Info Terkini

10/recent/ticker-posts

AJAK Tutup TPL, Jalan Kaki dari Toba Menuju Istana Presiden RI

Togu Simorangkir .(Istimewa)
Oleh: Ifani

Panjang Umur Perjuangan. One fine day, hari ini, mereka mulai perjalanan panjang 1700 km lebih Toba - Istana Negara Jakarta berjalan kaki mencari keadilan untuk tanah Batak. Togu Simorangkir - Anita Martha Hutagalung dan Irwandi Sirait beserta tim logistik. Misinya Tutup TPL (Toba Pulp Lestari).

Siapa blio? Blio orang gilak. Lulusan S2 dari Inggris. Yang malah pulang ke kampung urus Orang Dengan Gangguan Jiwa, urus anak-anak biar ada perpustakaan, ada sekolahnya, urus bebek, urus sawah. Ia dikenal dengan berbagai ide-ide kreatif dan aksi "gila" dalam kegiatan-kegiatan sosial yang ia lakukan.

Togu Simorangkir adalah pendiri Yayasan Alusi Tao Toba. Ia pernah berenang sebanyak dua kali di Danau Toba 9 km dari Parapat - Tuktuk dan 18 km dari Onanrunggu - Balige. Waktu itu untuk menggalang dana bagi pengadaan kapal belajar di Danau Toba.

Ia juga pernah berjalan kaki sejauh 305,65 kilometer mengelilingi Danau Toba, melewati tujuh kabupaten di sekitar Danau Toba untuk menggalang dana bagi biaya operasional Sopo Belajar (Rumah Belajar) dan Kapal Belajar yang dikelola oleh Yayasan Alusi Tao Toba.

Blio Cicit Raja Sisingamangaraja XII seorang raja di Negeri Toba, Sumatra Utara. Pahlawan Nasional yg berjuang di Tanah Batak 30 tahun melawan Belanda dan akhirnya tewas. Semangat perjuangan untuk rakyat itu tetap bergelora di darah cicitnya ini terhadap pendidikan dan lingkungan hidup di Danau Toba kemudian mengantarkannya terpilih sebagai salah satu Kick Andy Heroes pada tahun 2019.

Saat ini blio dan team, sahabat saya juga eda Anita Martha Hutagalung dan Bang Rait telah start dari Makam Sisingamangaraja XII, Rabu (16/6/2921) dilepas dengan upacara adat dan saat kabar ini ditulis sudah menempuh 14 KM jalan kaki.

Jarak yang akan ditempuh lebih dari 1700 KM jalan kaki dari Toba ke Istana Negara untuk bertemu Pakde tercinta Presiden Joko Widodo. Misi yang dibawa adalah tutup TPL (Toba Pulp Lestari) korporasi besar dulu namanya Indorayon yang sudah 30 tahun menempati tanah Batak dan telah banyak menyebabkan gesekan-gesekan dengan masyarakat baik dalam soal rebutan tanah, lingkungan yang tercemar, tanggung jawab sosial dll. Ini perjuangan untuk tanah Batak.

Untuk misi ini bang Togu tidak mau galang dana karena blio gak mau orang kira nanti mau ngumpulin donasi, dikira mau jalan-jalan pake uang donasi. Blio hanya mau terima kiriman dari orang-orang yang  dikenalnya atau yang dipercaya atau direkomen dari lingkarannya. Gak mau donasi2an. Modal sendiri dan dari orang2 dekat sahabat dan kerabat dekat saja. Ada yang kasi sepatu, tenda, kompor kecil, pisang, kopi, minyak urut dll.

Kemaren blio menjual ratusan bebek pliharaannya, untuk perjuangan ini. Untuk belanja keluarga yang akan ditinggalkannya 1,5 bulan nanti jalan kaki ke Jakarta. Ia serahkanlah uang hasil jual bebek itu Rp 8 Juta untuk istri dan anak2 nya selama ditinggalkan dan Rp 2 Juta untuk bikin tempat barang di mobil dan ganti kaca depan mobil avanzanya yang udah retak kacanya, mobil ini akan mengiringi di jalan nanti bawa logistik.

Mata kami berkaca-kaca melihat potonya kemaren jual bebeknya. Panjang umur perjuangan. Saat ini sudah berjalan 14 km ada masyarakat kasi bantuan kerupuk untuk bekal di jalan. Masih jauh perjalanan ini. Semoga tiba dengan sehat dan selamat di Itana Merdeka In shaa Allah dalam 45 hari. Berkahilah kawan-kawan kami ini dalam perjuangannya ya Allah, amin YRA.(*)
*****

Kenapa Mau Tutup TPL?
Perlawanan Warga Porsea pada Awal Indorayon Berdiri

Oleh: Dian Purba

Pada 26 April 1983, masyarakat Porsea di pinggiran Danau Toba, sebuah kota kecil di Sumatra Utara yang berjarak 215 kilometer di selatan Medan, bergolak. Mereka kedatangan “tamu” dari pemerintah pusat yang akan membuat hari-hari mereka berubah drastis hingga hari ini. “Tamu” itu adalah PT Inti Indorayon Utama, sebuah perusahaan pabrik yang memproduksi pulp (bubur kertas) dan rayon (bahan untuk membuat serat kain). Tahun-tahun itu adalah saat orde baru gencar-gencarnya memeratakan pembangunan hingga ke daerah-daerah.

Indorayon di awal kehadirannya sudah memunculkan kontroversi sekaligus mendapat penolakan dari warga Porsea. Tiga tahun setelah berdiri, perusahaan ini mulai beroperasi dengan menebangi pohon-pohon pinus di pinggir Danau Toba. 

Namun, hasil tebangan itu tidak dimaksudkan sebagai bahan-bahan produksi pulp, melainkan untuk dijual kepada perusahaan-perusahaan korek api, sumpit, dan tusuk gigi di Pematang Siantar. Indorayon meraup laba Rp 10,79 miliar pada 1988 dari hasil penebangan itu. Tentu saja masyarakat curiga dan protes. Mengapa Indorayon diizinkan menebang dan menjual kayu-kayu pinus yang tidak ditanaminya sendiri?

Kontroversi lain adalah tentang pemberian izin pendirian perusahaan. Beberapa pejabat yang berwenang dengan itu sebenarnya sangat menolak pendirian Indorayon. Penolakan ini karena letak Indorayon tertelak di kawasan hulu Sungai Asahan di Desa Sosorladang. 

Alasan yang disampaikan pejabat itu adalah desa itu tidak cocok tempat berdiri Indorayon karena fasilitas yang dibutuhkan sebuah pabrik tidak memenuhi. Desa Sosorladang belum dilalui jalan yang bisa digunakan untuk mengangkut bahan baku yang terletak di kawasan hulu desa itu. Opsi yang ditawarkan kemudian adalah memindahkan Indorayon ke hilir sungai.

Pejabat lain juga tidak sepakat. Menurut mereka limbah buangan Indorayon dipandang bisa mengancam kelestarian Dam Siruar Sigura-gura dan Tangga. Dam ini dibangun dan difungsikan oleh PLTA milik PT Inalum. Limbah itu akan membuat korosi baling-baling yang digunakan untuk memutar turbin PLTA. Namun, pemerintah tetap melanjutkan pembangunan.

Menteri Riset dan Teknologi BJ Habibie bersikukuh untuk tetap membangun Indorayon karena memang proyek besar ini sudah mendapat persetujuan dari Presiden Suharto. Kemudian Badan Koordinasi Penanaman Modal memberikan Surat PersetujuanTetap Nomor 269/PMDN/1983 kepada Indorayon, disusul dengan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Sumatera Utara Raja Inal Siregar Nomor 593/3085/1984 tentang penetapan lokasi dan luas tanah untuk keperluan pembangunan PT Inti Indorayon Utama.

Surat persetujuan itu dikeluarkan bahkan sebelum berbagai persayaratan lingkungan yang harus dipenuhi Indorayon belum memenuhi syarat. Inilah awal malapetaka bagi warga Porsea. Aksi korporasi Indorayon pertama adalah penyediaan lahan. Tanah Porsea adalah tanah adat yang dimiliki tidak oleh perseorangan, tetapi dimiliki secara komunal. Protes pun terjadi oleh sepuluh orang inang-inang (ibu-ibu). Mereka menolak tanah adat diserahkan ke Indorayon.

Kasus ini bermula ketika Indorayon, lewat perantaraan kepala desa dan camat berhasil membujuk beberapa warga untuk menyerahkan tanah adat seluas 51, 36 hektare untuk dijadikan areal PIR, perkebunan inti rakyat, yang akan ditanami eucalyptus. 

Penyerahan tanah adat itu oleh Indorayon dianggap sudah sesuai prosedur, karena kepala desa dan camat sudah menerima uang pago-pago (uang damai) dari Indorayon. Namun, beberapa warga desa yang merupakan keturunan langsung dari raja pendiri kampung tempat tanah adat itu berada tidak pernah merasa memberikan persetujuan untuk menyerahkan tanah itu. Kesepuluh inang-inang itu mencabuti tanaman eucalyptus sebagai bentuk protes. Mempertanggungjawabkan perbuatan mereka, Pengadilan Negeri Tarutung memvonis mereka enam bulan penjara.

Beberapa titik resistensi terus bermunculan. Masyarakat adat menolak kehadiran Indorayon. Mereka terus berlawan hingga memasuki dekade 1990-an. Bahkan gerakan mereka semakin membesar dan juga semakin terjalin dengan jaringan yang lebih besar dan luas. 

Sesaat setelah Soeharto mundur dari posisinya sebagai presiden pada 21 Mei 1998, masyarakat Porsea mendapatkan hasil dari perjuangan keras mereka. Pengganti Soeharto, BJ Habibie, pada 19 Maret 1999, menghentikan sementara kegiatan operasional Indorayon seraya menunggu hasil audit.

Dampak Indorayon

Masyarakat Porsea mayoritas petani. Mereka menanam padi untuk kebutuhan rumah tangga, dan juga untuk dijual ke pasar. Mereka juga banyak yang bekerja sebagai nelayan di Danau Toba.

Danau terbesar di Asia Tenggara itu menjadi ladang penghidupan utama karena ikan di sana sangat melimpah. Kehadiran Indorayon membawa perubahan yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya. 

Dampak paling terlihat dan terasa dari kehadiran pabrik bubur kertas itu adalah menurunnya debit air di Danau Toba. Kemudian, sungai-sungai tempat mereka selama ini melakukan aktivitas mandi, bahkan dari sungai itu pula mereka mengambil air untuk dijadikan air minum, kini tak jernih lagi. Hujan asam menyerbu atap rumah mereka sehingga yang dulunya atap rumah bisa bertahan puluhan tahun, setelah kehadiran perusahaan itu hanya bertahan beberapa tahun saja.

Dampak lain adalah berkurangnya ikan di danau. Dengan demikian nelayan danau berganti profesi menjadi petani di darat. Namun, rupa-rupanya, kesuburan tanah juga sangat berkurang karena hujan asam itu.

Bukan Gerakan Elitis

Saat itu orde baru masih berkuasa. Atas nama pembangunan, siapa saja yang tidak berjalan pada rel pembangunan itu akan dianggap membangkang pada negara. Akibatnya bermacam-macam. Yang kerap terjadi adalah penghancuran “para pembangkang” dengan mengerahkan kekuatan negara. Masyarakat Porsea sadar betul akan hal itu. Sepuluh inang-inang itu juga demikian. Saat mencabuti tanaman hutan Indorayon mereka sadar akibat yang akan mereka terima setelah itu.

Aktivitas Indorayon menghancurkan kehidupan pertanian mereka. Namun, hal pokok yang menyebabkan sepuluh inang-inang itu mencabuti tanaman hutan Indorayon adalah karena tanah itu adalah tanah adat. Kepemilikan tanah di sana adalah kepemilikan komunal. Bagi mereka, tanah adalah bagian dari identitas kebatakan.

Di samping itu, bagi masyarakat Batak, bertani bukanlah semata-mata memenuhi kebutuhan subsistensi. Mereka menghubungkan tanah dan perjuangan menyekolahkan anak-anak mereka setinggi mungkin, sehingga melahirkan satu perumpamaan boleh disebut sebagai ideologi orang Batak: anakhon hido hamoraon di au (anak adalah sumber kekayaan). Artinya, mereka bekerja siang dan malam di tanah mereka untuk menyekolahkan anak mereka setinggi mungkin. Karena itulah, kehilangan tanah bagi mereka tak sekadar kehilangan tanah semata tapi juga kehilangan ideologi kebatakan.

Di samping itu juga, kehadiran Indorayon ikut menghancurkan salah satu bidang perkerabatan. Berbagai jenis ikan mas, yang bagi orang Batak menjadi sumber protein hewani yang bebas kolesterol, maupun untuk pesta adat, pesta pernikahan, kematian, atau pesta memindahkan tulang-belulang leluhur, hampir punah.

Yang menarik dari kasus ini, seperti ditulis oleh George Junus Aditjondro (2006), adalah gerakan ini berbeda dengan kebanyakan perlawanan rakyat pada umumnya. Gerakan perlawanan rakyat menghadapi perusahaan Indorayon selama periode 1983-2000 adalah gerakan yang lahir bukan dari para intelektual kota. Atau juga oleh laki-laki, tetapi petani perempuan.

Keunikan berikutnya adalah gerakan ini menciptakan jaringan solidaritas se-Sumatera Utara—bahkan nasional—untuk mendukung pembebasan kesepuluh inang-inang itu dari penjara. Keunikan terakhir adalah gerakan rakyat di Porsea didukung oleh tokoh-tokoh gereja di Sumatera Utara, terutama Huria Kristen Batak Protestan, gereja Protestan terbesar di Indonesia. Mereka memandang dirinya tidak terpisah dari umatnya. Karena itulah, gereja menunjukkan tempatnya dalam masyarakat melalui keberpihakan kepada masyarakat. Selama masa-masa protes massif masyarakat menolak Indorayon, banyak pendeta dan pastor ditahan polisi karena ikut membantu masyarakat. (Penulis Dosen Sosiologi Agama IAKN Tarutung)

Berbagaisumber/Asenk Lee Saragih

Berita Lainnya

Post a Comment

0 Comments