang menciptakan dan mendukung proses penyusunan anggaran yang partisipatif, menyelenggarakan Seminar yang berjudul “Memberdayakan Warga Negara Melalui Penyusunan Anggaran Partisipatif dan Inovasi Dibidang Teknologi Keterlibatan Masyarakat” (www.internationalbudget.org, diakses 6 – 11- 2019).

Menurut mereka setidaknya ada 3 (tiga) peluang yang penting untuk diperdalam, yaitu : Pertama, teknologi keterlibatan yang inovatif, yaitu pemerintah harus mampu merancang sistem online, sehingga partisipasi dan aspirasi masyarakat benar-benar terakomodasi, dan dapat diakses publik. Kedua, mengoptimalkan keputusan melalui data. 

Saat ini semakin banyak data disediakan oleh banyak pelaku di seluruh dunia, terutama melalui pendaftaran online dengan sarana terbuka. Penyusunan anggaran partisipatif menawarkan kesempatan untuk menggunakan data tersebut untuk sesuatu yang bermanfaat. Akses ke data mengenai ketersediaan sumberdaya masyarakat dapat membantu masyarakat memprioritaskan proyek mana saja yang membutuhkan dana. Ketiga, belajar melalui kemitraan. 

Penyusunan anggaran partisipatif merupakan inovasi yang demokratis. Meskipun proses penyusunan anggaran partisipatif mungkin berbeda antar kota, namun banyak hal dapat diperoleh dari pengalaman para praktisi. Kemitraan dengan tujuan yang sama dapat membuat keterlibatan mereka menjadi lebih efisien.

Hasil seminar di atas tentu sangat penting dan relevan untuk diterapkan dalam penyusunan anggaran oleh pemerintah. Dengan mempedomani ketiga peluang sesuai uraian di atas dalam penyusunan anggaran, tentu akan berdampak baik terhadap penggunaan anggaran yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Keterbukaan dan Teknologi

Persoalan RAPBD DKI Jakarta bermula dari tidak adanya keterbukaan pemerintah provinsi dalam penyusunan anggaran sejak awal. Rencana anggaran yang sudah dibuat tidak diberikan kepada DPRD dan tidak juga dibuka kepada publik. Tentu ada berbagai alasan, namun publik melihat adanya suatu ketidak terbukaan disana. 

Mafia anggaran dan intervensi politisi dalam penyusunan anggaran yang sarat KKN memang sangat rawan dalam penyusunan RAPBD. Semakin tidak terbuka penyusunan anggaran maka semakin patut diduga ada banyak hal buruk yang melanggar aturan yang sengaja ditutup-tutupi, hal ini berpotensi munculnya tindak pidana korupsi.

Keterbukaan berarti ada pemberitahuan atau pemberian akses kepada publik secara luas terkait penyusunan anggaran. Publik harus diberi tahu ketersediaan anggaran, sehingga mereka mengetahui berapa besar dana yang tersedia. Pemerintah boleh saja menginformasikan alokasi dana yang ada secara umum, sehingga masyarakat bisa memberikan usulan-usulan secara partisipatif sesuai dengan kebutuhan daerah mereka.

Di sisi lain peranan teknologi terkait erat dengan keterbukaan. Ketersediaan data yang begitu mudah diakses saat ini sebenarnya sangat membantu dalam menemukan dan menentukan penganggaran. Kemudahan mengakses data harusnya semakin menutup peluang bagi terjadinya penyimpangan.

 Sebagai contoh, sangat mustahil tidak mengetahui anggaran untuk membeli satu computer jenis tertentu, karena dalam sekejap saja kita bisa men-searching harganya di internet. Penerapan teknologi yang sudah maju melalui e-budgeting atau sejenisnya, sangat membantu bagi penyusunan anggaran yang benar dan tepat. Teknologi juga bisa mengontrol berbagai anggaran yang tidak logis termasuk mempermudah masyarakat untuk mengaksesnya.

Pemimpin Yang Jujur dan Rakyat Yang Proaktif

Unsur ini menjadi sangat penting karena sebaik apapun teknologi atau keterbukaan, apabila dilakukan dengan tidak jujur, maka hasilnya pasti tetap buruk. Atas dasar itu maka rakyat harus selektif dalam memilih pejabat publik. 

Integritas dan moralitas yang baik harus menjadi syarat utama untuk menetapkan mereka sebagai pemimpin. Pejabat publik juga harus menyadari bahwa fungsi utama mereka adalah untuk melayani rakyatnya, atau dengan kata lain “Keinginan melayani hadir duluan sebelum keinginan memimpin” (Servant Leadership). Mereka harus punya prinsip bahwa kehadiran mereka hanyalah untuk memberi, bukan untuk mengambil.

Selain itu masyarakat juga diharapkan proaktif melakukan pengawasan setiap kebijakan pemerintah dengan memanfaatkan haknya untuk mendapatkan informasi sebagaimana diakomodir dalam Undang-undang No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. 

Jika semua ini bisa diterapkan dengan baik, maka kita yakin penyusunan setiap anggaran bahkan sampai ketahap pelaksanaannyapun, pasti akan berjalan tepat waktu, tepat guna dan tepat sasaran. Dengan demikian maka kesejahteraan dan keadilan dalam penggunaan anggaran akan dirasakan oleh masyarakat. Semoga saja. (BS-Penulis adalah Pemerhati Kebijakan Publik)
 

Berita Lainnya

Post a Comment

0 Comments