Niar Br Damanik adalah Perempuan Simalungun sebagai Pioner Bulang Sulappei Simalungun yang sudah lama memperkenalkan Bulang Sulappei Simalungun go Nasional dan Internasional. (Dok FB). |
Bulang Sulappei, tenun khas berbahan hiou dikenakan kaum perempuan Simalungun sebagai tudung kepala.
Beritasimalungun-Bulang Sulappei, sebuah tenun khas etnis Simalungun berbahan hiou (ulos, red), dikenakan kaum perempuan Simalungun sebagai tudung kepala.
Dulunya, Bulang Sulappei dipakai perempuan Simalungun yang telah menikah. Dalam pemakaiannya, rambut perempuan tidak boleh terlihat.
Terutama ibu rumah tangga yang akan menghidangkan makanan, agar terhindar dari urai rambut yang jatuh ke dalam penyajian makanan.
Nah, proses melipat Bulang Sulappei ini juga ada kiatnya. Ribuan pelajar dari Kabupaten Simalungun mempertontonkannya dalam ajang Festival Danau Toab 2019 di Parapat, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, yang dibuka Senin 9 Desember 2019 kemarin.
Kepala Dinas Pariwisata Sumatera Utara dr Ria Telaumbanua, menyebut Bulang Sulappei merupakan tenunan asli budaya Simalungun dan kini sudah semakin jarang dipakai.
"Kita ingin melestarikan budaya Bulang Sulappei supaya tidak hilang ditelan zaman. Itu adalah identitas perempuan Simalungun. Bulang Sulappei dipakai kaum perempuan di bagian kepala dan dipakai sehari-hari," katanya.
Di ajang Festival Danau Toba ke-7 ini, sebanyak 1.024 pelajar yang mempertontokan cara atau seni melipat Bulang Sulappei berhasil memecahkan rekor MURI. Disaksikan langsung Manejer MURI Jusuf Ngadri.
Ria pun menyampaikan kebanggaannya atas raihan itu. "Melalui FDT di tahun ini, Bulang Sulappei semakin diperkenalkan dan mari dikenakan oleh kaum perempuan. Pasti kesannya lebih cantik," kata dia.
Niar Damanik, 50 tahun, warga Kota Medan, sangat bangga memakai Bulang Sulappei dalam aktivitas kesehariannya. Pemakaian Bulang Sulappei atau tudung kepala perempuan Simalungun berbahan hiou, sudah dilakoninya sejak tahun 2015 lalu.
Niar secara khusus kepada Tagar, Selasa 10 Desember 2019 mengaku, pemakaian Bulang Sulappei berawal dari etos hidupnya. Dia mencoba apa yang bisa dilakukan sebagai perempuan Simalungun.
"Dan jatuh cinta ke Bulang Sulappei, yang hampir punah. Toh ini bagiku jati diri dan bisa dikenakan sehari-hari dan kucoba dengan busana sehari-hari juga bahkan mengarah ke milenial. Ternyata direspons banyak perempuan Simalungun dan sempat ada pro kontra mengatakan itu untuk janda," terangnya.
Lalu dia balik bertanya berapa banyak janda memakainya saat ini. "Tak ada jawaban, yang ada perempuan Simalungun tetap diberi hiou atau ulos tujung ketika suaminya meninggal," terangnya.(BS-Tagar.ID)
Dulunya, Bulang Sulappei dipakai perempuan Simalungun yang telah menikah. Dalam pemakaiannya, rambut perempuan tidak boleh terlihat.
Terutama ibu rumah tangga yang akan menghidangkan makanan, agar terhindar dari urai rambut yang jatuh ke dalam penyajian makanan.
Nah, proses melipat Bulang Sulappei ini juga ada kiatnya. Ribuan pelajar dari Kabupaten Simalungun mempertontonkannya dalam ajang Festival Danau Toab 2019 di Parapat, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, yang dibuka Senin 9 Desember 2019 kemarin.
Kepala Dinas Pariwisata Sumatera Utara dr Ria Telaumbanua, menyebut Bulang Sulappei merupakan tenunan asli budaya Simalungun dan kini sudah semakin jarang dipakai.
"Kita ingin melestarikan budaya Bulang Sulappei supaya tidak hilang ditelan zaman. Itu adalah identitas perempuan Simalungun. Bulang Sulappei dipakai kaum perempuan di bagian kepala dan dipakai sehari-hari," katanya.
Di ajang Festival Danau Toba ke-7 ini, sebanyak 1.024 pelajar yang mempertontokan cara atau seni melipat Bulang Sulappei berhasil memecahkan rekor MURI. Disaksikan langsung Manejer MURI Jusuf Ngadri.
Ria pun menyampaikan kebanggaannya atas raihan itu. "Melalui FDT di tahun ini, Bulang Sulappei semakin diperkenalkan dan mari dikenakan oleh kaum perempuan. Pasti kesannya lebih cantik," kata dia.
Niar Damanik, 50 tahun, warga Kota Medan, sangat bangga memakai Bulang Sulappei dalam aktivitas kesehariannya. Pemakaian Bulang Sulappei atau tudung kepala perempuan Simalungun berbahan hiou, sudah dilakoninya sejak tahun 2015 lalu.
Niar secara khusus kepada Tagar, Selasa 10 Desember 2019 mengaku, pemakaian Bulang Sulappei berawal dari etos hidupnya. Dia mencoba apa yang bisa dilakukan sebagai perempuan Simalungun.
"Dan jatuh cinta ke Bulang Sulappei, yang hampir punah. Toh ini bagiku jati diri dan bisa dikenakan sehari-hari dan kucoba dengan busana sehari-hari juga bahkan mengarah ke milenial. Ternyata direspons banyak perempuan Simalungun dan sempat ada pro kontra mengatakan itu untuk janda," terangnya.
Lalu dia balik bertanya berapa banyak janda memakainya saat ini. "Tak ada jawaban, yang ada perempuan Simalungun tetap diberi hiou atau ulos tujung ketika suaminya meninggal," terangnya.(BS-Tagar.ID)
Dok Asenk Lee Saragih |
0 Comments