Info Terkini

10/recent/ticker-posts

Cerita Tentang Si Borsin

Inang Nofika Frisliani Sinaga (Istri dari Pdt Defri Judika Purba)

Oleh: Pdt Defri Judika Purba 

Sudah enam hari saya meninggalkan keluarga untuk mengikuti retret bersama teman-teman pendeta di Samosir ini. Durasi retret tahun ini agak lama, sama seperti ketika kami di Batam, satu minggu. Retreat (penyegaran) tahun yang lalu hanya tiga hari karena pandemi itupun hanya melalui zoom saja.

Meninggalkan keluarga untuk mengikuti retreat memberikan kesempatan kepada saya untuk memberikan refleksi tentang perjalanan keluarga kami. Saya memiliki banyak waktu untuk merenungkan sikap saya kepada istri dan anak-anak. Mustahil sikap perenungan ini muncul kalau saya masih bersama-sama dengan mereka. Karena itulah saya bersyukur bisa mengikuti retreat tahun ini.

Dalam satu moment sharing pengalaman, saya meneteskan air mata menceritakan hal yang selama ini ternyata sudah membuat hati keluarga saya terluka secara khusus istriku.

Saya menceritakan bahwa saya ternyata adalah suami yang egois, suka menuntut dan terlalu cepat marah ketika tindakan istri saya tidak seperti yang saya harapkan. Saya kadang tidak bisa bersabar atau menahan diri.

Mungkin ini dipengaruhi karena saya termasuk orang yang sedikit jeli pada hal-hal yang kecil sehingga ketika tidak terjadi maka saya bisa langsung emosi.

Saya memberikan contoh dalam sharing tersebut, kalau misalnya kami berangkat naik mobil, kalau ada yang tinggal, saya bisa langsung merepet. 

Saya cepat menyalahkan istri saya kenapa tidak dipersiapkan dengan baik. Kalaupun saya tidak langsung marah, istri saya bisa langsung menangkap wajah saya yang langsung berubah. Kalau sudah seperti itu maka suasana pun sudah tidak menyenangkan lagi.

Sikap saya tersebut sudah pasti membuat hati istri terluka. Saya cepat menyalahkan posisinya dan apa yang dia lakukan. Padahal kalau saya jujur, sayalah seharusnya yang lebih sabar dan menahan diri karena saya adalah seorang pendeta. Tapi situasi menjadi terbalik. Istri saya lebih sabar dan lebih bisa menahan diri.

Padahal kalau dilihat dari pengalaman hidupnya tidak patut hal yang saya lakukan itu terjadi. Istri saya adalah orang yang cepat ditinggalkan ibunya. Usianya masih empat tahun kala itu. Setahun kemudian ayahnya (mertua saya laki-laki) menikah kembali. Dari pernikahan ini istri saya memiliki satu adik laki-laki.

Ditinggalkan oleh ibu dalam usia yang sangat dini tentu saja membuat istri saya banyak kehilangan kasih sayang. Walau memang semua keluarga besarnya sangat menyayangi nya, tentu saja tidak ada yang bisa menggantikan kasih sayang seorang ibu. Istri saya bertumbuh dalam situasi tersebut.

Mengingat perjalanan kehidupan masa lalunya sebenarnya sudah cukup bagi saya untuk bisa memahaminya. Sudah cukup alasan bagi saya untuk benar-benar menyayangi nya. Tidak patut saya menuntut lebih daripada apa yang tidak bisa dia lakukan. Toh juga tanpa saya katakan atau tuntut pun, sebenarnya istri saya adalah orang yang sangat bijaksana, lemah lembut dan sabar. Istri saya bisa melakukan segala pekerjaan dengan baik.

Di retreat inilah saya lebih bisa mensyukuri kehadiran istri saya dalam kehidupan ini. Seorang istri yang tidak banyak menuntut, seorang istri yang mampu menyesuaikan diri di tengah-tengah pelayanan begitu juga seorang istri yang dapat bertindak bijaksana dalam segala urusan.

Pernah saya sangat sedih karena tidak mampu membeli tasnya. Padahal tasnya itu-itu saja. Warnanya sudah pudar. Selain tas, bajunya pun kadang hanya berganti sekali setahun. Sepatu jangan ditanya. Sekali setahun saja berganti sudah hebat. 

Tapi apa boleh buat, situasi ekonomi keluarga kami tidak memungkinkan untuk membeli tas, sepatu atau pakaian seperti orang lain. Walau demikian-ini yang membuat saya terharu- tidak pernah istri saya mengeluh atau menuntut lebih. Dia sabar saja asal kebutuhan anak-anak kami tercukupi.

Hal lain yang membuat saya terharu dan kadang sedih seandainya ada baju, sepatu atau pakaian yang ingin dia beli, tidak pernah dia langsung membelinya. Selalu meminta pendapat atau ijin dari saya terlebih dahulu. 

Padahal saya tidak pernah marah kalau dia membeli apapun asal saja uang yang saya berikan kepadanya cukup. Sepertinya ada percaya diri yang bertambah dalam dirinya ketika saya ikut campur untuk memberikan pilihan atau pendapat.

Mengingat situasi tersebutlah, air mataku pun tidak bisa saya tahan. Saya ternyata belum bisa menjadi seorang suami yang baik. Saya belum bisa memahami keinginan atau pun pesan tersirat darinya. Padahal-sekali lagi- istriku adalah orang yang baik, lembut, sabar dan bijaksana. Saya ternyata yang harus banyak berubah. Sudah begitu banyak perhatian dan pengorbanannya yang kadang luput dari kesadaran saya.

Karena itulah melalui retret ini saya berdoa dan mengkomitkan diri untuk bisa menjadi suami dan ayah yang lebih baik lagi untuk anak dan istri saya. Sonaha mutihaku Nofika Frisliani Sinaga boi ma sonai kan? (Penulis Adalah Pendeta GKPS)

Berita Lainnya

Post a Comment

0 Comments