Info Terkini

10/recent/ticker-posts

Cerita Tentang Seorang Sahabat


Oleh: Pdt Defri Judika Purba

Saya memiliki seorang sahabat yang mulai bertemu dua puluh tahun yang lalu sampai sekarang sepertinya selalu ditakdirkan untuk satu kamar kalau bertemu. Saya sendiri heran kenapa bisa seperti itu. Mungkin ada pengalaman yang sama begitu juga sifat atau karakter yang menyatukan kami. Tanpa itu semua, mustahil bisa menciptakan kebersamaan dalam sebuah persahabatan. 

Seperti kata Tan Malaka, air bertemu dengan air, minyak bertemu dengan minyak. Setiap orang akan selalu mencari orang yang sejalan dengan dirinya. Teori yang lain berkata, kalau mau mengetahui bagaimana karakter seseorang maka lihatlah siapa sahabat yang ada bersamanya.

Tulisan ini akan menceritakan sedikit pengalaman saya bersama sahabat yaitu Ferdi Garingging

Saya mengenalnya pertama sekali ketika sama-sama mendaftar dan ikut tes penerimaan mahasiswa theologia di STT Abdi Sabda, Medan tahun 2002. Mungkin karena masih baru dan tidak ada teman, kami langsung kenal dan kompak karena sama-sama orang Simalungun. 

Kami satu kamar selama proses KIBI (kursus intensif bahasa Inggris) berlangsung. Kamar yang kami huni yaitu kamar 13 dekat toilet kampus.

Waktu itu mahasiswa tingkat satu dan dua harus tinggal di asrama. Waktu kami tingkat satu kami beda kamar. Tingkat dua kami satu kamar yaitu kamar tujuh. Setelah tingkat tiga kami harus mencari rumah kos karena tidak boleh lagi di asrama. 

Kami pun sama-sama mencari rumah kost dan kebetulan dapat di daerah pondok sayur di belakang kampus. Kami pun satu kost bersama teman-teman yang lain, Arifin Saragih Novrando Sinaga , Julius Franklin Tarigan dan bang Pdt Patar Manalu .

Pernah kami berkonflik ketika di rumah kost. Saya lupa apa pasalnya. Yang saya ingat, waktu itu saya menangis karena sahabat saya ini ingin pindah kost tidak mau lagi bersama saya. Tentu saja saya sedih mengingat kami sudah lama bersama. 

Saya sudah berulang kali ke rumahnya di Simbou dan sudah mengenal banyak keluarganya. Sahabat saya ini pun sudah berulang kali ke rumah kami di Pematang Purba. Sedih rasanya kalau harus berpisah gara-gara konflik. 

Melihat saya menangis mungkin hati sahabat saya ini terharu dan bersedih juga. Tanpa saya sangka sahabat saya ini menyeka air mata saya sambil berkata tidak akan pindah rumah. Melihat adegan ini sahabat kami Pdt Novrando Sinaga hanya terdiam.

Komplek kost kami saat itu dikelilingi mayoritas agama muslim. Ketika kami ibadah pagi seng rumah kami dilempar beberapa kali. Mungkin karena itulah pemilik rumah tidak memberi izin rumahnya untuk dipakai kembali. Kamipun mencari rumah kost kembali dan ketemu di dekat kampus. Kami pun pindah kembali secara bersama-sama.

Selama mahasiswa banyak hal yang merajut kebersamaan diantara kami. Kami sama-sama ibadah dan melayani di gereja GKPS Sei Semayang, sama-sama cuci mata ke Medan plaza dan sama-sama ikut penelaahan Alkitab sekali seminggu di kampus. Pendek kata, tidak ada hal yang tidak saya tahu tentang sahabat saya ini begitu juga sahabat saya ini pun tahu semua tentang saya, termasuk segala kekurangan dan dosa-dosa saya.

Setelah tamat kuliah proses selanjutnya adalah menjadi vikar Pdt dan menjadi Pdt. Dalam tahap inipun kami selalu bersama dan tidak pernah putus komunikasi. Pernah saya bercanda dan berguyon kepadanya bahwa sepertinya dalam hal penempatan sahabat ini ditakdirkan untuk setia mengikuti saya. 

Dulu saya ditempatkan vikar di Resort Bandar Lampung, sahabat saya ini yang menggantikan. Ketika saya pindah dari resort Horisan Tambun Raya, sahabat saya ini juga yang menggantikan. Saat ini sahabat ini melayani di Resort Merek Raya. Saya katakan tempat itu "tempat parkir" sementara sebelum menggantikan saya di Resort Bahapal Raya.

Oh ya, salah satu moment kebersamaan diantara kami yaitu, ketika kami sudah memiliki pacar yang akan diajak menjadi istri, kami pun sama-sama menjumpai bapak Ephorus untuk berdiskusi tentang rencana pernikahan kami. 

Coba bayangkan, untuk menikah pun sepertinya kami harus bersama-sama juga. Jadilah tanggal pernikahan kami berdekatan. Sahabat saya ini tgl 17 Oktober, saya 20 Oktober. Di hari pemberkatan pernikahannya sayalah yang memainkan alat musik keyboard. Bapak Ephorus dalam khotbahnya pun berkata dua orang ini memanglah sahabat yang loyal.

Apakah kami selalu seide dalam satu hal? Tidak juga. Dalam banyak hal kami memang banyak kesamaan. Kami sama-sama boros menggunakan uang, sama-sama komit dalam hal pelayanan di jemaat, dan sama-sama tipe melankolis. 

Perbedaan kami, sahabat saya ini selalu komit dalam hal waktu. Sering saya ditinggalkan karena saya termasuk orang yang tidak mau diburu dengan waktu. Sahabat saya ini hobinya adalah tukang dan merawat mobil sementara saya hobi mengajar koor dan merawat bunga.

Berbekal berbagai ingatan akan moment kebersamaan inilah saya mengaminkan Firman Tuhan bahwa memiliki dan menjadi seorang sahabat adalah anugrah. Tidak banyak orang yang bisa menjadi seorang sahabat atau bertahan menjadi seorang sahabat. Banyak faktor yang mempengaruhi retak, dingin atau putusnya satu persahabatan.

Dalam konteks kami sebagai seorang pendeta, sudah banyak cerita saya dengar, persahabatan menjadi retak, renggang dan dingin karena masalah penempatan. Dulu adalah teman makan Indomie tengah malam di asrama atau kost tapi sekarang setelah ditempatkan di kota atau "lahan basah" kalau bertemu sikapnya sudah berubah. Sudah menjaga jarak. Aneh memang pengaruh mental opportunis ini dalam hal persahabatan. Sahabat sendiripun bisa disingkirkan asal aman dan selamat.

Karena itulah saya bersyukur memiliki seorang sahabat yang bisa mengerti dan memahami. Waktu telah menguji persahabatan kami dan semoga saja persahabatan kami bisa tetap berjalan dengan baik.

Amsal 17:17: Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu, dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran. Samosir, 12 Januari 2022. (Penulis Adalah Seorang Pendeta GKPS)

Berita Lainnya

Post a Comment

0 Comments