Usai sudah kami melaksanakan retreat pada tahun ini. Seminggu penuh waktu yang diberikan kepada kami. Dan sesuai dengan artinya retret berarti mengundurkan diri, menyendiri, menyepi, menjauhkan diri dari kesibukan sehari-hari, meninggalkan dunia ramai. Retreat kali ini kami banyak mengikuti rangkaian kegiatan seperti berdoa, pemeriksaan batin, mengadakan refleksi, membuat renungan, dan bermeditasi.
Secara umum hal di ataslah yang kami lakukan dan ikuti. Dan saya akan tuliskan kegiatan retreat ini secara lebih rinci lagi untuk memberi gambaran kegiatan dengan harapan semoga bisa menjadi berkat kepada kita semua.
Sebelum saya menceritakan kegiatan retreat ini saya terlebih dahulu menceritakan situasi yang melatarbelakanginya. Situasi inilah yang mengajarkan bahwa sesungguhnya seorang pelayan dimanapun berada hendaknya memiliki waktu khusus untuk lebih menajamkan panggilan dan komitmen pelayanannya. Jalan spiritualitas bisa berbeda-beda, tetapi apa pun jalan itu tentu harus tetap berakar pada hidup persekutuan dengan Tuhan.
Situasi yang saya maksud adalah saat saya ditempa menjadi seorang calon pendeta dua puluh tahun yang lalu dalam masa perkuliahan. Masa inilah penempaan awal untuk melihat bagaimana fondasi kependetaan saya dibangun.
Saya memasuki perkuliahan di Abdi Sabda, Medan dengan bayangan saya akan dididik untuk berdoa dan membaca kitab suci saja. Saya akan bertemu dengan " orang-orang suci" berwajah Malaikat yang akan membimbing saya menjadi pendeta. Setiap hari kegiatan akan diisi dengan berdoa dan membaca kitab suci. Namanya juga sekolah pendeta.
Tetapi ternyata bayangan saya itu salah total. Setelah lulus dan diterima menjadi mahasiswa, kegiatan pertama kami yaitu mengikuti KIBI (Kursus Intensif Berbahasa Inggris) selama satu bulan penuh. Selama kegiatan ini berlangsung, perasaan saya sudah mulai aneh. Kenapa? Karena sudah mulai beredar cerita akan diadakan ospek oleh para mahasiswa senior.
Ospek ini menjadi hal yang menakutkan bagi saya karena katanya kami akan digembleng oleh para senior. Model penggemblengan pun macam-macam. Mengetahuinya saya sudah kecut dan mulai berpikir, seperti inikah sekolah pendeta?
Dan ketika kegiatan ospek ini benar-benar terjadi, pertanyaan tersebut berulang kali muncul dalam pikiran saya. Bagaimana tidak, selama ospek itu kami banyak dibentak-bentak, disuruh masuk kolam, dijadikan bahan guyonan dan selalu serba salah.
Pernah saya disuruh menghormat bendera tapi harus memakai bahasa Simalungun. Saya berpikir keras bagaimana melaksanakan perintah ini. Tidak dilaksanakan hukuman sudah menanti. Setelah berpikir keras, saya pun mencoba melaksanakan perintah para senior ini. Dengan suara keras, saya berteriak: " hubani sigerger pakon silopak, marsitoltol".
Teriakan saya itu diikuti dengan gerakan tangan untuk menghormat bendera. Spontan aksi saya tersebut menjadi tertawaan para senior. Saya benar-benar habis dikerjain.
Selama ospek kami dipakaikan beragam atribut yang aneh-aneh. Ada tali rami di pinggang, topi bulat di kepala, kulit jengkol menggantung di leher, sapu lidi di tangan, dan baju seragam hitam putih yang tidak boleh berganti selama ospek.
Selama ospek tidak pernah kami diajak berdoa dan membawa kitab suci oleh para senior seperti bayangan saya dulu. Saya sudah mulai panik, kecut dan takut.
Setelah proses ospek selesai, kami pun memulai perkuliahan di kelas. Tahap inipun membuat saya terkejut dan terganggu. Proses perkuliahan ternyata tidak seperti yang saya bayangkan yaitu berdoa dan membaca kitab suci saja.
Kami banyak dijejali dengan materi mata kuliah yang sedikit membuat saya terguncang. Kami belajar bahasa Ibrani, Yunani, pengantar PL, Pengantar PB, Filsafat, Etika, ilmu tafsir, agama-agama, Pastoral dll. Tidak ada mata kuliah bagaimana membaca kitab suci secara teratur, bagaimana bersaat teduh, atau bagaimana berdoa. Alkitab dikupas dengan berbagai disiplin ilmu yang tidak pernah saya bayangkan.
Dulu saya memahami Alkitab itu sebagai kitab suci yang cukup dibaca saja sebagai penuntun hidup. Tetapi di ruang kuliah, Alkitab itu dipelajari sejarahnya, filsafatnya dan tafsirannya. Dan anehnya, semua pembelajaran di ruang kelas tidak membawa saya dekat pada kerinduan persekutuan dengan Tuhan. Saya mengalami masa-masa kekeringan secara rohani.
Setiap hari di ruang kelas berbicara tentang Tuhan dan isi Alkitab, tetapi dalam kehidupan nyata saya tidak memiliki persekutuan akrab dengan Tuhan.
Untung saja situasi ini tidak berlangsung lama. Di tingkat tiga, kehidupan spiritual saya mulai berimbang karena saya memiliki kelompok penelaahan Alkitab yang bertemu sekali seminggu. Kelompok ini dipimpin oleh Abang Tiopan Manihuruk dari perkantas.
Setiap Minggu kami dibimbing oleh beliau. Di kelompok PA ini, Alkitab dibaca dan diterima secara sederhana sesuai dengan tujuannya yaitu menuntun hidup. Melalui kegiatan PA inilah kehidupan rohani kami mulai dibentuk untuk memiliki disiplin rohani bersaat teduh.
Saya mengikuti kelompok PA ini sampai tingkat lima. Cukup lama juga, tiga tahun. Dan saya mengakui, karena mengikuti kelompok PA inilah ada keseimbangan spiritual dalam diri saya. Di ruang kelas Alkitab diperdebatkan secara kritis, di kelompok PA Alkitab diterima pesannya secara sederhana dan belajar untuk menghidupi nya.
Dari kelompok PA inilah saya sampai sekarang memiliki disiplin rohani untuk bersaat teduh setiap hari. Buku penuntun saat teduh saya mulai dari mahasiswa sampai sekarang adalah: Santapan Harian.
Berbekal latar belakang itulah saya mau menyampaikan pesan bahwa setiap pelayan hendaknya memiliki waktu khusus untuk menajamkan panggilan nya kembali. Menjadi pendeta tidak otomatis mengalami pertumbuhan spiritualitas yang baik.
Berkhotbah setiap minggu belum tentu menandakan pertumbuhan rohani. Berbicara setiap hari tentang Tuhan tidak menjamin kita berada di dalam Tuhan.
Begitu banyak pelayan yang mengalami kekosongan hati dan kekeringan spiritual dalam pelayanan nya. Terjadi disorientasi panggilan. Setiap hari mungkin melayani tetapi tidak pernah mengalami pertumbuhan dari pelayanan yang dilakukan.
Ujung-ujungnya banyak pelayan yang stress dan frustasi. Merasa hidupnya kosong bahkan tidak bermakna. Melakukan pelayanan tetapi dibunuh oleh rutinitas yang tidak membangun. Semangat berkurang tidak menyala-nyala lagi. Berdoa pun kadang hanya kepintaran dan kebiasaan untuk mengolah kata-kata saja tidak dari hati.
Semua yang saya sebutkan diatas sudah pernah saya alami dalam kependetaan saya. Saya bisa sibuk kesana kemari tetapi hanya memenuhi jadwal rutinitas pelayananan saja. Saya tidak bertumbuh secara rohani. Saya pernah tidak berdoa atau membaca Alkitab secara disiplin, tetapi anehnya dari mimbar mengajari jemaat untuk disiplin berdoa dan harus setia membaca Alkitab. Aneh bukan?
Tetapi syukur kepada Tuhan yang dalam anugerah Nya yang begitu besar selalu setia untuk mengajar dan menuntun saya. Walaupun saya mengalami jatuh bangun dan pasang surut dalam pertumbuhan rohani, Tuhan selalu memakai caraNya agar saya bisa selalu mengalami pertumbuhan rohani yang lebih baik lagi. Salah satu cara Tuhan yang saya terima, ya melalui kegiatan retreat ini.
Di retret ini kami banyak diproses. Setiap hari kami melakukan perenungan panggilan melalui ibadah pagi dan ibadah sore. Kami membaca Alkitab secara Lectio kemudian melakukan tahapan meditatio, menaikkan oratio (doa) dan contemplatio. Setiap hari seperti itu.
Kami juga melakukan sharing pergumulan pelayanan. Dan ini adalah moment yang begitu indah karena kami bisa belajar mengetahui dan memahami pergumulan kami masing-masing. Ada kejujuran, kerapuhan dan komitmen yang muncul setiap sharing dilakukan.
Kami begitu terbuka untuk menceritakan beban yang kami alami. Di tahap inilah kami banyak mengalami katarsis dan pemulihan. Kami semakin dikuatkan ketika mendengar sharing atau cerita dari yang lain. Tidak ada diskusi atau perdebatan. Semua cerita diterima tanpa ada unsur untuk menggurui dan menghakimi.
Itulah yang kami lakukan selama retreat ini. Dan hasilnya saya semakin disegarkan untuk melayani, lebih dipacu lagi untuk berdisiplin, dan lebih dimampukan menjadi seorang pelayan dan suami yang lebih baik lagi di tengah- tengah jemaat dan keluarga. Semoga Tuhan memampukan dan mengasihi saya. Samosir, 16 Januari 2022.(Penulis Adalah Pendeta GKPS)
0 Comments